Menuju konten utama

Penyebab Anak-anak Tak Suka Makan Sayur dan Buah

Masyarakat di Indonesia tergolong sangat sedikit makan sayuran dan buah. Persentasenya tertinggi pada kelompok remaja.

Ilustrasi anak-anak tidak menyukai sayuran. FOTO/istock

tirto.id - Sayur dan buah-buahan bukanlah makanan favorit anak-anak. Secara statistik perilaku tersebut sudah memang sudah menjadi fenomena baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.

Menurut riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat tahun 2014, sebanyak 97,7 persen untuk anak Indonesia yang berusia di bawah lima tahun yang kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kelompok anak usia balita (0-59 bulan) memang menjadi proporsi penduduk yang paling sedikit mengonsumsi sayur (86,2 persen).

Kebiasaan tidak menyukai sayur dan buah terus berlanjut hingga mereka remaja dan dewasa. Dalam bagian lain riset disebutkan bahwa remaja adalah kelompok umur tertinggi yang kurang mengonsumsi sayur dan buah. Persentasenya mencapai 98,4 persen. Jika ditotal bersama kelompok orang dewasa, 97,1 persen penduduk Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh riset lembaga lain. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013, misalnya, angkanya mencapai 93,5 persen.

Standar penilaian rendah-cukup-tinggi yang dipakai dalam penelitian-penelitian tersebut menggunakan rekomendasi nasional dari pemerintah maupun internasional dari organisasi seperti Organisasi Makanan dan Agrikultur (FAO) PBB. Berdasarkan data FAO, konsumsi sayur dan buah penduduk Indonesia hanya sebesar 109, 6 gram/hari/kapita. Jumlah tersebut masih di bawah rekomendasi konsumsi sayur dan buah yang ditetapkan FAO sebesar 180,1 gram/hari/kapita.

Pemerintah Indonesia sendiri menerapkan skor standar konsumsi sayur dan buah dalam pola pangan harapan sebesar 250,0 gram per hari dengan kontribusi energi sebesar 6%. Namun berdasarkan data Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi buah dan sayur penduduk Indonesia tahun 2011 hanya sebesar 197, 3 gram per hari. Konsekuensinya, pasokan ini hanya dapat memberi kontribusi energi sebesar 4,15%.

Mengapa Tak Suka Sayuran

Energi memang bukan menjadi tujuan utama yang ingin didapat dari mengonsumsi sayur maupun buah. Konsumsi keduanya lebih ditujukan agar kebutuhan tubuh akan mineral maupun serat terpenuhi dengan baik. Jumlah protein maupun karbohidratnya terhitung sedikit. Secara biologis, poin inilah yang dipaparkan Rose Gerber dari University of Pittsburg sebagai penyebab pertama mengapa anak-anak benci sayur: keduanya tak menyediakan tenaga yang cukup untuk aktif bergerak kesana-kemari.

Meski asumsi ini terbilang lemah, faktor biologis sebagai penyebab kedua yang Rose paparkan mirip dengan pendapat psikolog klinis sekaligus profesor dari California State University, Edward Abramson, Ph.D. Rasa tidak suka anak-anak pada sayuran, bagi keduanya, sesungguhnya berasal dari rasa pahit yang terkandung di dalamnya. Rasa pahit dalam sayuran disebabkan oleh kandungan kalsium serta senyawa bermanfaat lain seperti fenol, favenoids, isoflavon, terpene, dan glucosmolates.

Berbeda dengan orang dewasa, rasa pahit adalah rasa yang asing bagi anak-anak. Sementara rasa manis dan asin lebih akrab di lidah sebab demikian lah rasa ASI, misal, atau asupan awal lain. Ini juga berkaitan dengan bagaimana manusia makan sejak zaman purba atau zaman dimana manusia sedang trial and error dengan berbagai bahan makanan yang ada di sekitarnya.

Kala itu manusia menyadari bahwa dari sekian banyak daun maupun bahan makanan lain di alam yang terasa pahit seringkali memiliki racun mematikan. Pahit akhirnya menjadi rasa yang otak manusia asosiasikan dengan hal yang merugikan tubuh saat dikonsumsi, dan secara natural menjadi insting bagi generasi manusia baru.

Orang dewasa memiliki waktu yang lebih lama untuk belajar bahwa meski sebagian dedaunan memiliki rasa pahit, namun tak berbahaya bagi tubuh. Terlebih karena tahu manfaatnya yang besar bagi tubuh, lidah mereka lama-kelamaan beradaptasi serta mentolerir rasa pahit itu. Di sisi lain, anak-anak mirip dengan manusia generasi trial dan error. Mereka akan jujur bereaksi bahwa sayuran mesti dihindari. Tubuh anak-anak juga belum memiliki kapasitas detoksifikasi yang memadai sehingga lebih rentan terhadap segala potensi (yang dianggap) racun.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/03/13/IndonesiaDaruratKonsumsiSayur-01.jpg" width="860" alt="Infografik Indonesia Darurat Konsumsi Sayur dan Buah" /

Sebagaimana kata Abramson, menyukai rasa manis adalah mekanisme bertahan hidup yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Mulai dari era manusia membangun peradabah modern hingga kini ketika orang-orang kecanduan makanan gula dan jumlah penderita diabetes terus naik. Obesitas juga demikian—meski di era dahulu obesitas belum menjadi musuh utama manusia sebagaimana kini sedang terjadi.

Satu teori menarik dipaparkan oleh Rose Gerber, yakni “Paired Associative Learning”. Penjelasannya, ketidaksukaan anak-anak pada sayur maupun buah dikarenakan kedua entitas itu tak satu paket dengan suasana maupun perasaan yang mengiringi.

Anak-anak menyukai pesta, liburan, perayaan Lebaran hingga Tahun Baru, atau hadiah, dengan penerimaan (dan kemudian mewarisi memori) yang positif sebab tahu akan menjumpai makanan-makanan cepat saji dan mengandung kolesterol tinggi dengan dominasi rasa manis dan asin. Lengkap dari makanan pembuka, makanan utama, makanan penutup, hingga camilan.

Sementara makanan yang berasal dari sayuran (atau buah) hadir dalam suasana yang kontras: dipaksa orang tua di meja makan sampai rasa serta tampilan makanan sendiri yang tak dibikin enak. Kondisi ini melahirkan pemahaman di bawah alam sadar si anak, bahwa makanan cepat saji itu hadiah, sedangkan sayuran adalah kewajiban. Sungguh sebuah sistem yang merugikan si anak sendiri.

Cinta Datang Karena Terbiasa

Menurut riset Terence M. Dovey dan kawan-kawan yang diunggah di Jurnal Appetite pada 2008 lalu, ketidaksukaan seseorang pada buah atau sayuran bisa disebabkan oleh dua faktor: food neophobia dan picky/fussy eating. Food neophobia secara umum adalah keengganan untuk makan atau menghindari makanan baru. Sementara picky/fussy eating bisa dicontohkan dengan anak yang mengonsumsi banyak jenis makanan dan melakukan pemilihan dengan menyaring makanan yang serupa alias dipilih satu saja.

Melalui penelitiannya, Dovey dan kawan-kawan memahami bahwa kedua jenis ini, dalam konteks anak-anak dan kebencian terhadap sayur dan buah, adalah buah dari pembiasaan sejak kecil. Hasil akhir berbentuk makanan apa saja yang akan dikonsumsi oleh si anak adalah konstruk sosial dengan faktor-faktor seperti umur, alasan-alasan penolakan, lingkungan, hingga budaya. Penelitian ini, kata Dovey, bisa jadi rujukan untuk mereka yang ingin mengembangkan strategi bagi orang tua agar anaknya cinta memakan sayur dan/atau buah.

Berbagai ahli klinis hingga psikolog mencoba memberi tawaran strategi. Meski ada bagian-bagian yang berbeda, namun rata-rata bersepakat bahwa sesuai penelitian Dovey dan kawan-kawannya cinta pada sayuran bisa datang karena terbiasa. Jika memang secara biologis anak-anak benci sayuran, maka tak ada cara lain kecuali untuk mengkonfrontasinya langsung, sedikit demi sedikit.

Persoalannya kemudian adalah kadang orang tua tak memahami ini. Maka, alih-alih menceramahi si anak tentang manfaat besar sayuran dengan teori-teori ilmiah dan menyuruhnya dengan tegas agar tak menyisakan sayuran di piringnya, mulailah dengan pelan-pelan. Sebagaimana diet yang bisa dijalani dari upaya paling ringan, perkenalkan sayur dan buah pada anak lewat satu dua gigitan saja. Bukan langsung disuguhi satu mangkuk brokoli atau sepiring sop, misal.

Makin lama, tambah porsi sayuran si anak, dan sajikan dalam kondisi ketika si anak sedang lapar-laparnya. Kata pepatah klasik, apapun makanannya akan terasa enak saat dimakan ketika lapar. Anda juga bisa mengenalkan sayuran yang masih mengandung rasa manis di awal-awal, seperti tomat atau wortel.

Jika Anda berbakat memasak atau memiliki waktu serta energi lebih, masaklah sayuran menyerupai makanan non-sayuran kesukaan si anak. Atau dalam porsi yang sedikit, bubuhkan bumbu maupun bahan makanan pelengkap lain yang anak suka. Ajak juga si anak saat masak. Seseorang akan memakan hasil makananya, meski rasanya tak sempurna.

Lama-kelamaan, setelah perkenalan dengan berbagai macam si anak mulai terbiasa, tanyakan pada anak sayuran atau buah-buahan jenis apa yang menjadi favoritnya. Suguhkan sayur favorit si anak di berbagai kesempatan makan, dan berbelanjalah bersama si anak untuk membeli sayur maupun buah tersebut.

Penuhi kulkas dengan beragam sayuran dan buah, termasuk yang anak Anda sukai. Ajarkan secara tersirat pada anak Anda bahwa sayuran dan buah adalah bahan makanan yang selalu tersedia dan siap dimakan bersama. Bahwa daripada mengonsumsi makanan ringan dengan kalori dan kolesterol menumpuk, buah-buahan di kulkas siap dijadikan cemilan pengganjal perut atau untuk suguhan kepada para tamu yang berkunjung.

Sebagaimana memulai kebiasaan lain pada umumnya, melatih anak agar suka sayur dan buah memang berat. Tapi hasil yang diraih jika mau konsisten dan tak mudah menyerah juga sepadan. Anak akan tumbuh dengan fisik yang lebih sehat karena komposisi makanannya seimbang. Sampai dewasa mereka akan memakannya dengan ikhlas, bukan karena terpaksa atau dalam rangka menguruskan badan.

Jika benar-benar terbiasa memakan sayuran sejak kecil pun, saat dewasa anak Anda akan lebih mudah untuk menghindari program yang sesungguhnya dibenci banyak orang: diet.

Baca juga artikel terkait SAYUR atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan
-->