Menuju konten utama

Ancaman Terorisme Pasca-ISIS Marawi bagi Indonesia

Mindanao telah lama dilihat sebagai sentral jihadis Asia Tenggara. Proses lamban perdamaian bisa menciptakan perang baru pasca-ISIS di kawasan tersebut.

Ancaman Terorisme Pasca-ISIS Marawi bagi Indonesia
Ilustrasi perang saudara di Filipina Selatan. tirto.id/Gery Paulandhika

tirto.id - Pada minggu kedua Oktober, Angkatan bersenjata Filipina (AFP) mengklaim Marawi telah dibebaskan dari militan Negara Islam (ISIS). Bagi publik internasional, Marawi adalah bayangan mengejutkan dari cermin Raqqa di Asia Tenggara. Raqqa adalah "ibu kota" ISIS di Suriah.

Betapapun Marawi dan Raqqa sama-sama menderita akibat perang, tetapi ada perbedaan mencolok dari keduanya: Sementara kejatuhan Raqqa mungkin menandakan kekalahan ISIS di Suriah, sebaliknya hal serupa diragukan di Marawi.

Ancaman bahwa rasa aman dan kedamaian kembali terkoyak masih bergelayut, dan justru ke depan bakal memantik pertempuran lebih besar di Mindanao.

Rasa cemas ini berhulu dari belum ada titik temu antara pemerintah Filipina dan kelompok pemberontak terbesar di Mindanao, Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang memiliki 30.000 pasukan.

"Jika semua inisiatif politik habis, kita akan mengangkat senjata lagi," kata Ghazali Jafar, juru bicara MILF, dikutip dari The Star, awal Oktober lalu.

Selama 40 tahun, dengan intensitas naik-turun, perang terus berkecamuk di Mindanao.

Islam telah mengakar dalam struktur pemerintahan melalui bentuk kesultanan. Inilah satu-satunya wilayah yang gagal ditaklukkan oleh pasukan penjajah Spanyol pada abad 16. Kristenisasi Katolik tak mempan berkembang. Sebaliknya, friksi agama acapkali jadi pemantik konflik. Terlebih saat Amerika Serikat berkuasa pada abad 19, dan Bangsamoro semakin tertindas oleh kepentingan Manila.

Setelah Filipina merdeka, serangkaian program transmigrasi dari luar Mindanao membikin penduduk Moro semakin tersisih—serupa pemerintahan Orde Baru bikin kebijakan yang sama pada 1980-an terhadap daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Tanah penduduk lokal Bangsamoro dirampas, lalu diberikan kepada kaum pendatang. Perlawanan keras sedikit demi sedikit dilakukan.

Puncaknya ketika Ferdinand Marcos mendeklarasikan darurat militer pada 1972. Api konflik dari pemberontakan kecil pun mendidih dan membakar semangat perang.

Sampai sekarang, pemberontakan dan konflik bersenjata yang melanda pulau tersebut telah menewaskan lebih dari 100.000 orang dan mendorong jutaan pengungsi.

Ghazali dan Salamat Hashim, pemimpin MILF, semula bagian dari Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), organisasi pioner pemberontak bentukan Nur Misuari pada 1972.

Namun, karena tak puas dengan arah politik MNLF di bawah Misuari, Hashim dan Ghazali memisahkan diri pada 1977 untuk membentuk MILF.

Sejak itu, mereka terlibat konflik bersenjata. Konflik terparah bermula pada 2000, ketika Presiden Joseph Estrada mengumumkan perang total melawan MILF. Sejak 2010, MILF menyetujui gencatan senjata dan memprioritaskan diplomasi politik sebagai langkah perjuangkan nasib Bangsamoro.

Diplomasi ini sedikit memuaskan saat Presiden Benigno Aquino III dan MILF, serta Malaysia sebagai penengah, menyetujui Perjanjian Komprehensif untuk Bangsamoro pada 27 Maret 2014. Perjanjian ini menjadi pintu pembuka bagi entitas baru Bangsamoro, yang diatur dalam akta Hukum Dasar Bangsamoro (BBL).

Draf BBL merangkum landasan pendirian otonomi Bangsamoro secara penuh, dari bentuk pemerintahan, wilayah, rakyat, otonomi fiskal, pengelolaan sumber daya alam, hingga sistem keamanan dan peradilan.

"Dengan diberikan otonomi secara luas yang terangkum dalam BBL, kami bisa menentukan nasib kami sendiri. Dan wacana memerdekakan diri, saya pikir, akan perlahan sirna. Untuk apa merdeka jika harapan itu sudah diakomodasi dalam BBL?" jawab Nas Pulindao, staf pemimpin MILF Al Haj Murad Ibrahim, kepada saya, Juli lalu.

Faktanya, BBL masih dihambat oleh Kongres sampai sekarang. Para anggota Kongres masih meragukan komitmen MILF. Pengalihan kekuasaan dominan kepada entitas lokal dikhawatirkan malah memperkuat posisi Bangsamoro untuk merdeka.

Meskipun begitu, kecemasan macam ini dinilai amat berlebihan, menurut Mussolini Lidasan, direktur eksekutif Al Qalam Institute, sebuah lembaga pemikiran pemerintah dengan kelompok Bangsamoro.

"Tidak sedikit anggota Kongres memiliki kepentingan politis dan ekonomi di Mindanao. Kehadiran MILF otomatis akan mengancam eksistensi mereka selama ini," katanya kepada redaksi Tirto.

Sikap Kongres ini bertentangan dengan Presiden Rodrigo Duterte. Lahir dan besar di Mindanao, serta memiliki darah turunan seorang muslim Bangsamoro lewat garis nenek, Duterte sangat memahami psikologis Bangsamoro.

Ia terus mendesak Kongres mempercepat pengesahan BBL, dan meminta Kongres memprioritaskan BBL hingga Desember nanti.

"Saya akan mendesak Kongres untuk mempercepatnya karena MILF sudah tidak sabar," kata Duterte pada 29 Oktober lalu, seperti dikutip via Rappler.

Duterte memperingatkan, sebagaimana Ghazali dari MILF, bahwa perang di masa depan sewaktu-waktu bisa kembali bergolak jika draf BBL tak segera diketuk oleh Kongres.

"Itu akan membuat kita menuju masalah," katanya.

Situasi lamban macam ini agaknya dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Kemunculan Grup Maute dan Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF) tak terlepas dari kevakuman politik diplomasi MILF.

Menengok para pendukung panji ISIS di Marawi, para kombatan itu adalah bekas anggota MILF. Bahkan di antara mereka bekas Komandan Batalion MILF, seperti Abu Sumpa dan Ali Amintao alias “White Lawaan”. Dua orang ini alumni Batalion ke-105.

Seorang perwira militer Filipina yang enggan diungkap identitasnya menyebut ada setidaknya 100 anggota MILF yang ikut membantu Kelompok Maute di Marawi. Dan mayoritasnya anak-anak muda, yang punya semangat "jihad" berapi-api tetapi dihambat kelompok tua yang mengedepankan diplomasi politik.

Baca: Grup Maute dalam Perang Marawi: 'Anak Muda Tak Tahu Diri'

Analisis macam itu dibenarkan oleh pemimpin MILF Al Haj Murad Ibrahim.

"Apa yang kita lihat sekarang ... mereka (kelompok pro-Negara Islam) memanfaatkan penundaan proses perdamaian. Mereka mencoba memengaruhi kaum muda dengan mengatakan puluhan tahun telah dihabiskan untuk proses perdamaian tapi tidak ada yang terjadi," kata Murad kepada Channel News Asia.

"Mereka mencoba membuat anak-anak muda bergabung dengan kelompok mereka, dengan mengatakan: hanya lewat kekerasan, kita bisa mencapai tujuan."

Pemerintahan Duterte Mengulur Waktu

Pada 30 September lalu, Kongres Bangsa Maranao dihelat di Kota Iligan. Peserta kongres sepakat menggugat Angkatan Darat Filipina dan pemerintah Filipina atas pengeboman dan kehancuran di Kota Marawi.

Pengacara Firdausi Abbas, Ketua Kongres Bangsa Maranao, mengatakan akan mengajukan kasus ini di Pengadilan Internasional di Den Haag, dengan tuntutan ganti rugi kerusakan senilai Rp120 miliar atau Rp39,2 triliun.

Tuntutan ini sangat mungkin utopis, mengingat undang-undang internasional dan nasional hanya mengakui pihak tergugat adalah individu, bukan entitas negara. Namun, ada pesan terselubung di balik langkah politik tersebut.

Agakhan Sharief alias Bin Laden, seorang pemimpin muslim di Marawi, berkata kepada saya bahwa Maranao kini "sudah tidak percaya lagi" dengan janji manis rekonstruksi pemerintah.

"Kami kini lebih berpikir realistis. Butuh dana besar untuk kembali membangun Marawi. Dan jika pun ada, apakah bantuan ini bisa secara adil didapatkan oleh semua korban konflik?" katanya.

Baca juga: Internal ISIS di Marawi Gampang Terpecah

Hal sama diungkapkan Maulana Mamutuk, wartawan lokal Ranao Media. Ia sempat memasuki wilayah ISIS dan mewawancarai pemimpinnya, Abdullah Maute, saudara Omarkhyam Maute. Kata Mamutuk, penduduk Marawi bisa belajar dari apa yang menimpa penduduk Zamboanga, yang jadi medan perang pada 2013 saat pasukan pemerintah mengusir militan MNLF.

Meski perang hanya berlangsung dua minggu, ribuan rumah rusak berat. "Silakan Anda lihat apa terjadi di sana. Apakah pemerintah betul mengganti dan memberikan bantuan hingga hidup mereka kembali normal? Tentu saja tidak," katanya.

Secara skeptis, ia menilai pemerintah akan terus mengulur janji-janji itu, baik soal bantuan ataupun pengesahan BBL.

"Saya tidak percaya BBL akan diterima. Buktinya, kini muncul pengalihan isu pergantian sistem ke negara federal, yang dianggap lebih cocok ketimbang BBL. Dan isu itu dilempar oleh pemerintah sendiri untuk membodohi kami."

Ia berkata "mungkin saja" kondisi politik di Mindanao pasca-ISIS akan memburuk dalam waktu dekat.

Infografik HL Indepth Marawi pasca ISIS

Efek terhadap Indonesia dan Asia Tenggara

Pemimpin MILF, Al Haj Murad Ibrahim mengatakan, hasil untuk perundingan perdamaian di Mindanao "sangat penting" bagi stabilitas dan keamanan di Asia Tenggara.

"Jika masalah di Filipina memburuk, Malaysia (dan) Indonesia akan terpengaruh," katanya.

Baca juga: WNI yang Bertempur di Marawi

Saat Mindanao bergejolak pada dekade 1990-an dan 2000-an, bak gula dikerubungi semut, Filipina selatan seketika dipenuhi para jihadis dari Asia Tenggara. Ketika konflik pecah, ada relasi simbiosis mutualisme antara milisi lokal dan para jihadis luar.

Mantan pemimpin Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas, kepada redaksi Tirto mengakui banyak orang Indonesia, khususnya alumni Afganistan dan kelompok JI, "begitu dihargai" di sana.

"Saya masih ingat, saat umur 25 tahun mendirikan Kamp Abu bakar di sana. Di usia sebegitu muda itu, saya begitu dihormati oleh mereka. Secara kapasitas kemampuan militer, kehadiran kami membantu mereka memerangi pasukan Filipina," katanya.

Pada medio 1990-an, MILF mengizinkan kelompok teror regional macam Jamaah Islamiyah untuk mendirikan kamp pelatihan paramiliter di wilayahnya. Keputusan ini kadang menghantui kelompok tersebut dalam proses perundingan damai di masa sekarang.

"JI dari Indonesia secara sukarela berjuang bersama kami saat puncak pertempuran kami, terutama ketika pemerintah memerangi kami habis-habisan pada dekade 2000-an," kata Murad.

"Jadi ketika mereka (meminta) mendirikan kamp mereka sendiri, kami mengizinkan mereka. Tapi setelah kami melanjutkan proses perdamaian, kami dengan sopan meminta mereka (JI) untuk meninggalkan Filipina."

"Kami mengatakan, karena kami sudah dalam proses perdamaian, tidak perlu kami mengadakan kamp pelatihan ini," ujar Murad.

Secara perlahan militan Jamaah Islamiyah mulai cabut dari kawasan Mindanao pada 2001. Seorang pejabat dari Komite Koordinasi untuk Penghentian Permusuhan, yang dipimpin oleh pemerintah, mengakui Gunung Caracao, tempat kamp Jamaah Islamiyah, telah bebas 100 persen dari JI sejak 2013.

Baca juga: Orang-Orang Indonesia yang Bikin Keruh Konflik Marawi

Namun, cerita kaum jihadis dari Malaysia maupun Indonesia mulai menyingkir dari Mindanai bakal lain perkara bila konflik besar kembali meletus.

Pasalnya, data intelijen terbaru melaporkan beberapa kombatan asing, khususnya dari Malaysia, terpantau bergabung dengan kelompok Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro faksi Abu Turaipe. Belum diketahui, apakah kombatan asing ini sebelumnya bertempur di Marawi atau sengaja datang ke Mindanao untuk bergabung ke grup bersenjata itu.

Sejak sekian lama, di bawah gagasan "Daulah Islamiyah", Mindanao dilihat oleh para jihadis Asia Tenggara untuk keperluan dua hal: berlatih atau membeli senjata. Perdamaian di Mindanao otomatis menutup pintu-pintu itu.

Murad mengatakan, kontrol lemah pemerintah di dataran tinggi dan daerah pedesaan Mindanao membikin jalur masuk-keluar milisi Indonesia dan Malaysia sulit terpantau.

"Banyak daerah yang tidak terlindungi dengan baik. Mindanao juga sangat berpori. Mereka bisa dengan mudah masuk. Dan satu lagi, orang Indonesia dan Malaysia terlihat seperti orang Filipina," kata Murad.

Baca juga artikel terkait ISIS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam