tirto.id - Jika ada satu tempat makan yang sering saya sambangi saat merantau, maka itu adalah warteg.
Dalam hal persebaran kulinernya di Indonesia, Tegal mungkin masih kalah pamor dengan Padang, Madura, atau Lamongan. Namun, di kawasan Jabodetabek, warteg jelas masih bertaring. Maklum, keberadaan mereka di Jakarta sudah ada sejak awal mula Orde Baru. Kala itu, Jakarta sebagai ibu kota sedang mulai didandani. Pembangunan ada di mana-mana.
Karena di Jakarta kala itu penduduk belum terlalu banyak, maka didatangkanlah para pekerja dari luar kota. Para pekerja berduyun-duyun datang, termasuk dari Tegal. Mereka lantas membuka warung-warung sederhana di dekat proyek bangunan. Dari sana warteg bermula
Berkat reputasi sejak dulu sebagai tempat makan yang murah meriah dan mengenyangkan, tak heran kalau
kini warteg tak lagi butuh strategi marketing atau branding, dan sepertinya memang tak perlu. Saat masuk warteg, orang sepertinya sudah bisa membayangkan jenis makanannya, bagaimana rasanya, sekaligus prediksi berapa harga yang akan dibayar.
William Wongso pernah mengatakan bahwa pasar tradisional adalah semacam ensiklopedi lokal tentang budaya kuliner yang hidup. Menurut saya, warteg adalah turunan dari pasar tradisional. Ia menjelma semacam
simbol urban, tempat para pengadu nasib ibu kota menyelesaikan hasrat laparnya dengan tuntas.
Warteg juga menjadi penanda naiknya harga bahan pokok, sekaligus memperlihatkan efek langsung kenaikan harga, sekaligus memperlihatkan transformasi adaptasi yang harus dilakukan.
Saat harga cabai rawit mahal, warteg akan punya strategi untuk bertahan. Misal pedas akan dikurangi. Jika harga kenaikan cabai sudah tidak masuk akal dan kamu minta sambal, biasanya responsnya ada dua: belum jadi, atau sudah habis.
Pancinglah sedikit dan tanyalah tentang kenapa sambal cepat habis, niscaya para pelayan warteg tadi akan dengan sangat detail memberikan informasi teranyar harga cabai dan tetek-bengeknya, tentu dengan narasi curahan hati yang kental.
Desain Interior dan Jenis Lauk
Sama seperti gaya desain warung Padang, atau gaya spanduk warung pecel Lamongan, desain dan gaya arsitektur warteg juga nyaris seragam. Akan ada dua pintu di depan, cat tembok yang biasanya didominasi warna biru laut yang jadi seperti penanda dari kawasan pantai utara mereka berasal, atau tambahan cat kuning, oranye, atau hijau yang belakangan jadi warna pilihan baru.
Soal ruangan, biasanya terbagi dua: depan dan belakang, yang biasanya terdapat dinding pembatas atau kain gorden semata. Menyisakan ruang publik untuk pengunjung makan, dan ruang privat untuk pengelola warteg istirahat.
Kursi panjang membentuk huruf L untuk tempat duduk pengunjung yang datang, menghadap etalase kaca transparan supaya memudahkan pemesanan dengan cara “touch screen” manual.
Sedangkan menunya, meski ragamnya cukup banyak, tapi akan ada benang merah di tiap warteg. Olahan telur, akan ada dadar, balado, juga ceplok. Sedangkan orek tempe umumnya ada dua, versi basah dan kering. Untuk sayur, biasanya ada sop, tumis toge, tumis kacang panjang, hingga terong balado. Begitu pula olahan ayam, ada varian goreng, balado, hingga semur dan kari. Untuk lauk sekunder, biasanya ada berbagai jenis gorengan (tempe, tahu), juga perkedel.
Di luar menu reguler itu, biasanya ada menu-menu yang tak dipampang di etalase. Seperti soto ayam yang biasanya berkuah santan ringan. Cocok dipesan apalagi jika suasana di luar sedang turun hujan.
Saat makan di warteg, telinga bisa menyerap banyak oboralan yang acak. Dari permasalahan pekerja kantoran, pengemudi ojek daring, hingga keprihatinan anak kosa. Tak jarang perbincangan antara pengelola dan pengunjung warteg menemukan titik klimaksnya, terutama jika televisi sedang melangsungkan siaran langsung sepak bola.
Warteg dan Kebaikannya
Sejak awal mula kehadirannya, DNA warteg adalah juru selamat bagi mereka yang ingin kenyang, makan dengan lauk layak, tapi tetap bisa hemat. Maka tak heran, kalau dari warteg ada banyak cerita kebaikan.
Warteg Warmo di Tebet, Jakarta Selatan, menjadi salah satu warteg yang punya banyak kisah seperti itu. Dasir, generasi pertama Warmo, pernah menceritakan kisah di awal berdirinya Warmo pada 1969 silam. Salah satu pelanggannya adalah seorang musisi, dan beberapa kali ngutang di warungnya dengan meninggalkan gitar sebagai jaminan.
Sekian puluh tahun kemudian, musisi tadi bercerita sembari terkekeh saat bertemu Dasir di salah satu stasiun televisi. Musisi tadi adalah raja dangdut Rhoma Irama. Bahkan, menurut pengakuannya, lagu "Begadang" (1973) juga diciptakan di tempat tersebut.
Saat masa puncak pandemi kemarin, penulis Goenawan Mohamad, mengisahkan tentang warteg dalam tulisan pendeknya berjudul “Dari Sebuah Warteg”. Tulisan itu bercerita tentang satu warteg di Pondok Labu, Jakarta Selatan, yang memajang spanduk bertuliskan:
“BUKA PUASA: PAKET NASI SAYUR Rp.10.000. BOLEH BAYAR. BOLEH TIDAK BAYAR”
Goenawan kemudian menuliskannya dengan kalimat sendu:
“Mungkin itu satu-satunya warteg yang demikian di masa yang sangat muram ini. Tapi dari sana bisa ditarik sebuah cerita. Kita pernah dengar istilah ‘shared poverty’ — berbagi kemiskinan — dalam apa yang disebut sebagai ‘involusi pertanian’ di Jawa."
Belakangan semakin banyak warteg yang menggratiskan kopi atau es teh untuk para pengemudi ojek daring.
Salah satu warteg itu adalah Arumi Berkah, berada di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Di sebuah siang yang terik, saya pernah makan di warteg yang berada di Jalan Kramat 2 ini. Saya sempat bertanya kenapa menggratiskan kopi dan es teh bagi para pengemudi ojek daring. Jawabannya cukup bikin saya termenung.
“Ya biar usahanya lebih barokah saja mas, nggak semua-semua kudu nyari untung, toh dengan nyediain itu (kopi dan es teh manis gratis) tidak akan membuat usaha jadi rugi juga”
Jawaban si Ibu warteg itu terasa tulus dan menyentuh. Saya tidak tahu apakah harus bersedih dan malu, karena soal kebaikan saja masih saya pertanyakan, atau justru semakin membuat saya yakin, bahwa bagaimanapun Jakarta tetap menyimpan kebaikan dengan banyak ragamnya.
Dari warteg atau rumah makan yang menebar kebaikan ini, selalu ada rasa hangat. Ia mencerminkan solidaritas. Kebaikan warga bantu warga, rakyat bantu rakyat, semampunya, seikhlasnya, terasa romantik, seperti yang kemudian GM tulis dalam sambungan tulisan di atas;
“Ini mungkin bisa jadi kasur tipis untuk mengurangi sakitnya jatuh dalam kehidupan — yang sekarang goyah diguncang pandemi ini.”
Editor: Nuran Wibisono