Menuju konten utama

Alasan Jokowi Pilih Penajam-Kutai Jadi Ibu Kota Baru, Ganti Jakarta

5 alasan Jokowi pilih Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kertanegara jadi ibu kota baru

Alasan Jokowi Pilih Penajam-Kutai Jadi Ibu Kota Baru, Ganti Jakarta
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Ibu kota baru Indonesia resmi diumumkan Presiden Jokowi di dua kabupaten yang ada di Kalimantan Timur, yaitu di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kertanegara.

Pengumuman Ibu kota baru ini dirilis Presiden Joko Widodo secara resmi di Istana Negara, Senin (26/8/2019) siang

"Berdasarkan riset tiga tahun. Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Timur," kata Jokowi di Istana, Senin (26/8/2019) siang.

Terkait pemilihan ibu kota baru ini, terdapat lima alasan kenapa dua tempat itu yang dipilih.

Alasan Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kertanegara dipilih jadi ibu kota baru di antaranya, pertama, karena menurut Jokowi, risiko bencana minimal, baik banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, dan tanah longsor.

Kedua, "lokasi strategis, ada di tengah-tengah Indonesia." Secara geografis, jarak rata-rata Kalimantan Timur ke seluruh Provinsi di Indonesia memang cukup pendek, yakni 893 km--terpendek kedua di antara lima calon ibu kota lainnya, atau di bawah Kalimantan Tengah yang jarak rata-rata ke seluruh provinsinya sejauh 792 km.

Ketiga, kabupaten itu ada "di dekat perkotaan yang sudah berkembang: Balikpapan dan Samarinda."

Keempat, kata Jokowi, "infrastruktur yang relatif lengkap." Dan terakhir di dua tempat itu "tersedia lahan yang sudah dikuasai pemerintah, seluas 180 hektare."

Jokowi mengatakan setelah ini pemerintah akan mulai merancang UU ibukota baru. 2020 akhir pemerintah akan memulai konstruksi, dan pada 2024, pemindahan akan dilakukan secara bertahap. Pembangunan akan dilakukan bersama swasta. Untuk APBN hanya menyumbang 19 persen dari total biaya yang dibutuhkan.

Jika ibu kota dipindah ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kertanegara, bagaimana dengan Jakarta?

Jokowi memastikan, "Jakarta akan tetap jadi pusat bisnis, perdagangan yang berskala global."

Terkait nasib Jakarta ini, Sekjen PPP Arsul Sani turut menanggapi. Ia mengatakan salah satu yang perlu dipersiapkan adalah dasar hukum pembentukan ibu kota baru.

"Kalau tanpa ada landasan UU, takutnya bisa berubah pikiran presiden berikutnya," kata Arsul di Jakarta, Senin (26/8/2019).

Pengamat perkotaan yang juga dosen di Universitas Trisakti Jakarta Yayat Supriatna mengatakan UU baru diperlukan untuk mencegah timbulnya masalah hukum di kemudian hari.

Pemerintah sudah tahu itu. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menegaskan, "pastinya dirumuskan jadi satu UU."

Saat ini, landasan hukum ibu kota Indonesia adalah UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (PDF).

Sebelumnya landasan hukum ibu kota adalah UU 34/1999. Aturan lama ini diganti karena "sudah tidak sesuai dengan karakteristik permasalahan Provinsi DKI Jakarta, perkembangan keadaan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan."

Jika UU baru ini terbit, otomatis UU 29/2007 tidak lagi berlaku. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi menjelaskan, hal paling mendasar yang bakal dialami Jakarta adalah kehilangan gelar 'DKI'.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Politik
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Agung DH