tirto.id - Kalau berjalan sesuai rencana, Ed Sheeran akan menyelenggarakan konser di Gelora Bung Karno pada 3 Mei 2019. Tiket sudah mulai dijual sejak tanggal 5 Desember lalu dengan harga merentang dari Rp550 ribu hingga Rp2,6 juta. Pada hari pertama penjualan tiket, promotor PK Entertainment mendapat protes dari para pembeli yang marah lantaran tidak mendapat konfirmasi pembelian setelah melakukan pembayaran.
Hari itu pihak promotor meminta maaf atas terjadinya kesalahan teknis akibat terlalu banyak pengunjung yang mengakses situs resmi penjualan tiket secara bersamaan. Antusiasme para fans Ed Sheeran cukup bisa dimaklumi. Seharusnya konser Ed di Jakarta sudah diselenggarakan bulan November lalu namun terpaksa batal lantaran Ed mengalami kecelakaan.
Divide Tour ialah tur dunia ketiga Ed untuk mempromosikan album ketiga. Salah satu single dalam album ini, "Shape of You", bisa dikatakan sebagai salah satu lagu karya Ed yang sukses di pasaran. The Guardianmencatat bahwa dalam kurun waktu 24 jam setelah dirilis, lagu tersebut diputar lebih dari enam juta kali di Spotify, dan membengkak jadi 53 juta kali dalam waktu seminggu. Forbes melaporkan bahwa di Amerika Serikat, lagu ini menempati urutan pertama tangga lagu selama 12 minggu. Di Inggris, lagu tersebut menempati urutan teratas selama 14 minggu. Sementara di Australia, "Shape of You" jadi lagu terlama yang bertahan di peringkat teratas tangga lagu. Lagu itu pula yang membuat Ed mendapat penghargaan Grammy untuk kategori Best Pop Solo Performance.
Segala kesuksesan Ed ini cukup mengejutkan jika melihat sosoknya dari luar. Dalam sebuah artikel di Vice, penulis Joel Golby menyebut Ed sebagai "laki-laki yang mudah saja kamu lupakan di sekolah. Sosok yang mungkin tak kamu ketahui namanya."
Penggambaran itu tidak keliru. Dalam wawancara panjang dengan GQ, Ed mengakui bahwa dirinya anak yang aneh. Kawan-kawanku, ujar pria kelahiran Halifax ini, mengira aku mengidap attention deficit disorder karena energi yang besar. Kawan-kawannya yang kebanyakan berasal dari kalangan menengah atas itu juga kurang membuatnya nyaman. Ia lebih suka bermain gitar dan bernyanyi dalam kelompok paduan suara.
Ayah Ed menyadari anaknya hanya tertarik bermusik. Untungnya, ia mendorong Ed untuk jadi musisi yang baik. Sang ayah rutin mengajak Ed menonton konser. Sepuluh tahun lalu sang ayah mengizinkannya untuk keluar dari sekolah dan merantau ke London demi berkarier. Ayahnya yang berprofesi sebagai kurator itu berpesan agar Ed mampu jadi seperti James Morisson yang bisa tampil 200 kali dalam setahun.
Momen awal di London bukan masa yang baik. Ed menambah banyak daftar tunawisma yang ada di kota tersebut. Ia tidur beberapa meter dari Buckingham Palace. Pria ini mengisi hari dengan bernyanyi di berbagai bar. Sebagai penyanyi amatir bayarannya saat itu hanya satu porsi makanan. Rutinitas tersebut dilakukan sekitar dua setengah tahun.
"Tahun 2010 itu tahun terberat. Saya tampil di bar yang sama, tidur di sofa yang sama, dan banyak minum," katanya pada The Financial Times.
Masa-masa berat itu yang menempa Ed hingga pada 2011 ia dikontrak Atlantic Records dan mengeluarkan single "The A Team". Ini adalah sebuah lagu yang terinspirasi kisah hidup seorang penghuni tempat pengungsian para tunawisma. Dalam waktu singkat, single ini jadi lagu populer. Ed bisa mewujudkan impiannya membeli rumah dari hasil penjualan lagu selama satu minggu.
“Ed punya kemampuan unik. Ia bisa mengubah lagu beraliran folk dan black music. Idolanya ialah Eminem, Damien Rice, dan Bob Dylan. Ia bisa membawakan musik hip hop dan tampil di acara underground dan meyakinkan penonton bahwa ia otentik. Ia punya kombinasi yang spesial,” kata George Ergatoudis, Head of Music BBC Radio 1 kepada TheFinancial Times.
Tahun-tahun berikutnya terasa sebagai momen-momen manis. Pada 2012 Ed mendapat kesempatan jadi pembuka konser Snow Patrol di Amerika Serikat. Setelah itu ia jadi penyanyi pembuka konser Taylor Swift. Dari sana, nama Ed makin menjulang. Selain itu, Ed juga berkawan baik dengan Taylor. Mereka merasa punya kemiripan, salah satunya: anak tak populer dan tidak berprestasi di sekolah.
Selain Taylor, pengagum besar Ed adalah Elton John.
“Ia penulis lagu yang baik. Ia bisa menulis melodi dengan sederhana. Saya rasa Van Morrison pun akan bangga kalau bisa menulis lagu seperti 'Thinking Out Loud'. Ed mengingatkan saya tentang masa muda, antusiasme dan cinta yang ia miliki. Ia sanggup menghibur 90.000 orang dalam konsernya,” kata Elton yang mengurus tim manajemen Ed.
Konser yang dimaksud Elton ialah konser yang diselenggarakan di Wembley. Ed bisa memuaskan para fans dengan tampil hanya menggunakan gitar. Katanya, itu strategi branding yang sengaja ia rancang untuk membedakannya dengan penyanyi lain.
Hal penting lain yang juga membuat Ed sukses di ranah musik ialah ambisi dan sikap kompetitifnya. Ia punya rencana jangka panjang yang cukup detail untuk jadi pegangan.
“Saya berencana meluncurkan 15 album terlebih dulu. Lima EP pertama, lalu Plus, Multiply, Divide. Akan ada dua album lagi dalam seri lima album ini dan saya akan buat lima album lagi setelahnya,” katanya pada GQ.
Itu adalah targetnya sampai tahun 2030. Untuk memastikan target terpenuhi, Ed konsisten memantau data penjualan setiap minggu. “Kamu tidak akan pernah sukses kalau cuma melakukan hal yang kamu suka," ujarnya.
Selain melihat data, ia melihat “pesaing” nya. Saat ini ia menganggap Adele sebagai kompetitor. Ia merasa setara dengan penyanyi "Someone Like You" itu dan merasa kalah karena 10 tahun terakhir karya Adele terjual lebih banyak.
Dan lewat tur keliling dunia, Ed berupaya mengejar ketinggalan itu.
Editor: Nuran Wibisono