tirto.id - James Horncastle ialah seorang penulis sepakbola yang berasal dari Inggris. Meski begitu, ia nyaris tak pernah menulis tentang perkembangan sepakbola di negara kelahirannya itu. Sebaliknya, sering menulis untuk FourFourTwo, BBC, hingga ESPN, ia justru lebih senang menulis tentang sepakbola Italia.
Pada 2017 lalu, karena James sudah dianggap sebagai salah satu penulis ternama sepakbola Italia, Football Italia kemudian bertanya kepadanya: “Mitos seperti apa yang sampai sekarang masih ada di dalam sepakbola Italia, tapi Anda akan merasa senang ketika berhasil menyingkirkannya?”
James lantas menjawab dengan enteng, bahwa masih ada banyak orang yang mengganggap sepakbola Italia hanya dimainkan untuk mengamankan pertahanan. Kenyataannya, menurut James, anggapan itu adalah bualan belaka: sepakbola Italia adalah kebalikannya. Dan sekitar dua tahun setelah wawancara itu, tepatnya dalam gelara Serie A musim 2018-2019, Atalanta, salah satu tim kecil asal Italia, setidaknya berhasil membuktikan ucapan James tersebut.
Tengah pekan lalu, saat hampir seluruh media dari belahan dunia mana pun membicarakan tentang keajaiban yang diciptakan oleh Tottenham Hotspur dan Liverpool dalam gelaran Liga Champions Eropa, Atalanta masih kokoh berdiri di posisi keempat Serie A.
Hingga pekan ke-35, anak asuh Gian Piero Gasperini tersebut berhasil mengumpulkan 62 angka, unggul 3 angka dari AC Milan yang berada di peringkat kelima. Jika mereka baik-baik saja dalam tiga pertandingan terakhir liga, mereka akan meraih sesuatu yang barangkali dianggap banyak orang sebagai mimpi di siang bolong: lolos ke Liga Champions Eropa 2019-2020.
Untuk bisa sampai ke tahap itu, Atalanta yang juga berhasil menembus babak final Coppa Italia pada musim ini, ternyata hanya mempunyai tiga cara: bermain semenarik mungkin, menyerang seakan tidak akan menemui hari esok, dan mencetak banyak gol ke gawang lawan.
Dan, tanpa peran Gian Piero Gasperini, Atalanta barangkali tidak akan pernah mampu tampil dengan cara seperti.
Kepercayaan Terhadap Gasperini
Saat menjadi pelatih anyar Inter Milan pada 2011, Gian Piero Gasperini langsung dihajar tanpa ampun oleh awak media yang berasal dari kota Milan. Mereka menyebut Gasperini bukanlah pelatih yang cocok untuk Inter, tidak berpengalaman, dan dianggap kuno karena ingin memainkan pakem tiga bek sejajar. Alasan lain: Gasperini langsung mengubah cara bermain Inter secara radikal.
Karena Inter tampil buruk, kepercayaan Massimo Moratti terhadap Gasperini lantas luntur setelah kejadian itu. Seperti awak media di kota Milan, Sang Bos yakin bahwa Gasperini memang bukan pelatih yang cocok untuk Inter. Kulminasinya: Gasperini kemudian dipecat setelah memimpin Inter hanya dalam lima pertandingan, dengan satu hasil seri dan empat kali menelan kekalahan.
Sekitar lima tahun setelah kejadian itu, tepatnya pada awal Musim 2016-2017, Gasperini nyaris kembali mengalami nasib serupa saat menjadi pelatih anyar Atalanta. Penyebabnya sama: Atalanta tampil buruk karena belum paham dengan filosofi Gasperini.
Mereka hanya menang sekali dan mengalami empat kekalahan dalam lima pertandingan liga. Namun, tidak seperti Moratti, Antonio Percassi, Bos Atalanta, ternyata memilih menyikapinya dengan cara berbeda.
Saat kekacuan terjadi, Percassi datang ke tempat latihan Atalanta, lantas mengatakan kepada para pemain Atalanta, “Aku tidak mempunyai keraguan sedikit pun terhadap Gasperini. Ia adalah pelatih kita, pelatih terbaik yang bisa kita miliki, dan dia tak tersentuh. Sekarang mari kita lihat bagaimana cara kalian beraksi.”
Percassi segera mendapatkan jawaban dari pemain-pemain Atalanta. Daripada menggerutu, dengan kacamata kuda, mereka memilih melahap semua keinginan Gasperini, dan secara mengejutkan, dapat memahaminya dalam waktu singkat.
Dalam tujuh pertandingan selanjutnya, Atalanta kemudian menang enam kali dan hanya sekali bermain seri. L’Eco di Bergamo, media asal Bergamo, kemudian memuji penampilan Atalanta setinggi langit: “Gila, luar bisa, benar-benar menakjubkan.”
Dua tahun berselang, tepatnya pada musim 2018-2019, Atalanta masih bermain dengan cara yang sama. Bahkan, meski sejumlah pemain terbaik mereka terus-terusan digerogoti oleh para saingan, penampilan anak asuh Gasperini tersebut semakin menjadi-jadi. James Horncastle lalu menyebut kehebatan Atalanta seperti “menentang hukum gravitasi.”
Filosofi Nyentrik Gasperini
Blair Newman, dalam analisisnya di Tifo Football, menjelaskan Gian Piero Gasperini mempunyai filosofi permainan yang nyaris tiada duanya. Seringkali menerapkan formasi 3-4-3 – kadang berubah menjadi 3-4-2-1 atau 3-4-1-2 --, Gasperini mampu mengkombinasikan cara lama dan cara modern.
Selain itu, ia juga mampu menambahkan cara baru nyaris tak pernah digunakan sebelumnya.
Dalam bertahan, Gasperini seringkali menerapkan counter-pressing yang berorientasi terhadap man-to-man marking. Saat lawan memulai buid-up serangan dari lini belakang, sesegera mungkin pemain Atalanta akan melakukan tekanan. Namun, ada yang menarik dari tekanan yang dilakukan pemain-pemain Atalanta.
Newman menulis: “Man-to-man marking yang dilakukan Gasperini bukanlah sesuatu yang dilakukan di sepakbola Italia pada era 60-an dan 70-an – ada penekanan untuk mempertahankan bentuk pertahan. Maka, saat penyerang lawan bergerak ke sisi yang berbeda, ia tidak akan terus diikuti agar pertahanan Atalanta tidak bentuk pertahanan secara koheren. Namun, untuk ukuran saat ini, taktik itu masih tergolong radikal.”
Newman menganggap pendekatan tersebut radikal tentu bukan tanpa alasan. Dalam formasi 3 bek yang diterapkan Gasperini, bek yang berposisi paling tengah biasanya mempunyai dua peran sekaligus: menjadi spare-man maupun marker -- tergantung jumlah penyerang yang diterapkan oleh lawan. Maka, saat penyerang lawan berpindah sisi, ia bisa bertukar peran dengan bek yang seharusnya menjaga penyerang lawan tersebut.
Pendekatan Gasperini dalam menyerang tak kalah menarik. Masih menurut Newman, “Timnya selalu memanfaatkan lebar lapangan, mengubah permainan dari sisi ke sisi untuk menciptakan overload. Mereka bisa melakukan umpan-umpan horisontal secara terus menerus. Namun, umpan-umpan itu dilakukan untuk membuka celah di dalam struktur pertahan lawan yang kemudian dapat dieksploitasi dengan operan diagonal yang bersifat penetratif.”
Setidaknya hitung-hitungan Whoscored bisa menjadi bukti. Sementara Atalanta hanya menguasai bola sebesar 28% di daerah tengah lapangan, penguasaan bola di sisi kanan dan sisi kiri mereka hampir seimbang: 37% di sisi kiri berbanding 38% di sisi kanan.
Yang menarik, untuk mendukung pendekatannya dalam menyerang tersebut, selain memanfaatkan pemain-pemain depan yang mampu bermain cair, Gasperini tak jarang menyuruh bek-beknya untuk maju ke depan. Meski berisiko, membuat Atalanta sudah kebobolan 43 gol di Serie A sejauh ini, pendekatan itu ternyata mujarab: serangan Atalanta menjadi semakin susah untuk ditebak lawan.
Karena filosofi Gasperini itu, Atalanta kemudian selalu tampil dengan gigi empat di Serie A musim ini. Tahu bagaimana menyudutkan lawan serta bagaimana menciptakan peluang, Atalanta kemudian mencetak 71 gol dalam 35 pertandingan, terbaik di antara konstestan Serie A lainnya. Dan di dalam kotak penalti lawan, tak ada tim Serie A lainnya yang mampu menyentuh bola lebih banyak dari Atalanta: mereka rata-rata 22,51 kali menyentuh bola di dalam setiap pertandingan
Selain itu, Atalanta juga tahu betul bagaimana caranya membuat pertandingan sepakbola tak membosankan untuk ditonton: pada 15 April 2019 lalu, saat ditahan Empoli di Stadion Azzuri d’Italia, Atalanta melakukan 47 kali percobaan tembakan ke arah gawang Empoli yang dikawal oleh Bartlomiej Dragowski.
Editor: Abdul Aziz