tirto.id - Sejumlah klaster penularan COVID-19 bermunculan dalam beberapa pekan terakhir di Indonesia. Di antaranya klaster perkantoran, klaster buka bersama, klaster tarawih di Banyumas, klaster mudik di Pati, dan klaster takziah di Semarang.
Juru Bicara Satgas COVID-9 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, Jumat (30/4/2021), mengatakan klaster dapat muncul karena interaksi yang “tidak dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat.” Situasi ini mengkhawatirkan “karena kemungkinan terjadinya superspreader,” yaitu subjek yang dapat menularkan virus ke banyak orang dalam waktu singkat.
Klaster-klaster penularan sebetulnya telah muncul sejak hampir satu tahun lalu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami community transmission, yang menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman sebagai level penularan terparah karena sumber penularan sudah tak lagi dapat terdeteksi.
“Ketika masih sedikit, klaster itu tidak tuntas [penanganannya]. Makanya sekarang jadi seperti ini (muncul klaster-klaster baru),” kata Dicky kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Senin (3/5/2021). “Ini semacam bom waktu, yang pada titik jenuhnya akan meledak seperti di India.”
India tengah mengalami gelombang kedua COVID-19 yang sangat parah. Kasus baru dan kematian bertambah cepat, oksigen habis, bahkan petugas kesulitan mengurusi jenazah-jenazah.
Meledaknya bom waktu hingga menjadi gelombang besar kasus COVID-19, menurut Dicky, adalah konsekuensi logis dari penanganan--pencegahan penularan dengan tracing, testing, dan karantina--yang tak optimal.
“Lonjakan kasus pasti terjadi, tapi titik jenuh [penyebab ledakan kasus] kapan ini yang sulit karena data [Indonesia] tak memadai untuk menghitung itu,” katanya. Untuk memprediksi kapan akan terjadi ledakan kasus, menurut Dicky, perlu data yang valid soal jumlah pengetesan hingga data kematian.
Meski begitu Dicky berani memprediksi ledakan kasus COVID-19 di Indonesia akan terjadi tahun ini. Ia bilang kini itu semua hanya tinggal menunggu momentum: ketika orang-orang abai seperti berkerumun di pasar, melakukan mudik, hingga kegiatan politik. Semua itu menjadi pemantik infeksi di kelompok yang rawan, yakni lansia dan orang-orang dengan komorbid atau penyakit penyerta.
Varian Baru Bisa Lolos dari Antibodi
Faktor lain yang potensial memperparah situasi pandemi adalah varian baru B1617 dari India dan B1351 dari Afrika Selatan, yang lebih menular, juga telah masuk ke Indonesia.
Setidaknya telah teridentifikasi dua kasus varian India dan satu kasus varian Afsel. "Ada 2 insiden yang sudah kita lihat, dua-duanya di Jakarta dan satu insiden untuk mutasi dari Afrika Selatan yang masuk, itu yang ada di Bali," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers dari Kantor Presiden, Jakarta, Senin.
Sahal Sabilil Muttaqin, peneliti bioinformatika independen lulusan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan baik varian B1351 atau B1617 ini patut diwaspadai.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada penyintas COVID-19 dan orang yang telah mendapatkan vaksinasi, varian B1351 mengakibatkan immune escape. Dalam situasi ini antibodi yang sudah terbentuk dari infeksi alami varian lain maupun vaksin berbasis MRNA mengalami penurunan yang signifikan dalam menetralisasi. Sedangkan berdasarkan uji klinis, terjadi penurunan efikasi vaksin Novavax yang sebelumnya 86 persen menjadi 60 persen dan vaksin Johnson & Johnson yang mulanya 72 persen jadi hanya 57 persen ketika menghadapi varian ini.
Lalu varian B1617 yang kini menjadi varian mayoritas di India. Pada varian ini, kata Sahal, ada dua mutasi kunci di protein spike yaitu L452R dan E484Q. Berdasarkan penelitian terkini, mutasi L452R dan E484Q meningkatkan kemampuan pengikatan terhadap reseptor ACE2, meningkatkan replikasi virus, juga potensi immune escape.
“[Dua kasus B1617 yang ditemukan di Indonesia] keduanya memiliki mutasi L452R yang harus diwaspadai,” kata Sahal, Senin.
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Dedi Supratman mengatakan dengan segala situasi saat ini lonjakan kasus sudah pasti akan terjadi. Meski begitu mengupayakan agar tidak terjadi gelombang besar kasus COVID-19 seperti di India tetap harus dilakukan. Semua itu dapat dilakukan lewat cara-cara tradisional yang sudah sering kita dengar:
“Dengan memperketat protokol kesehatan, memperketat mobilitas penduduk. Jangan sampai ini meningkat secara eksponensial. Itu yang harus dicegah.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino