tirto.id - Zakat profesi adalah zakat kontemporer yang dipungut sebesar 2,5% dari gaji atau penghasilan yang diterima.
Salah satu jenis zakat kontemporer yang ada saat ini adalah zakat profesi atau zakat penghasilan. Sesuai namanya, zakat profesi dipungut dari pendapatan seseorang yang diterima.
Nisab atau batasan harta yang wajib dikeluarkan mengikuti aturan zakat emas yaitu 85 gram per tahun dengan nilai pungutan zakat 2,5 persen.
Menurut fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti dikutip dari laman Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), penghasilan dalam konteks ini merujuk pada setiap pendapatan.
Bentuknya bisa beraneka rupa seperti gaji, honor, upah, jasa, dan lainnya yang diperoleh melalui cara halal.
Zakat ini tidak hanya mengikat pada pejabat negara, pegawai, karyawan, dan orang-orang yang memiliki penghasilan rutin saja, tapi juga termasuk untuk orang Islam yang memperoleh pendapatan dari pekerjaan bebas lain.
Meski nisab diserupakan dengan zakat emas dan hartanya telah dimiliki penuh selama satu tahun (haul), namun pada praktiknya zakat penghasilan ada yang menunaikan setiap bulannya.
Nisab dari 85 gram emas, dibagi 12 bulan sehingga ketemu nilai nisab per bulan. Orang yang pendapatan per bulannya sudah mencapai nisab per bulan, mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen.
Cara menghitung zakat profesi dengan melihat dulu gaji bulanan seseorang, lalu dikalikan dengan 12 bulan.
Jika akumulasinya sudah mencapai nisab 85 gram emas, maka zakat bisa ditunaikan per bulannya dengan mengurangi 2,5 persen dari gaji bulanan.
Rumus zakat profesi atau zakat penghasilan yaitu "2,5% x jumlah penghasilan satu bulan".
Contoh, Bapak Rudi penghasilan dari gaji setahun adalah Rp120.000.000 atau Rp10.000.000 per bulan.
Nisab 85 gram emas saat ini adalah Rp 68.000.000 untuk satu tahun, atau Rp800.000 per bulan. Maka, gaji Bapak Rudi sudah wajib zakat dengan nilai pungutan 2,5% x Rp10.000.000 = Rp250.000 per bulan.
Permasalahan fikih terkait zakat profesi
Pemungutan zakat profesi atau zakat penghasilan masih pro dan kontra saat ini. Pasalnya, zakat profesi secara umum sebenarnya dianggap sama saja seperti zakat emas, yaitu dipungut per tahun setelah mencapai haul dan nisab.
Tidak ada kewajiban zakat profesi secara khusus dalam empat mahzab.
Pemungutan zakat profesi per bulan masuk dalam pembahasan kontemporer.
Zakat ini menemukan legalitas dengan salah satunya mengikuti sebuah pendapat dalam mahzab Hambali yang menilai zakat profesi muncul dari pendapatan tak terduga dan tidak ada syarat harus haul. Dengan begitu dapat ditunaikan per bulan begitu mendapatkan penghasilan.
Mengutip dari laman NU, dalam fikih klasik tidak ditemukan bahasan soal zakat profesi.
Namun, ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf al-Qaradlawi melakukan upaya dalam memecahkan persoalan ini dengan merujuk pada fikih klasik.
Menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali, orang yang gajinya melebihi petani saat bekerja, maka wajib mengeluarkan zakat penghasilan.
Pengambilan zakat profesi atau penghasilan tersebut diserupakan atau diqiyaskan dengan zakat pertanian.
Sementara menurut Dr. Yusuf al-Qardlawi, menyatakan gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu wajib dizakati selama dari jalan halal.
Pendapat ini menyamakannya dengan zakat al mal al mustafad atau harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dhita Koesno