tirto.id - Pada Rabu (6/11) lalu, Airbus menandatangani nota kesepahaman dengan Cina guna meningkatkan dan memperbanyak tipe pesawat “Airbus made in China”. Dihadiri langsung oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron, Presiden Cina Xi Jinping, serta Pemimpin Eksekutif Airbus Gullaume Faury, pabrik Airbus di Cina akan merilis pesawat tipe A350 pada 2021 mendatang.
Faury, sebagaimana diwartakan Simple Flying, mengungkapkan bahwa penandatangan nota kesepahaman itu sebagai “hal yang sangat penting” dan kerjasama Airbus dengan Cina tersebut “akan membentuk masa depan industri aviasi yang gemilang.”
Airbus merupakan perusahaan pembuatan pesawat asal Eropa. Perusahaan ini memiliki fasilitas pembuatan pesawat utama di Blagnac, wilayah Toulouse, Perancis, serta di Jerman, Inggris, dan Spanyol. Secara legal, perusahaan didaftarkan di Belanda dan memperjualbelikan sahamnya di Jerman dan Perancis. Yang tak banyak diketahui, Airbus memiliki fasilitas perakitan pesawat alias final assembly line (FAL) di Tianjin, Cina.
The New York Times melaporkan, lahirnya fasilitas perakitan pesawat Airbus di di Cina bermula pada 2005. Kala itu, Airbus mendirikan pusat perancangan pesawat di Beijing. Setahun setelahnya, mereka sepakat untuk mendirikan pabrik A320, pesawat yang menjadi pesaing langsung 737 dari Boeing, di Tianjin.
Pemilihan Tianjin dilakukan karena lokasi itu dekat dengan pelabuhan, hanya berjarak sekitar 900 kilometer dari laut, sehingga memudahkan bagian-bagian pesawat Airbus yang dibuat di berbagai lokasi di Eropa, dikirim ke Cina.
Klaim pemerintah Cina, fasilitas Airbus di Tianjin dibuat dengan dana investasi senilai $630 juta. Lalu, ada kucuran dana tambahan senilai $375 juta dan $630 juta untuk membangun berbagai fasilitas penunjang pabrik Airbus tersebut.
Misalnya, membuat bandara baru yang dipakai sebagai tes terbang pesawat. Direncanakan, fasilitas Airbus di Tianjin akan menciptakan 1.000 lapangan pekerjaan baru. Menilik laman resmi Airbus, saat ini fasilitas tersebut baru mempekerjakan 730 orang.
Meski telah dibuka sejak 2005, pabrik Airbus di Cina baru mulai beroperasi tahun 2008, dan pada 2011 telah memproduksi empat pesawat setiap bulan. Hingga hari ini, 450 pesawat A320 made in China telah tercipta. Rencananya, Airbus akan meningkatkan produksi di Tianjin menjadi 63 unit pesawat A320 setiap bulan pada 2021 kelak, sekaligus menjadikan pabrik di sana sebagai tempat lahirnya A350.
Lantas, mengapa Airbus memilih Cina sebagai salah satu pabrik mereka?
Pemilihan Cina sebagai pabrik Airbus dilakukan terutama karena dunia aviasi negeri itu diproyeksikan akan meningkat. Hingga 20 tahun mendatang, Airbus memperkirakan bahwa maskapai-maskapai Cina membutuhkan 7.560 pesawat baru guna mengantisipasi meningkatnya permintaan perjalanan udara yang disumbang meningkatnya ekonomi Cina.
Berdasarkan data Statista, 10 tahun lalu jumlah penumpang pesawat di Cina hanya berjumlah 230 juta. Pada 2016 jumlahnya meningkat dua kali lipat menjadi lebih dari 487 juta penumpang. Sementara itu, dalam laporan China Daily disebutkan, penumpang pesawat di Cina akan melonjak menjadi sekitar 1,6 miliar pada 2037 kelak.
Selain soal penumpang, alasan Airbus memilih Cina guna menghindari ketergantungan mereka pada dolar. Kemudian, pemilihan Cina dilakukan karena Perancis, sebagai lokasi markas utama Airbus, memiliki hubungan kuat dengan negeri Tirai Bambu tersebut. Pada 2007 lalu, misalnya, Presiden Perancis kala itu, Nicolas Sarkozy, menandatangani kontrak kerjasama Airbus dan Areva, perusahaan pembangkit listrik tenaga nuklir, dengan Cina senilai $30 miliar.
Presiden Perancis sekarang, Emmanuel Macron, juga menandatangani berbagai kerja sama dengan Cina senilai $15 miliar. Di antaranya mencakup sejumlah ekspor daging hewan ternak, kerja sama membangun kembali Notre Dame, hingga mentransfer teknologi reaktor nuklir.
Akan tetapi, keputusan Airbus mendirikan salah satu fasilitasnya di Cina sebenarnya cukup berisiko. Sebab, Cina pun tengah berupaya keras menciptakan pesawatnya, C919. ZDNetmelaporkan, demi memuluskan ambisi Cina memiliki pesawat sendiri, Kementerian Keamanan Negara meminta salah satu institusi di bawahnya, Jiangsu, untuk melakukan serangan siber, mencuri harta intelektual yang berguna untuk C919.
Crowdstrike, firma keamanan siber yang mengungkap tingkah laku negatif ini, menyebut bahwa Cina telah sukses mencuri informasi dari Ametek, Honeywell, Safran, Capstone Turbine, dan General Electric, perusahaan-perusahaan penyuplai berbagai bagian pesawat.
Pengaruhnya terhadap C919
Pada Jumat, 5 Mei 2017, pesawat C919 buatan Cina, melakukan aksi terbang perdana yang dilakukan di Bandara Internasional Pudong, Shanghai, Cina tepat pukul 14.00 waktu setempat. Pesawat ini merupakan pesaing langsung produk Airbus seri A320 dan Boeing seri 737.
Pesawat dengan mesin ganda tersebut merupakan hasil karya dari perusahaan milik negara bernama Commercial Aircraft Corporation of China atau Comac. Perusahaan tersebut didirikan pada 2008 untuk membuat pesawat terbang yang bisa digunakan untuk pasar Cina dan global.
George Ferguson, analis dari Bloomberg Intelligence mengungkapkan, demi mendukung program pesawat besar, pemerintah Cina telah menggelontorkan $7 miliar untuk mendukung program ini. Ferguson menjelaskan: “Pada titik tertentu, pemerintah akan berkata pada maskapai: ’Kamu harus beli pesawat (C919) ini!’”
Dalam proses pembuatan pesawat C919 tersebut Cina tidak sendirian. Comac masih membutuhkan uluran bantuan teknologi dari perusahaan-perusahaan lainnya, terutama dari Amerika dan Eropa. Sebagaimana dilansir Bloomberg, terdapat 15 perusahaan rekanan asing seperti General Electric, Safran SA, dan Honeywell International, yang membantu membuat C919.
Jose L. Fuentes, dalam jurnal berjudul “Commercial Aircraft Corporation of China Attempts to Break Airbus-Boeing Duopoly, Will It Succeed?” (PDF, 2011), menjelaskan bahwa pesawat C919 akan berada di segmen pasar pesawat Single Aisle/Narrow-Body atau Pesawat Berbadan Sempit/Lorong Tunggal.
Di segmen pasar tersebut, C919 akan bersaing memperebutkan ceruk pasar yang telah diisi oleh Tupolev TU-204 dari Rusia, Airbus A321, A319, A318, A320 dari Eropa, dan Boeing seri 757, 737-900, 737-800, 737-700, 737-600 dari Amerika Serikat. Di segmen pasar tersebut pula, terdapat beberapa pesawat yang sedang dikembangkan, antara lain: Irkut MS21 dari Rusia, CS300 dan CS100 dari pabrikan Bombardier Kanada.
Pencapaian C919, pesawat yang dirancang untuk memiliki daya jangkauan hingga 4.000 km tersebut, sejatinya merupakan berkah bagi Cina. Corrine Png, CEO Crucial Perspective, firma penelitian pasar, sebagaimana dikutip dari Bloomberg, mengatakan: “C919 akan mengubah permainan industri kedirgantaraan Cina.” Apalagi, menurut perkiraan Boeing, nilai pasar kedirgantaraan Cina akan mencapai angka US$1,025 triliun.
Dengan adanya fasilitas milik Airbus di Tianjin, maka pemerintah Cina bisa saja menggunakannya untuk memuluskan pengerjaan C919. Insinyur-insinyur Cina, misalnya, dapat diloloskan untuk bekerja di fasilitas itu dan kemudian menarik mereka untuk membantu C919. Lalu, seperti kasus yang dilaporkan ZDNet, Cina mungkin akan “mencuri” kekuatan Airbus via Tianjin.
Editor: Eddward S Kennedy