tirto.id - Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede, mengeklaim, utang Indonesia tidak besar karena rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 38,68 persen. Angka itu masih jauh dari batas aman seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yakni sebesar 60 persen.
Raden malah melihat angka yang terlampau tinggi adalah perbandingan rasio utang terhadap rasio pajak (tax ratio) yang pada tahun ini hanya sebesar 10,12 persen. Padahal, setiap tahunnya pemerintah harus menganggarkan sekitar 1,5 persen dari PDB untuk membayar utang.
“Itu cukup besar. Jadi itu menjadi masalah. Bukan utang kita dalam rasio yang relatif rendah, tapi tax ratio kita relatif rendah,” kata Raden, dalam acara Investortrust CEO Forum, di Ayana Midplaza Jakarta, Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Rasio utang Indonesia termasuk sebagai rasio utang terendah dibanding negara-negara lain di dunia. Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) memiliki rasio utang yang tembus 100 kali lipat dari PDB, utang Jepang bahkan 254 persen dari PDB, atau Singapura yang memiliki rasio utang 162,5 persen terhadap PDB.
Untuk negara Asia Tenggara, rasio utang Indonesia juga jauh lebih rendah dari Malaysia dan Thailand yang masing-masing sebesar 66,4 persen dan 64,5 persen terhadap PDB.
Sebaliknya, rasio pajak Indonesia termasuk yang terkecil di dunia. Berdasar data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2022, ketika rasio pajak nasional mencapai 12,1 persen, hanya lebih tinggi dari Bhutan (11,3 persen), Laos (10,3 persen), Pakistan (10 persen), Bangladesh (7,5 persen), dan Sri Langka (7,4 persen).
“Apakah hutang kita cukup besar? Boleh dikatakan dibandingkan negara-negara lain dari rasio PDB relatif tidak terlampau besar, tapi dari sisi beban fiskal besar, relatif besar. Kenapa? Karena tax ratio terlampau rendah. Tax ratio kita hanya (sekitar) 10,5 persen dari PDB,” imbuhnya.
Raden menambahkan, beban fiskal yang diakibatkan oleh pembayaran utang pemerintah akan semakin besar saat rasio pajak mini. Ia beralasan, rasio pajak berbanding lurus dengan penerimaan pajak yang dikantongi pemerintah.
“Negara seperti Kamboja aja 15 persen, negara dengan income per kapita 5.000 dolar per kapita seperti yang kita alami sekarang, biasanya tax rationya sekitar 17 persen. Kita too low. Jadi bukan (utang) kita terlampau besar, tapi rasio utang kita terhadap beban dibandingkan dengan tax ratio itu terlampau tinggi,” ujar dia.
Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk mendorong penerimaan negara agar beban fiskal tak semakin terbebani dengan pembayaran utang maupun bunganya. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan rasio pajak nasional melalui reformasi perpajakan.
“Untuk itu, menurut kami reform di perpajakan is a must,” tegas Raden.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher