tirto.id - “Pada tahun kita memperingati setengah abad Kemerdekaan Nasional, pada waktu kita berada pada awal tahap tinggal landas sekarang ini, putra-putri bangsa kita telah mulai menguasai teknologi canggih.”
Demikian penggalan Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto di depan Sidang DPR pada tanggal 16 Agustus 1995, menyambut HUT RI ke-50. Enam hari sebelumnya, bangsa Indonesia baru saja menyaksikan penerbangan perdana pesawat N250 Gatotkaca buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Bacharuddin Jusuf Habibie berada di belakang kesuksesan hajatan bertema teknologi tinggi pertama di tanah air itu.
Pesawat N250 Gatotkaca adalah pesawat penumpang pertama yang memakai teknologi mutakhir fly by wire. Saat pertama kali mengudara pada 10 Agustus 1995 di atas langit Kota Bandung, Gatotkaca diawaki oleh pilot-penguji Erwin Danuwinata dan co-pilot Sumarwoto, serta teknisi Hindrawan Hary Wibowo dan Yuares Riadi. Selain menuai pujian, peristiwa bersejarah dalam industri kedirgantaraan Indonesia ini juga dianggap sebagai ujian psikologis oleh sebagian kalangan.
Jurnalis senior Andi Makmur Makka dalam The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan (2008: 200) menulis bahwa rasa ragu dan pesimis itu muncul karena aspek penguasaan teknologi tinggi yang terbilang baru di Indonesia. Pers asing yang tidak pernah melihat sisi positif dari industri penerbangan tanah air kala itu malah mengkomentarinya sebagai pertaruhan Habibie. Majalah asal Hong Kong, Asiaweek, edisi 11 Agustus 1995, terang-terangan menilai uji coba perdana secara terbuka yang dilakukan pemerintah Indonesia bukanlah hal yang lumrah.
“Bagaimana jika terjadi kesalahan? Beberapa orang percaya bahkan Soeharto pun tidak akan bisa menyelamatkan kawan lamanya dari kekacauan tingkat tinggi semacam itu,” tulis Asiaweek.
Menurut Makmur Makka, pemberitaan Asiaweek menjadi teror bagi sebagian kecil lingkungan pejabat tinggi pemerintahan. Jika N250 benar-benar mengalami musibah, bukan hanya Habibie dan IPTN yang mendapat malu, melainkan pemerintah Indonesia secara keseluruhan. Ambisi pengembangan negara berbasis teknologi tinggi yang sudah direncanakan rezim Soeharto sejak awal tahun 1970-an itu bisa hancur berantakan.
Minyak Menyalakan Ambisi Teknologi
Sejarah perakitan pesawat terbang oleh orang-orang Indonesia nyaris seusia Republik Indonesia. Pada tahun 1940-an, Agustinus Adisutjipto, seorang lulusan sekolah penerbangan Kalijati Maguwo, Yogyakarta, merancang ulang pesawat intai buatan Jepang menjadi pesawat serang. Jejaknya ini diikuti oleh Wiweko Soepeno dan Nurtanio Pringgoadisurjo yang membuat pesawat layang untuk keperluan latihan calon kadet penerbang.
Dalam biografi Nurtanio: Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia (2004: 55), JMV. Soeparno mengisahkan bahwa pesawat glider pertama yang dibuat di masa revolusi itu lantas melambungkan kepeloporan Nurtanio dalam industri penerbangan. Pada pertengahan tahun 1966, Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) didirikan untuk merakit pesawat terbang serbaguna bernama Gelatik. Tidak ada hubungan khusus antara lembaga ini dengan benih rezim Orde Baru yang sedang tumbuh pada waktu itu, setidaknya sampai awal tahun 1970-an.
Pada tahun 1973, ledakan harga minyak dunia mengubah pandangan Soeharto terhadap teknologi. Menurutnya, industrialisasi yang sedang berkembang pesat di bawah pemerintahannya tidak berarti apa-apa tanpa teknologi mutakhir. Teknologi penerbangan merupakan salah satu sektor yang dinilai paling menentukan.
Soeharto lantas mengalihkan wewenang pengembangan lanjutan industri penerbangan kepada Ibnu Sutowo, seorang Letnan Jenderal yang mengepalai Pertamina. Melalui perantara Ibnu Sutowo pula, Soeharto berusaha menarik perhatian Habibie yang kala itu masih bekerja di Messerschmitt Bolkow Blohm (MBB) agar bersedia menjadi arsitek pembangunan Orde Baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarawan Takashi Shiraishi menyebut pada mulanya minyak memainkan peran penting dalam keberhasilan proyek-proyek pemerintah di bidang industri penerbangan. Ekspansi bisnis Pertamina yang semakin luas memungkinkan Soeharto melibatkan Ibnu Sutowo ke dalam usaha pengembangan teknologi pembuatan pesawat terbang melalui divisi Advanced Technology and Aeronautics yang dipimpin oleh Habibie.
“Seperti halnya banyak proyek lain yang kemungkinan tidak akan disetujui oleh para teknokrat atau IMF dan Bank Dunia, mereka juga dipercayakan kepada Ibnu Sutowo dengan Habibie sebagai wakilnya,” tulis Shiraishi dalam makalah “Rewiring Indonesian State” yang terdapat dalam bunga rampai Making Indonesia: Essays on Modern Indonesia in Honor of George McT. Kahin (2018: 168).
Sayangnya, jalan pintas menuju Indonesia yang melek teknologi lewat bantuan minyak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dua tahun setelah meraup untung yang sangat besar dari perdagangan minyak, skandal korupsi di Pertamina naik ke permukaan dan menghasilkan utang sebesar 10 milyar dolar AS. Beberapa sektor usahanya terpaksa diambil alih oleh para ekonom, namun tidak satupun di antara mereka yang bersedia menangani sektor teknologi pesawat terbang.
Habibie sendiri menerima banyak kritikan dari para ekonom yang memandang uang negara seharusnya dialokasikan ke bidang pendidikan atau perumahan, bukan pesawat terbang. Pandangan miring seputar teknologi itu tidak berlarut-larut. Pada tahun 1976, atas permintaan Habibie, Soeharto malah bertindak lebih jauh dengan melebur divisi teknologi dan penerbangan Pertamina ke dalam LIPNUR yang kemudian melahirkan IPTN.
Negara Teknologi Orde Baru
Realisasi obsesi Soeharto membangun negara teknologi melalui industri penerbangan berlanjut ketika dirinya mengangkat Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi pada 1978. Soeharto pun disebutkan menangani sendiri solusi keuangan IPTN lewat aliran dana yang jarang diketahui publik, yang berperan membuat institusi ini berkembang pesat hanya dalam waktu 10 tahun.
Menurut Sulfikar Amir dalam The Technological State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and Authoritarian Politics (2012: 113), perkembangan yang paling mencolok dari IPTN ialah penambahan jumlah sumber daya manusia yang bekerja di dalamnya. Di awal tahun 1990-an, perusahaan pelat merah ini tercatat memiliki karyawan terbanyak di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Menurut Amir, IPTN bagi Soeharto merupakan wadah bagi teknisi dan insiyur dari penjuru Indonesia mengasah kemampuan mereka. Melalui cara ini, pemerintah mengharapkan penambahan jumlah tenaga kerja berkualitas di bidang industri dan teknologi. Melaluinya, bangsa Indonesia diharapkan semakin melek teknologi dan ilmu pengetahuan.
“Seperti yang sering digambarkan dalam metafora rezim Orde Baru, IPTN berfungsi sebagai benteng tempat para ‘patriot teknologi’ dilatih untuk mengantisipasi pertempuran di industri global,” terang Amir.
Di mata pejabat Orde Baru, pesawat N250 Gatotkaca yang mengudara menjelang perayaan HUT RI ke-50 bukan sekadar pesawat terbang biasa. Seperti disebutkan Amir dalam bukunya, N250 pada dasarnya diperlakukan ibarat artefak berteknologi canggih untuk memamerkan keberhasilan pembangunan dalam negeri oleh Orde Baru di muka Asia.
Editor: Irfan Teguh