tirto.id - Polisi menangani kasus dugaan korupsi pengadaan bahan bakar minyak jenis high speed diesel (HSD) atau solar, dengan tersangka mantan Direktur Energi Primer PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Nur Pamudji, selama empat tahun.
Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, Kombes Pol Arief Adiharsa mengatakan penanganan perkara itu tergolong lama karena perlu pembuktian.
“Tindak pidana korupsi berbeda dengan perkara yang lain, kadang tidak selalu sempurna keadaan barang buktinya. Karena korupsi itu kejahatan yang direncanakan,” ujar dia di gedung Bareskrim Mabes Polri, Jumat (28/6/2019).
Arief menambahkan, karena direncanakan pelaku berusaha untuk tidak terdeteksi.
Menurut Arief kesulitan itu adalah menemukan fakta-fakta perbuatan, mengaitkan niat dan alat bukti di persidangan.
“Belum lagi kalau banyak layering, layering itu misalnya skimming, kepemilikan perusahaan yang berpisah,” ucap dia.
Perkara Nur Pamudji terdaftar dalam Laporan Polisi Nomor: LP/694/VI/2015/Bareskrim bertanggal 5 Juni 2015. Selanjutnya Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Sidik/155.a/VIII/2017/Tipidkor bertanggal 9 Agustus 2019 dikeluarkan penyidik.
Kemudian Berkas Perkara Nomor: BP/B.10.04/III/2018/Tipidkor bertanggal 14 Maret 2018. Ketiga dokumen itu menjadi dasar polisi memproses perkara, penyidik juga memeriksa 60 saksi.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan korupsi termasuk dalam kejahatan luar biasa sehingga pembuktian harus akurat.
“Proses pembuktian harus secara ilmiah, baru bisa menjadi berkas yang sempurna dan dapat dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum untuk diteliti,” ucap Dedi.
Jaksa pun menetapkan berkas perkara Nur Pamudji lengkap (P-21). Kini polisi memeriksa terduga tersangka lain dalam kasus ini, namun pihaknya belum mau menginformasikan lebih detail.
Kasus bermula ketika Nur Pamudji bertemu dengan Presiden Direktur Trans-Pacific Petrochemical lndotama (TPPI), Honggo Wendratno, pada tahun 2010. Mereka bertemu sebelum lelang tender, membahas pengadaan HSD.
Pengadaan yang dilakukan oleh panitia pengadaan di PT PLN atas perintah dari Nur Pamudji untuk memenangkan Tuban Konsorsium (PT TPPI selaku leader) menjadi pemasok HSD. Bahan bakar itu untuk disuplai ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambak Lorok dan PLTGU Belawan periode tahun 2010.
“Tuban Konsorsium ditetapkan sebagai pemenang lelang untuk Lot II PLTGU Tambak Lorok dan Lot IV PLTGU Belawan walaupun Tuban Konsorsium tidak layak dan tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pemenang,” jelas Djoko.
Kontrak empat tahun antara PT PLN dan Tuban Konsorsium untuk jangka waktu 10 Desember 2010 hingga 10 Desember 2014. Namun TPPI hanya mampu memasok 11 bulan, alasannya, kata Djoko, karena mereka tidak mampu melanjutkan proses pemasokan.
TPPI tidak mampu memasok HSD di kedua PLTGU tersebut, sehingga PT PLN harus membeli dari pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari nilai kontrak dengan Tuban Konsorsium yang mengakibatkan PT PLN mengalami kerugian.
“Sehingga pasokan itu jadi tanggung jawab PT PLN,” terang Djoko.
Kerugian negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 9/LHP/XXI/02/2018 tanggal 2 Februari 2018, kerugian negara dalam perkara tersebut mencapai Rp188.745.051.310,72.
Penyitaan berupa dokumen dokumen dan uang dari PT TPPI yakni:
1) 6 Maret 2018 sebesar, Rp140.715.151.524,79
2) 24 Mei 2018, Rp8.784.695.405,06
3) 24 mei 2018, Rp23.869.855.743,00
Jadi total uang yang berhasil disita mencapai Rp173.369.702.672,85
Nur Pamudji disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Nur Hidayah Perwitasari