tirto.id - Memasuki musim hujan, berita terkait banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrim menjadi headline yang mewarnai pemberitaan hampir setiap hari. Efek mematikan perubahan iklim (climate change) terasa kian dekat dengan kita.
Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) mencatat dari Oktober hingga 11 November 2022 terdapat 308 bencana yang melanda, mayoritas di antaranya adalah banjir dan tanah longsor sebanyak 249 bencana, dan 51 sisanya adalah bencana puting beliung (tornado).
Indonesia tak sendiri. Bencana banjir juga menerpa beberapa negara lain bahkan dalam skala lebih besar. Juni lalu, banjir menenggelamkan hampir sepertiga wilayah Pakistan, dengan 33 juta orang warga terdampak di mana 1.730 di antaranya tewas.
Akibatnya, Pakistan diperkirakan mengalami kerugian lebih dari US$ 14,9 miliar atau setara Rp 231 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/dolar AS), mengutip laporan Bank Dunia (World Bank).
Australia juga dihantam bencana banjir dan cuaca ekstrim. Per Oktober lalu, tercatat ada tiga efek La Nina yang menerjang wilayah tersebut. La Nina adalah fenomena alam berupa kenaikan suhu permukaan ar laut di Samudra Pasifik yang memicu aliran udara dingin dan berujung pada curah hujan tinggi.
Melansir reportase Guardian, fenomena tersebut diperkirakan memicu kerugian ekonomi di Australia senilai US$5 miliar dolar atau sekitar Rp 77,6 triliun (asumsi kurs Rp 15.528/dolarAS).
Realita banyaknya bencana banjir tersebut segendang sepenarian dengan studi berjudul “Flood Exposure and Poverty in 188 Countries” yang baru saja dirilis pada Juni tahun ini, dan dipublikasikan jurnal lingkungan bergengsi Nature.
Dalam penelitiannya, periset asal Amerika Serikat (AS) dan Belanda, yakni Rentschler, Salhab dan Jafino mengestimasikan bahwa 1,81 miliar penduduk dunia, atau hampir 1 dari 4 orang, berpotensi terimbas banjir dalam 100 tahun ke depan.
Negara dengan garis pantai panjang, sistem sungai kompleks, dan dataran rendah dinilai memiliki risiko terbesar terpapar musibah banjir. Belanda sebagai Negeri Dam, menjadi negara dengan persentase populasi terpapar banjir tertinggi, mencapai 59% atau 10,1 juta orang.
Selanjutnya, jika dilihat dari total populasi, maka negara berpenduduk padat lebih rentan terpapar risiko banjir. Dua negara terpadat dunia, yakni China dan India menduduki peringkat teratas dengan estimasi penduduk terpapar mencapai 395 juta dan 390 juta orang.
Bangladesh menyusul dengan populasi terpapar 97 juta, diikuti Indonesia dengan populasi terpapar banjir sebanyak 76 juta dan Pakistan (sebanyak 24 juta). Meski penduduk Bangladesh lebih sedikit dari Indonesia, tetapi dia memimpin karena populasinya terkonsentrasi di daerah aliran sungai (DAS).
Dampak Ekonomi Triliunan
Jika 23% populasi dunia berisiko terdampak banjir, dapat dibayangkan besar dampaknya pada aktivitas ekonomi masyarakat. Studi yang dirilis Nature mencoba mengestimasi risiko moneter dengan menggabungkan perkiraan jumlah penduduk terpapar dengan tingkat pendapatan per kapita.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi dengan nilai mencapai US$ 9,8 triliun atau Rp 151.900 triliun akan terpapar dampak banjir. Nilai ini setara 12% nilai perekonomian global pada tahun 2020.
Di antara negara-negara dengan nilai ekonomi besar yang rentan, China memimpin dengan risiko ekonomi terpapar sebesar US$ 3,3 triliun, diikuti oleh Amerika Serikat (AS) sebanyak US$ 1,1 triliun, dan Jepang senilai US$700 miliar).
Lebih lanjut, penelitian lain yang dikembangkan perusahaan konsultan teknik dan lingkungan GHD melalui model Aquanomics memprediksikan bahwa bencana alam (khususnya banjir) menjadi penyebab terbesar kerugian ekonomi dalam 30 tahun mendatang. Nilai kerugiannya mencapai US$5,6 triliun (2022-2050).
“Air ketika jumlahnya terlalu banyak atau terlalu sedikit – dapat menjadi kekuatan paling merusak yang dapat dialami oleh suatu komunitas,” ujar Don Holland yang memimpin salah satu program GHD, dilansir Reuters.
Dengan model yang sama, mereka coba memproyeksi dampaknya pada Produk Domestik Bruto (PDB) global. Hasilnya, Filipina, Australia dan AS diproyeksikan mengalami penurunan ekonomi rata-rata antara 0,5% hingga 0,7% setiap tahun, hingga 2050.
Sementara itu PDB negara lainnya—di antaranya Kanada, China, Uni Emirat Arab (UEA), dan Inggris—diperkirakan tergerogoti antara 0,2% dan 0,1%, setiap tahunnya akibat bencana banjir.
Jika dilihat dari sisi sektoral, banjir dinilai memukul sektor pertanian, perbankan dan asuransi, energi dan utilitas, konsumer (fast moving consumer goods/FMCG) dan ritel, produksi, serta distribusi.
Meskipun sektor-sektor tersebut cukup beragam, dengan jenis dan tingkat risiko yang berbeda, semua pemangku kepentingan diperkirakan akan memikul rugi signifikan tiap tahun akibat banjir, hingga tahun 2050.
Sektor manufaktur dan distribusi dinilai paling terpukul bencana, dengan ongkos hingga US$4,2 triliun (atau Rp 65.100 triliun). Badai dan banjir diestimasi merusak infrastruktur dan inventori industri, sementara kelangkaan air bersih mengganggu produksi.
Selain itu, sektor pertanian yang rentan terhadap kekeringan dan curah hujan ekstrim dapat mengalami kerugian sebesar US$332 miliar atau setara Rp 5.146 triliun.
Solusi Apa yang Paling Realistis di NKRI?
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menilai kenaikan suhu dunia secara dramatis (pemanasan global) memengaruhi siklus air dunia.
Hal ini, menurut UNEP (Progam Lingkungan PBB), memicu kenaikan frekuensi banjir dan kekeringan ekstrim.
Di laporan yang sama Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) merekomendasikan pemerintah seluruh dunia untuk berinvestasi dalam pengelolaan sumber air terpadu, atau IWRM (Integrated Water Resource Management).
Sistem tersebut bisa menyeimbangkan kebutuhan sosial dan ekonomi, sekaligus menjadi sistem peringatan dini. Untuk itu, perlu data real-time untuk mengetahui kondisi sumber daya air termasuk pemetaan lahan agar diketahui kondisi resapan air.
Sayangnya, investasi sistem ini menyedot biaya tidak sedikit dan perlu koordinasi kompleks dengan pemerintah daerah. Indonesia sudah mencoba menerapkan sistem IWRM di kanal Sungai Citarum.
Namun laporan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB)--yang membantu pendanaan proyek tersebut, mengakui bahwa proyek tersebut tidak efektif karena pemerintah belum sepenuhnya siap menerapkan desain teknik, pembebasan lahan, dan regulasi izin lingkungan.
Solusi yang paling bisa diterapkan masyarakat adalah dengan membentuk komunitas siaga di daerah rawan banjir.
Kesiapsiagaan itu dibangun melalui pendidikan, sosialisasi, pelatihan, penyusunan prosedur operasi standard (standard operating procedure/SOP) banjir, penyusunan peta jalur evakuasi dan titik aman, serta peringatan dini banjir.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa perilaku siap siaga ini harus ditanamkan dalam aktivitas keseharian, dan bukan sebagai agenda atau membentuk lembaga khusus.
Berdasarkan studi Arnold dan rekannya, masyarakat malah enggan berpartisipasi jika tugas siaga tersebut didelegasikan pada lembaga khusus/pemerintah.
Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan sebaiknya menyasar empati umum soal bahaya banjir dan keterampilan pribadi keseharian yang bisa memancing kesiapsiagaan. Caranya bisa melalui sarasehan, penyuluhan, penyampaian saat kegiatan posyandu, dst.
Di luar itu, ada solusi yang mudah digapai—tetapi sangat sulit dijalankan dalam skala luas, yakni: setop perilaku yang merusak keseimbangan alam seperti nyampah dan merusak hutan, kedepankan perilaku hijau seperti daur ulang, dan hemat energi.
Meski terdengar mudah, kenyataannya tak banyak yang bisa menjalankan. Padahal, kita seringkali menyaksikan dan bahkan merasakan langsung dampak ‘kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia’ yang lantas kita labeli sebagai ‘bencana alam’.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono