tirto.id - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan, keputusan dalam lembaga legislatif ditentukan oleh tiga pihak. Mereka adalah ketua partai, ketua-sekretaris fraksi, dan Ketua kelompok fraksi (Kapoksi).
Menurut Saraswati, bila seseorang ingin melobi dan mempengaruhi hasil pembahasan suatu RUU dalam DPR, maka setidaknya tiga orang itu harus menjadi sasaran lobi.
“Kalau kita bicara proses pengambilan keputusan sama seperti RUU lain mana pun, lobi sebuah kebijakan itu harus tepat sasaran,” ucap Saraswati dalam diskusi bertajuk “Logika Sempit RUU Kelapa Sawit” di Grha Niaga pada Rabu (10/4/2019).
Dalam proses lobi, kata dia, seseorang biasanya memulai lobinya kepada pimpinan fraksi yang terdiri dari ketua dan sekretaris fraksi. Lalu, lobi dilanjutkan lagi pada Kapoksi sebagai orang yang mewakili kebijakan partai dalam pengambilan keputusan di komisi maupun badan legislasi.
Namun, semua itu akan kembali bermuara ke ketua partai. Sebab, sepengetahuannya, fraksi di DPR merupakan perpanjangan tangan dari partai, sehingga tidak mungkin melawan partai yang telah menyediakan kendaraan politik untuk duduk di Senayan.
“Fraksi tidak mungkin melawan kebijakan partai. Tidak mungkin menyetujui sesuatu tanpa persetujuan pimpinan partai. Fraksi kan perpanjangan partai,” ucap Saraswati.
Saraswati mengatakan, pada umumnya, anggota DPR akan selalu mengikuti keinginan partai karena bisa mendapat sanksi jika memiliki sikap yang berseberangan.
Untuk itu, Saraswati mengatakan, tidak perlu heran bila setiap anggota DPR yang terpilih cenderung patuh dan diam saat menghadapi fenomena apa pun.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya menilai, fenomena ini menimbulkan masalah serius dalam pengambilan keputusan legislatif. Sebab, mereka yang duduk di DPR, seringkali tak dapat berbuat banyak saat menyikapi suatu kebijakan.
Meskipun di daerah pemilihan (dapil) mereka dapat bersuara sekritis mungkin, hal itu juga tak banyak memiliki pengaruh. Sebab, pemilihan legislatif ditujukan untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya untuk memperoleh kursi DPR suatu partai ketimbang meloloskan dirinya sendiri.
Alhasil, tidak jarang bila sosok yang dipilih oleh partai adalah public figure yang memiliki potensi suara besar walaupun belum tentu menguasai bidang yang dituju di DPR.
“Makanya enggak heran kalau banyak politisi ngomongnya ngawur. Karena mereka enggak paham bidangnya,” ucap Teguh.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto