tirto.id - Auguste Comte (1798-1857) adalah seorang filsuf asal Prancis yang sering kali disebut sebagai peletak dasar ilmu sosiologi. Ia juga turut memperkenalkan istilah “Sociology”. Istilah itu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1838 dalam bukunya yang berjudul Cours De Philosophie Positive.
Dalam karyanya tersebut, Comte menjelaskan bahwa kata “sosiologi” berasal dari bahasa Latin yaitu “socius” yang berarti "kawan atau teman", dan “logos” yakni "ilmu pengetahuan".
Dengan demikian, sosiologi merupakan satu cabang ilmu yang mempelajari masyarakat, termasuk perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan jalan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.
Melalui buku itu pula, Comte mengenalkan tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu meliputi:
a) Tahap Teologis, yakni tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia;
b) Tahap Metafisis, yang pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan; serta c) Tahap Positif, yaitu tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Tiga tahap perkembangan intelektual yang terakhir, atau Tahap Positif, pada akhirnya membawa manusia mengenal pemikirannya yang mahsyur: Positivisme.
Mengenal Positivisme
Dalam ilmu pengetahuan, positivisme merupakan bentuk pemikiran yang menekankan pada aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Umumnya positivisme menjabarkan pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi).
Dengan kata lain, positivisme merupakan aliran pemikiran yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.
Menurut Anthony Flew dalam A Dictionary of Philosophy (1984), jika dilihat dari asal perkembangannya, positivisme merupakan paham falsafah dalam alur tradisi Galilean yang muncul dan berkembang pada abad XVIII. Comte sendiri telah mencoba menggunakan paradigma Galilean untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Menurut Comte, konsep dan metode ilmu alam dapat dipakai untuk menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa kehidupan manusia juga terjadi di bawah imperative hukum sebab-akibat dengan segala kondisi dan faktor probabilitasnya.
Sebagaimana kejadian di alam semesta yang tunduk pada hukum yang bersifat universal, Comte menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu dapat dijelaskan sebagai proses aktualisasi hukum sebab-akibat. Setiap kejadian atau perbuatan dalam kehidupan manusia yang kasuistik sekalipun selalu dapat dijelaskan dari sisi sebab-akibat yang rasional dan alami dan karena itu bersifat ilmiah (scientific).
Menurutnya, setiap perbuatan tidak dapat dimaknakan dari substansi yang berupa niat dan tujuannya sendiri yang moral-altruistik dan yang metafisikal. Sebab, yang demikian itu merupakan sesuatu yang dapat dianggap tidak ilmiah (unscientific).
Kelebihan dan Kekurangan Positivisme
Sebagai sebuah pemikiran, positivisme memiliki kelebihan dan kekurangan. Mengutip Jurnal Cakrawala (2016), positivisme memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:
a.) Kelebihan
- Positivisme menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mampu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, melainkan konkrit, pasti, mutlak, teratur dan valid;
- Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya;
- Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi;
- Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemologi ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya
b.) Kekurangan
- Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik;
- Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada;
- Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto