tirto.id - Terkait beredarnya situs hoax yang semakin marak, Pemerintah akan memblokir situs yang dinilai menyebabkan keresahan. Pakar keamanan siber Pratama Persadha memandang perlunya Pemerintah memberikan penjelasan bagaimana tahapan-tahapan dan alasan secara rinci soal pemblokiran situs agar masyarakat bisa menerimanya.
"Pemerintah juga harus menghindari terjadinya 'chaos' di wilayah siber Tanah Air," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) kepada Antara di Semarang, Jumat pagi (6/1/2017).
Pratama cukup khawatir bila Pemerintah tidak cukup memberi ruang mediasi, bisa muncul prasangka buruk yang berakibat saling serang antarperetas, baik menyerang situs berita maupun akun media sosialnya.
Masalahnya, beberapa kali pemblokiran oleh Kominfo, menurut dia, ada beberapa situs yang secara isi tidak ada kaitan dengan tindakan teroris dan radikal, juga tidak menyebarkan ujaran kebencian.
Hal itulah yang ditakutkannya terjadi kembali sehingga sudah sepatutnya Pemerintah tetap bijak dan selektif dalam pemblokiran situs yang dianggap berbahaya.
"Posisi kita juga cukup rawan karena di Indonesia belum ada Badan Cyber Nasional. Jadi, bila ada saling retas di antara beberapa kelompok di Tanah Air, aparat kepolisian praktis akan sangat kesulitan," ujarnya.
Oleh karena itu, Pramata menilai sudah tepat bila Presiden Jokowi memerintahkan segera pembentukan Badan Cyber Nasional.
Menyinggung kembali soal pemblokiran, Pratama menilai langkah itu sangat baik guna menghindarkan masyarakat dari berita "hoax".
"Namun, jangan sampai karena kurangnya sosialisasi menjadikan ini sebagai area perang baru dari orang-orang yang jago di dunia maya," ujarnya.
Pratama juga memandang penting menghapus berita "hoax" di mesin pencari, seperti Google. Hal ini dilakukan banyak negara, salah satunya Jerman.
Berita dan gambar yang sesatkan masyarakat, menurut Pratama, tidak hanya diblokir, tetapi juga dihilangkan dari mesin pencari di internet.
Sedangkan menurut anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan, pemblokiran situs internet seharusnya menjadi jalan terakhir, kendati bertebaran situs-situs yang dinilai provokatif.
"Pemblokiran situs-situs berkonten Islam ini seharusnya tidak terulang lagi," kata Sukamta lewat keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Kamis lalu.
Jika pemblokiran terpaksa dilakukan, kata dia, seharusnya menjadi jalan terakhir setelah pembinaan dilakukan.
Tanggung jawab itu diemban banyak pihak baik masyarakat, swasta maupun pemerintah demi mewujudkan dunia maya beradab sebagaimana semangat UU ITE.
Sekretaris Fraksi PKS itu meminta pemerintah agar bekerja secara sistematis, terukur dan teratur dimulai dengan membuat peraturan-peraturan terkait.
"Segera buatlah peraturan pemerintah tentang pemblokiran yang mengatur kriteria dan parameter yang dilarang apa saja, siapa yang berhak melarang, bagaimana prosedurnya, siapa yang menindak dan seterusnya," kata dia.
Untuk itu, kata dia, segera buat unit yang secara khusus menangani situs provokatif sesuai amanah UU ITE Pasal 40 ayat 6 sebagai acuan baku.
Di era demokrasi saat ini, menurutnya, setiap unsur harus bermain di ruang permainan yang terang dan jelas. Hal abu-abu harus dibuat menjadi jelas karena tanpa aturan yang jelas membuat pemblokiran menimbulkan masalah baru yang tidak perlu. Selain itu, akan timbul kesan pemerintah berlebihan, sewenang-wenang dan anti kritik.
Menurut dia, jangan sampai terdapat ketidakadilan dalam penertiban situs dan ada unsur pandang bulu. Jangan lebih suka memblokir situs dengan konten agama tertentu tapi tidak ada penindakan situs dengan konten agama lain yang juga dinilai bertentangan dengan UU ITE.
Misalnya, kata dia, jangan sampai pemerintah memblokir situs yang suka mengkritik. "Saya khawatir ketidakadilan semacam ini akan semakin membuat suasana tidak kondusif, tidak terkendali, karena masyarakat akan semakin marah dan protes," kata dia.
Dia mengatakan harus ada prioritas penertiban situs-situs yang berisi ajakan untuk memberontak kepada NKRI, situs yang bernuansa ekstrem, tidak toleran, terorisme dan negatif lainnya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri