tirto.id - Konservasi yang dipelajari di mata pelajaran geografi diartikan sebagai pengelolaan biosfer dengan tujuan menjaga kelangsungan hidup flora dan fauna beserta beragam genetiknya demi memelihara ekosistem alam.
Sementara berdasar UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pengertian konservasi sumber daya alam hayati adalah, "pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya."
Dalam Boklet Informasi Dasar Kawasan Konservasi, dijelaskan, kawasan konservasi merupakan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah yang harus dijaga kondisi dan kelestariannya.
Menurut Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat, untuk ditetapkan sebagai daerah konservasi, sebuah wilayah harus memiliki kriteria tertentu.
Pertama, kawasan itu memiliki keunikan ekosistem yang masih asli, seperti hutan hujan tropis dan pegunungan. Kedua, kawasan itu merupakan tempat hidup bagi spesies flora maupun fauna yang langka dan terancam punah. Ketiga, kawasan itu memiliki keanekaragaman nutfah alami, bentang alam yang estetik, berfungsi sebagai pertahanan iklim global, serta terdapat wisata alaminya seperti pantai.
Mengutip bukuPengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia (2017) terbitan GIZ, sampai dengan tahun 2017 lalu, pemerintah Indonesia telah menetapkan 521 kawasan konservasi. Semuanya itu meliputi wilayah dengan total luas 27.108.486 hektar.
Ratusan kawasan konservasi tersebut terdiri atas 221 cagar alam (4,08 juta ha); 75 suaka alam (5,03 juta ha); 50 taman nasional (16,34 juta ha); 23 taman hutan raya (0,35 juta ha); 115 taman wisata alam (0,75 juta ha); dan 13 taman buru (0,22 juta ha).
Sejarah Konservasi Alam di Indonesia
Jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk, konservasi baru dikenal di tanah air pada 1900 di saat penjajahan Belanda. Ketika itu, konservasi dibagi menjadi dua, cagar alam dan suaka alam.
Sebagaimana dilansir situs resmi Kementerian LHK, awal mula kegiatan perlindungan (konservasi) alam di Indonesia berkaitan erat dengan aktivitas Dr. Sijfert Hendrik Koorders (1863-1919).
Botanis pelopor perlindungan alam di Indonesia kelahiran Bandung itu merupakan pendiri sekaligus ketua pertama Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Netherlandsch Indische Vereenigin tot Natuurbescherming). Organisasi ini berdiri pada 22 Juli 1912.
Perkumpulan ini semacam organisasi pecinta alam yang mempelopori dan mengusulkan kawasan-kawasan dan jenis-jenis flora fauna tertentu untuk dikonservasi. Mereka pernah mengusulkan 12 lokasi untuk menjadi Cagar Alam yaitu beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau, Pulau Panaitan, Laut Pasir Bromo, Pulau Nusa Barung, Semenanjung Purwo, dan Kawah Ijen.
Organisasi bentukan Koorders itu pun mendorong pembuatan peraturan dan berbagai tulisan hasil penelitian tentang perlindungan alam (jenis satwa dan tumbuhan) di nusantara.
Tujuan Koorders memotori perkumpulan ini adalah menggugah Pemerintah Hindia Belanda, yang sebelumnya menitikberatkan pengelolaan hutan hanya untuk kepentingan ekonomi belaka, supaya mau memperhatikan kegiatan pelestarian alam.
Lantas, pada Tahun 1937, Pemerintah Hindia Belanda membentuk badan yang bernama ”Natuur Bescherming afseling Ven’s Lands Flantatuin.” Badan ini mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk mengawasi cagar alam dan suaka margasatwa.
Pada Tahun 1940, keluar Peraturan Perburuan Jawa-Madura dan sejak itu, pengelolaan kawasan Ujung Kulon di bawah Kantor Besar Kehutanan di Bogor, sedangkan Kawasan Cagar alam dan suaka Margasatwa lainnya diserahkan kepada Inspektur Kehutanan Provinsi, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap Cagar Alam dan Suaka Margasatwa serta mengurus pelanggaran perburuan.
Selepas Indonesia merdeka, pada tahun 1950 terbentuk Urusan Perlindungan Alam di Djawatan Kehutanan, dengan tugas pokok mengusut perburuan badak di Ujung Kulon.
Kemudian pada tahun 1952, Kebun Raya Bogor membentuk Lembaga Pengawetan Alam yang merupakan bagian dan Pusat Penyelidikan Alam Kebun Raya Bogor. Sedangkan di Djawatan Kehutanan, Urusan Perlindungan Alam statusnya berubah menjadi Bagian Perlindungan Alam (BPA) pada tahun 1956 yang mempunyai hak penuh untuk menyelenggarakan organisasi di dalam Djawatan Kehutanan secara vertikal.
KLHK mencatat, pada tahun 1954, sudah muncul beberapa kemajuan dalam bidang perlindungan dan pengawetan alam, misalnya rehabilitasi suaka margasatwa dan kerja sama internasional dengan IUCN. Pada tahun 1956 Bagian Perlindungan Alam menetapkan rencana kerja perlindungan alam yang terkonsentrasi di perlindungan satwa dan keutuhan habitat agar jangan sampai terjamah manusia.
Setelah itu, pada 1967, pemerintah RI membentuk UU Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967 yang kerap disebut UUPK. Dalam UU tersebut diatur bahwa konservasi dipilah menjadi cagar alam dan suaka margasatwa. Bahkan, terdapat juga ungkapan tentang adanya taman wisata serta taman buru.
Semenjak itu, konservasi alam semakin meluas. Pada 1980, Taman Nasional muncul sebagai salah satu cabang konservasi. Saat itu, terdapat 5 taman nasional: TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gunung Gede Pangrango, TN Baluran, dan TN Komodo.
Setelah itu, semakin banyak area yang dijadikan kawasan konservasi untuk menjaga kelestarian ekosistem serta seluruh spesies yang ada di dalamnya.
Tujuan Konservasi
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009, Hari Konservasi Alam Nasional ditetapkan pada tanggal 10 Agustus. Peringatan ini diselenggarakan setiap tahun untuk mengingatkan masyarakat bahwa konservasi alam merupakan bagian integral dari pembangunan yang berkelanjutan yang harus terus dilaksanakan dan dipertahankan. Konservasi penting karena bertujuan melindungi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai penyangga kehidupan.
Tentu, ditetapkannya sebuah wilayah sebagai daerah konservasi memiliki tujuan. Kita sering melihat kasus-kasus eksploitasi terhadap fauna (Orang Utan) di Sumatera, atau bahkan pembakaran hutan di Kalimantan untuk perluasan perkebunan sawit. Mencegah terjadinya kedua hal itu merupakan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat.
Terlepas dari itu, penetapan sebuah daerah sebagai kawasan konservasi memiliki sejumlah tujuan.
Setidaknya ada tiga tujuan utama konservasi sumber daya alam.
Pertama, menjaga berlangsungnya proses ekologis dan sistem kehidupan di suatu kawasan.
Kedua, menjaga keanekaragaman genetika dan flora-fauna di suatu kawasan konservasi.
Ketiga, menjamin kelestarian pemanfaatan mahkluk hidup dan ekosistem di kawasan konservasi.
Jika manusia tidak melakukan konservasi alam maka berbagai spesies tumbuhan dan binatang liar yang terancam punah akan segera musnah.
Spesies-spesies lainnya pun menjadi terancam kepunahan. Jika hal ini terjadi maka manusia akan mengalami kerugian sangat luar biasa karena kepunahan tersebut tidak dapat dipulihkan lagi.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom