Menuju konten utama

Apa Pentingnya Usul Mahfud Menghapus Penyidikan di Tingkat Polsek?

Mahfud mau polsek tak menyelidik dan menyidik pidana. Kelebihannya banyak, tapi ada pula catatan yang tak bisa diabaikan.

Apa Pentingnya Usul Mahfud Menghapus Penyidikan di Tingkat Polsek?
Menko Polhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (12/12/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Menkopolhukam Mahfud MD berencana menghilangkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di level kepolisian sektor (polsek)--tingkat kecamatan. Seperti kebijakan lain, usul ini disambut baik beberapa pihak, lainnya memberi beberapa catatan.

Mahfud mengatakan hal ini berguna agar "polsek tidak cari-cara perkara". "Polsek, kan, seringkali pakai sistem target," katanya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (19/2/2020) lalu. Sistem target muncul karena "kalau enggak pakai pidana, dianggap tidak bekerja".

Tugas polsek diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkapolri) Nomor 23 Tahun 2010. Aturan tersebut juga mengatur tugas dan fungsi kepolisian resor alias polres.

Pada pasal 78, disebutkan polsek bertugas menyelenggarakan "keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta tugas-tugas Polri lain dalam daerah hukumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Untuk menjalankan tugas itu, menurut pasal 79, polsek menyelenggarakan fungsi, di antaranya, "penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan", "penyelenggaraan fungsi intelijen di bidang keamanan", "pengamanan kegiatan masyarakat", serta "penyelidikan dan penyidikan tindak pidana".

Fungsi yang disebut terakhirlah yang mau dihapus Mahfud.

Mahfud lantas mengatakan "pidana yang kecil-kecil", misalnya maling ternak, "harusnya diselesaikan dengan restorative justice, perdamaian, kekeluargaan."

"Seharusnya itu yang ditonjolkan," Mahfud menegaskan. "Jangan apa-apa KUHP dan KUHAP sehingga orang mencuri semangka saja dihukum dengan KUHP," tambahnya.

Untuk perkara-perkara pidana, Mahfud ingin itu dilakukan di level kepolisian resor (polres)--tingkat kabupaten/kota.

Menteri Pertahanan di era Abdurrahman Wahid ini mengatakan penghapusan hak penyelidikan-penyidikan tindak pidana di tingkat polsek juga lebih tepat karena itu selaras dengan struktur kejaksaan dan pengadilan. "Kejaksaan dan pengadilan juga hanya ada di tingkat kabupaten/kota, yang terbawah," katanya.

Pro dan Kontra

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea Poeloengan menyebutkan usulan ini sebenarnya pertama kali muncul pada 2010, kemudian hilang, lalu muncul lagi pada akhir 2016 dan awal 2017.

Kompolnas adalah lembaga kepolisian yang bertugas memberikan pertimbangan dan membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan kepolisian.

Menurutnya, penghapusan kewenangan penyidikan polsek itu harus segera direalisasikan karena berdampak positif.

Dari sisi ekonomi, misalnya, itu bisa menghemat duit setidaknya Rp20 miliar, dihitung dari jumlah satu penyidikan di 5.000 kecamatan yang masing-masing kasus biasanya menghabiskan uang sebesar Rp4 juta.

Penghapusan wewenang penyidikan juga bermanfaat karena pada dasarnya penegak hukum itu harus diawasi ketat, sementara menurutnya, selama ini pengawasan di tingkat polsek itu sangat lemah. Penghapusan hak penyidikan dapat membuat potensi penyalahgunaan wewenang bisa diminimalisasi.

Keuntungan lain, penghapusan ini juga bisa membuat "polisi lebih dekat dan menjadi sahabat masyarakat," kata Andrea kepada reporter Tirto, Kamis (20/2/2020). Hal ini karena di satu sisi polisi bisa lebih fokus bekerja sama dengan masyarakat menjaga ketertiban, dan di sisi lain menghilangkan persepsi negatif seperti represif yang umumnya muncul saat mereka menangani kasus.

Pengubahan peraturan ini juga penting karena memaksa polisi mengubah pandangan mereka yang merasa semua masalah harus dibawa ke pengadilan. Toh, katanya, "Polri memiliki diskresi untuk menyelesaikan masalah kecil atau sepele."

Andrea lantas membenarkan pernyataan Mahfud soal "kejar target." Menurutnya, ini disebabkan karena masyarakat, juga media massa, yang menganggap polisi bekerja jika misalnya sukses mengungkap kasus. "Sementara kegiatan ketertiban dan pencegahan tidak mendapat porsi publikasi yang besar."

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat serupa, misalnya soal keuntungan ekonomi. "Biaya untuk mengurus perkara sampai ke pengadilan cukup besar, dalam arti gaji dan honor pegawai, transportasi, yang menjadi beban negara," kata Fickar kepada reporter Tirto.

Penghapusan satu kewenangan ini juga menurutnya tidak akan memengaruhi kinerja kepolisian secara umum. "Berdasarkan UU Kepolisian, fungsi Polri itu penanggung jawab keamanan dalam negeri, penegak hukum, dan pelayan masyarakat," katanya. Jika satu fungsi dikurangi di tingkat paling bawah, ia menganggap fungsi pengamanan akan lebih optimal dijalankan.

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur punya pendapat yang sedikit berbeda, terutama terkait pernyataan bahwa rencana ini dimaksudkan agar polisi lebih mengutamakan keadilan restoratif.

Menurutnya, keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara yang melibatkan semua pihak dan menekankan kepada penyelesaian yang adil dan pemulihan, tidak dapat direalisasikan hanya dengan cara penghapusan satu wewenang polisi, apalagi di tingkat bawah.

Agar keadilan restoratif tegak, pemerintah juga harus mengevaluasi bagaimana perekrutan, pendidikan dan pelatihan, termasuk pengawasan terhadap polisi.

"Juga penting memperbaiki KUHAP yang masih banyak bolongnya. Polisi nampak tak mau diawasi. Misalnya sistem penangkapan, penahanan, tidak ada evaluasi," katanya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PENYIDIKAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino