tirto.id - Dalam beberapa bulan, masyarakat Indonesia akan genap 2 tahun menghadapi ujian berat dari pandemi COVID-19. Selama periode ini, pandemi ini tak hanya mengakibatkan banyak korban jiwa, tetapi juga memukul ekonomi masyarakat yang membuat sebagian penduduk merasa putus harapan.
Namun, indeks terbaru membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia. Menurut Indeks Pemulihan COVID-19 versi Nikkei Asia, Indonesia memegang posisi tertinggi di Asia Tenggara per 30 September 2021, yakni di peringkat 54 dari 121 negara dengan skor 54,5 poin. Angka ini jauh membaik dari posisi Indonesia pada Juli 2021 di peringkat ke-92.
Sebagai perbandingan, Malaysia pada September 2021 berada di posisi 102 di Indeks Pemulihan COVID-19 Nikkei Asia, naik dari posisi sebelumnya di ranking 115. Sementara itu, Laos dan Filipina ada di dua posisi terbawah.
Singapura juga turun dari peringkat 56 sebelumnya di indeks tersebut ke posisi ke-70, setara dengan Amerika Serikat, karena terus meningkatnya jumlah kasus positif COVID-19.
Untuk penilaian indeks ini, Nikkei mempertimbangkan poin-poin terkait manajemen infeksi, pemberian vaksin, dan mobilitas sosial masing-masing negara. Semakin tinggi peringkat sebuah negara, semakin dekat negara itu menuju proses pemulihan COVID-19. Hal ini ditandai dengan rendahnya jumlah kasus positif COVID-19, tingginya tingkat vaksinasi, dan semakin longgarnya aturan pergerakan manusia di negara tersebut.
Dengan posisinya sekarang, menurut indeks ini, Indonesia dapat dikatakan semakin dekat dengan pemulihan COVID-19 dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
“Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, kasus Indonesia termasuk yang terendah. COVID-19 Recovery Index Indonesia yang dirilis oleh Nikkei menunjukkan peringkat Indonesia sudah jauh lebih baik dibandingkan Singapura, Malaysia hingga Thailand,” ucap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (11/10/2021) pada konferensi pers.Menimbang harapan baru dari Nikkei ini, bagaimana sebenarnya angka-angka terkait COVID-19 di Indonesia kini? Apa saja tindak lanjut pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan kasus di kemudian hari? Kemudian, apa saja yang perlu diperhatikan ke depannya dalam momentum perbaikan ini?
Menunjukkan Perbaikan?
Data konfirmasi positif yang dilansir KawalCOVID19 menunjukkan tren perbaikan selama setidaknya empat bulan terakhir. Angka kasus konfirmasi harian nasional menukik turun sebesar 97,8 persen per 13 Oktober 2021, jika dibandingkan dengan puncak jumlah kasus baru pada 15 Juli 2021 yang mencapai 56.757 kasus. Jumlah kematian harian pun menunjukkan tren penurunan yang sama.
Penurunan ini terjadi meskipun jumlah tes cenderung naik selama periode 3 Maret 2020 - 13 Oktober 2021, baik menurut jumlah sampel dan jumlah orang yang dites, walaupun jumlahnya sempat naik turun sepanjang Juli hingga Oktober, mengutip data yang sama.Jumlah orang yang divaksinasi pun cenderung naik setiap harinya. Data Kementerian Kesehatan per 13 Oktober 2021 menunjukkan bahwa hampir 50 persen penduduk sasaran vaksinasi telah menerima vaksinasi dosis pertama dan 28,6 persen telah menerima dosis kedua. Indeks Nikkei Asia sendiri menghitung jumlah penduduk yang telah menerima dua dosis vaksin.
Worldometers pun mencatat bahwa Indonesia memiliki kasus kesembuhan COVID-19 tertinggi ke-4 di Asia dan ke-14 di dunia. Namun, perlu dicatat bahwa Indonesia memiliki jumlah populasi terbesar ke-4 di dunia, sedangkan negara-negara dengan populasi kecil cenderung memiliki angka kesembuhan yang lebih kecil.
Kepada Tirto, Rabu (13/10/2021), Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menduga bahwa ada beberapa kemungkinan terkait kondisi perbaikan ini.
Pertama, ada kemungkinan bahwa kondisi COVID-19 di Indonesia memang sedang membaik. Kemudian, bisa saja infeksinya sebetulnya banyak, tetapi hanya sedikit yang sakit atau menimbulkan gejala, merujuk pada contoh di Jakarta.
Mengutip Antara, Tim peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) pada Juli 2021 menyebutkan bahwa sebanyak 44,5 persen warga Jakarta pernah terinfeksi COVID-19. Kesimpulan ini diambil dari hasil survei pengambilan darah pada 15-31 Maret 2021 terhadap hampir 5.000 warga. Peneliti UI menyimpulkan bahwa sekitar 4,7 juta dari sekitar 10,6 juta warga Jakarta pada Maret 2021 terinfeksi penyakit COVID-19.
Padahal, Ede menjelaskan bahwa angka COVID pada waktu itu ada di kisaran 320,000 atau hanya sekitar 7 persen dari perkiraan UI sebesar 4,7 juta orang. Artinya, masih banyak kasus COVID-19 yang belum terdeteksi.
Kemungkinan lain, ia khawatir bahwa sistem pencatatan vital yang kurang baik dan data yang “simpang siur” telah menyebabkan banyak kasus yang tidak terlaporkan, sehingga jumlah kasus terlihat menurun. Ia menilai, tes mandiri pun masih sedikit.
“Pusat-pusat testing yang bermunculan kan sepi, rumah sakit-rumah sakit yang testing juga sepi. Artinya memang secara realistis itu [jumlah kasus COVID-19] sudah mengalami penurunan yang drastis,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menduga bahwa tingginya kasus pada bulan Juli dibandingkan Oktober 2021 dikarenakan penyebaran varian Delta dari virus SARS-CoV-2 di Indonesia. Maraknya kabar terkait varian ini pun mendorong lebih banyak orang untuk berdiam di rumah, sehingga berkontribusi pada angka COVID-19 yang mulai menurun, terka Ede.
Jangan Terlena
Di tengah pemulihan tersebut, Luhut mengingatkan dalam konferensi pers pada 11 Oktober 2021 bahwa Indonesia sebentar lagi akan menghadapi libur Natal dan Tahun Baru. Ia mengatakan, biasanya peningkatan kasus sering terjadi setelah adanya acara keagamaan dan libur panjang.
Ia menegaskan bahwa tingkat vaksinasi penduduk lanjut usia (lansia) perlu terus dikejar, terutama pada wilayah wilayah aglomerasi dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, untuk mengantisipasi Natal dan Tahun Baru. Dengan cara ini, angka kematian dan perawatan rumah sakit dapat ditekan jika terjadi gelombang berikutnya.
“Saya tentunya terus mengajak kita semua masyarakat untuk tidak terlena dengan kondisi hari ini dan kemudian ber-euforia merayakannya sehingga lupa dengan kondisi buruk yang mungkin terjadi karena kelalaian kita ini,” ungkap Luhut
Luhut menjelaskan, Pekan Olahraga Nasional (PON) meningkatkan mobilitas penduduk dari Jawa dan Bali menuju Papua. Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan COVID-19 No. 17 tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi COVID-19 untuk mencegah terjadinya penyebaran kasus setelah kepulangan kontingen dan seluruh panitia ke daerah asal.
Selain itu, pemerintah juga akan memperketat persyaratan mulai dari persyaratan sebelum keberangkatan (Pre-Departure Requirement) hingga persyarataan saat tiba (On-Arrival Requirement) seiring pembukaan penerbangan internasional ke Bali yang rencananya akan dilakukan pada 14 Oktober 2021. Luhut mengatakan, hal ini untuk memastikan tidak terjadi peningkatan kasus di Bali.
Belum Selesai
Perjuangan melawan COVID-19 belum selesai. Vaksinasi belum mencapai target 70 persen penduduk seperti yang dicanangkan pemerintah Indonesia, yang juga senada dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa 60 hingga 70 persen penduduk perlu divaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Selain itu, tingkat kematian (case fatality rate) COVID-19 di Indonesia sebesar 3,38 persen masih jauh di atas tingkat kematian global, yakni 2,04 persen, menukil data Our World in Data dan KawalCOVID19.
Untuk itu, Ede mendorong masyarakat untuk memperkuat diri dengan hidup lebih sehat, bersih dan taat pada protokol kesehatan. Para pemangku kepentingan juga dapat memperbaiki lingkungan kerja dan tempat-tempat interaksi dengan menjaga jarak, menyediakan ventilasi, di samping upaya pengendalian lain.Ede pun mendorong pemerintah untuk terus melakukan pengawasan terkait perilaku masyarakat untuk hidup bersih. Selain itu, pemerintah sebaiknya menguatkan kemampuan surveillance atau pemantauan pada titik masuk dan perbatasan serta melakukan whole genome sequencing (penelitian terkait penyebaran mutasi virus COVID-19).
Selain pengawasan, menurutnya, Indonesia hendaknya menguatkan fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas untuk menerapkan perilaku kesehatan masyarakat. Pemerintah sepatutnya memelihara lab dan memperbaiki layanan rumah sakit, seperti memastikan ketersediaan oksigen, untuk mengantisipasi lonjakan kasus di kemudian hari.
“Karena harapannya, kalau di primer bisa segera mendeteksi sehingga nanti tidak mengalir ke rumah sakit. Begitu masuk rumah sakit betul-betul kasus yang katakanlah betul-betul membutuhkan layanan gawat, tapi semuanya bisa ditangani dengan baik dan tidak ada yang meninggal,” kata Ede.
Editor: Farida Susanty