Menuju konten utama

Anies Joker & Risma Ibu Kodok: Beda Polisi Tangani Laporan Keduanya

Polisi dinilai berpihak dalam penyelesaian kasus penghinaan terhadap kepala daerah, terutama dalam kasus Anies Baswedan dan Trirismaharani.

Anies Joker & Risma Ibu Kodok: Beda Polisi Tangani Laporan Keduanya
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bersama Vice President of the Chinese People's Association for Friendship with Foreign Countries Song Jingwu dan Deputy Director of Hangzhou Municipal Foreign and Overseas Chinese Affairs Du Shigen memberikan materi di salah satu pertemuan pada Kongres ke-7 United Cities and Local Governments Asia-Pacific (UCLG-ASPAC) 2018 di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (12/9/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Walikota Surabaya Tri Rismaharini mempolisikan Zikria Dzatil (43) lantaran merasa terhina dengan julukan "Ibu Kodok" yang diunggah lewat status facebook perempuan tersebut. Menurut Risma, julukan itu bukan hanya menghina dirinya secara probadi, melainkan juga orang tua yang telah melahirkannya.

Laporan yang dilayangkan ke Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa (21/1/2020), itu langsung ditindaklanjuti Polrestabes Surabaya pada 31 Januari 2020. Polisi menemukan kediaman Zikria di daerah Bogor, Jawa Barat dan langsung membawanya ke Mapolrestabes Surabaya.

Ibu rumah tangga asal Bogor itu sempat ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolrestabes Surabaya sebelum Risma akhirnya memberikan maaf.

"Saya maafkan yang bersangkutan. Sebagai manusia, kalau dia sudah minta maaf, maka saya wajib memberikan maaf itu," kata Wali Kota Risma sambil memperlihatkan surat permohonan maaf Zikra.

Berdasarkan keterangan Zikria, status dengan intensi menghina Risma di Facebook-nya adalah "aksi balasan". Ia merasa perlu mendiskreditkan Risma yang kerap dibanding-bandingkan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan--yang ia dukung.

Jika kasus tersebut berlanjut, Zikria terancam pasal berlapis yakni Pasal 45A ayat 2 Jo Pasal 28 UU ITE, terkait ujaran kebencian atau SARA, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara serta Pasal 45 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik, dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara, dan Pasal 310 KUHP.

Kasus penghinaan terhadap kepala daerah memang tak hanya dialami oleh Risma saja. Anies Baswedan, seperti disebut Zikria, juga kerap mengalami hal serupa. Sejumlah tokoh publik yang pernah menghina Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu seperti aktivis 1998 Fazsal Assegaf.

Senasib dengan Zikria, Faisal sempat dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Tapi laporan itu bukan dibuat oleh dan atas perintah Anies, melainkan oleh Damai Hari Lubis.

Faizal lewat akun pribadi Twiter-nya menyebut menyinggung soal latar belakang Anies sebagai keturunan Arab. Pasal yang disangkakan kepadanya yakni ujaran kebencian dan penghinaan melalui media elektronik.

Laporan terhadap Faizal tersebut diterima oleh PMJ dengan nomor laporan LP/1604/III/2019/PMJ/Dit.reskrimsum tertanggal 15 Maret 2019.

Hal serupa juga dialami oleh Dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando pada November 2019. Ia dipolisikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Fahira Idris, usai mengunggah meme Anies yang menyerupai tokoh Joker melalui akun Facebook-nya.

Laporan tersebut terdaftar dalam nomor laporan LP/7057/XI/2019/PMJ/Dit. Reskrimsus, tanggal 1 November 2019.

"Saya sangat-sangat terkejut dan merasa tersinggung ya sebagai warga DKI Jakarta. Ternyata memang banyak sekali yang tersinggung [Foto Anies diubah Jadi Joker]," ujarnya di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (1/11/2019).

Pasal yang dilaporkan berkaitan dengan larangan mengubah terhadap bentuk dokumen elektronik dan atau informasi elektronik yang tertuang pada Pasal 32 ayat 1 junto Pasal 48 ayat 1 UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang ITE.

Koordinator Pelaporan Bela Islam (Korlabi), Novel Bamukmin menerangkan sejauh ini bersama rekan-rekannya telah melaporkan lebih dari 20 kasus ke polisi. Kasus Sukmawati Soekarnoputri, Guntur Romli, Viktor Laiksodat, Faisal Assegaf, Ade Armando, Abu Janda, dan lainnya.

"Kondisi seperti ini sengaja dilakukan untuk membuktikan bahwa mereka telah berpihak dengan penguasa. Karena mereka telah berpihak dengan penguasa [Presiden Jokowi]," kata dia kepada Tirto, Kamis (6/2/2020)

Namun, dari puluhan laporan tersebut, Novel mengatakan hanya Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja purnama (BTP) alias Ahok saja yang diproses secara hukum hingga ditahan di jeruji besi.

"Itu juga karena sudah didemo berjilid-jilid sampai jutaan orang [Gerakan 212]," ucapnya.

Novel pun mengkritisi tindakan polisi yang dengan cepat memproses laporan Risma Maharani terhadap seorang ibu Rumah Tangga. Lantaran Risma merupakan Walikota Surabaya sekaligus ketua DPP Partai PDIP yang merupakan kubu dari penguasa.

Sementara laporan Anggota DPD RI dari Partai Gerindra, Fahira Idris terkait Ade Armando, polisi sangat lamban memprosesnya.

"Bayangkan, setingkat DPD sebagai pelapor tidak diproses karena memang bukan bagian dari penguasa saat ini. Jelas keadilan di negara ini sudah rusak dan Pancasila hanya menjadi untuk dihianati oleh mereka," pungkasnya.

Masih Dipengaruhi Politik

Peneliti ISESS Bidang Kepolisian Bambang Rukminto menilai, bertumpuknya laporan atas penghinaan terhadap kepala daerah meunjukkan adanya intervensi politik dalam kasus-kasus yang ditangani kepolisian.

Sebab menurutnya, tekanan politik seperti apa pun, juga dapat berpengaruh untuk mendorong dilakukannnya proses hukum.

"Tanpa ada dorongan politik, baik dari kekuasaan atau tekanan tuntutan publik, sering kali polisi abai. Apalagi terkait kasus-kasus yang dianggap kecil dan terkait dengan wong cilik," kata dia kepada Tirto.

Bambang mengatakan intervensi politik terhadap aparat penegak hukum memang sulit untuk dihindari. Sayangnya kata dia, intervensi politik itu pun sulit dibuktikan. Apalagi jika polisi berdalih sudah melakukan prosedur yang benar, sehingga sulit untuk diberikan sanksi.

Meski cukup sulit untuk diberikan sanksi, dirinya menuturkan jika terlalu terlihat memiliki keberpihakan politik, polisi bakal mendapat citra yang buruk dari publik.

"Makanya polisi harus benar-benar bekerja sesuai dengan tupoksinya. Equality before the law itu tentunya bukan slogan kosong kan?," ucapnya.

Dirinya meminta agar aparat penegak hukum harus bebas dari intervensi-intervensi apapun. Baik politis, maupun ekonomis. Sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang-undang (UU).

Polda Jawa Timur membantah adanya keberpihakan politik dalam kasus penghinaan terhadap Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan kasus Zikria murni kriminal UU ITE.

"Semua juga harus cepat di Jajaran Polda Jatim untuk memberikan kepastian hukum yang profesional dan berkeadilan," ujarnya kepada Tirto, Kamis (6/2/2020).

Atas kejadian yang menimpa ibu Rumah Tangga asal Bogor itu, Trunoyudo mengimbau kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

"Sebagai edukasi atau pembelajaran kita bersama," ucapnya.

Polda Metro Jaya (PMJ) juga membantah soal tudingan keberpihakan polisi dalam menyelesaikan kasus tertentu, misalnya dengan cara memperlamban pengungkapan kasus penghinaan terhadap Anies Baswedan.

"Enggak ada [Keberpihakan politik]. Polisi sudah profesional," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus kepada Tirto, Jumat (7/2/2020).

Dirinya menerangkan, dalam mengungkap suatu kasus, polisi harus mengerjakannya secara pelan-pelan dan bertahap.

Mulai dari penyelidikan, mendengarkan keterangan dari saksi-saksi, pelapor, terlapor, mengidentifikasi alat bukti, dan sebagainya. Tujuannya agar dapat menemukan titik terang dalam kasus tersebut.

"Kalau mau cepat, kalau kasusnya enggak terang gimana? Kan harus mengumpulkan semua dulu. Untuk menemukan unsur-unsur apa ketersangkaan itu. Bisa memenuhi nggak unsur-unsurnya. Jadi harus pelan-pelan kalau buru-buru nanti malah nggak kena lagi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Hendra Friana