tirto.id - Karhutla adalah singkatan dari kebakaran hutan dan lahan yang bulan ini sedang terjadi di Riau, Kalimantan, dan Sumatera. Karhutla menyebabkan bencana kabut asap yang mencemari udara dan mengganggu pernapasan.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 19 September 2019 pukul 09.00 WIB, karhutla terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Dari data yang sama tercatat, api telah membakar lahan seluas 328.724 hektare di seluruh Indonesia pada bulan Januari-Agustus 2019.
Jumlah titik panas yang ditemukan BNPB mencapai 4.077. Dari wilayah-wilayah yang terkena karhutla itu, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dinyatakan tidak sehat.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di situs iku.menlhk.go.id pada 19 September pukul 14.30 WIB, tercatat ISPU di Kota Pekanbaru, Riau mencapai 238 yang masuk dalam kategori Sangat Tidak Sehat.
Sementara itu di Kota Jambi, ISPU dinyatakan berada di angka 142 atau kategori Tidak Sehat. Kondisi udara serupa juga terjadi di Palembang, Sumatera Selatan yang memiliki indeks 147 dan dinyatakan Tidak Sehat.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, ISPU berada di angka 129 yang artinya Tidak Sehat. Kemudian, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ISPU berada di angka 67 yang artinya Sedang.
Kondisi paling parah terjadi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang ISPU-nya mencapai 399 dan masuk kategori Berbahaya. Kategori ini berarti tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius.
Karhutla berarti masalah serius tak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara di sekitarnya. Kabut asap akibat pembakaran yang terus meluas berdampak hingga Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, juga Thailand, dan Filipina.
Bulan ini bukan kali pertama Indonesia mengalami bencana karhutla. Menurut catatan sejarah, karhutla besar pernah terjadi di Riau dan Kalimantan tahun 1997. Dampak karhutla saat itu amat parah, termasuk jatuhnya pesawat dan efek asap yang sampai ke negara-negara tetangga, bahkan hingga Australia.
Menurut Laporan Kementerian Lingkungan (1998), karhutla tahun 1997 menghancurkan sekitar 383.870 hektar.
Dampak kebakaran hutan dan lahan ini sangat buruk, baik bagi kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Sekurang-kurangnya 20 juta orang Indonesia telah terkena polusi udara dan air, baik langsung maupun tidak langsung.
Asap hitam mengakibatkan ribuan orang di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, harus dirawat di rumah sakit. Di Irian Jaya (Papua), ratusan warga meninggal karena transportasi untuk makanan dan keperluan suplai lainnya di pedalaman terhenti akibat asap.
Penyebab karhutla sejauh ini diduga karena praktik land clearing yang memanfaatkan musim kemarau. Hal ini diungkapkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian usai meninjau kebakaran hutan dan lahan di Riau dengan menaiki helikopter bersama Kepala BNPB dan Panglima TNI, pada Minggu (15/9/2019).
Tito heran karena ia tidak melihat lahan sawit dan tanaman industri ikut terbakar. Kalaupun ada, hanya di pinggir. "Ini menunjukkan adanya praktik 'land clearing' dengan [cara] mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau," ujar Tito terkait dugaan kuat kebakaran akibat ulah manusia dalam siaran pers BNPB.
Hingga 16 September 2019, polisi memang sudah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Namun, baru 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng.
_______________
RALAT
Sebelumnya tertulis: Kondisi paling parah terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang ISPU-nya mencapai 399 dan masuk kategori Berbahaya. Kategori ini berarti tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius.
Pada Minggu (22/9/2019) pukul 22.00 WIB, paragraf diubah menjadi: Kondisi paling parah terjadi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang ISPU-nya mencapai 399 dan masuk kategori Berbahaya. Kategori ini berarti tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat merugikan kesehatan yang serius.
Ralat ini sekaligus menjadi permohonan maaf kami.
Editor: Agung DH