tirto.id - “Oleh perencana, meski belum ada keputusan resmi, untuk sementara simbol yang dianggap seperti salib itu dihilangkan dengan cara dicat,” kata Wakil Walikota Solo, Achmad Purnomo, pada Jumat (18/1) kemarin.
Beberapa waktu lalu, Solo diramaikan kabar penolakan terhadap ornamen yang dianggap menyerupai salib. Ornamen tersebut terdapat di titik nol kilometer yang terletak tepat di depan balai kota.
Kehadiran ornamen tersebut membikin sejumlah orang yang tergabung dalam Lembaga Umat Islam Surakarta menyatakan sikap. Mereka turun ke jalan dan meminta pemerintah Kota Solo segera ambil tindakan.
“Awalnya, kami tahu [ornamen] itu dari Instagram. Di situ, warganet ribut mempersoalkan ini. Kami akhirnya menyatakan sikap [penolakan],” ujar Endro Sudarsono, Humas Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), yang turut serta dalam aksi tolak salibisasi.
Purnomo menyebut bahwa ornamen itu bukan berbentuk salib. Namun, demi meredam gejolak massa, Pemkot Solo memutuskan untuk mewarnai ulang ornamen yang ada.
“[...] Bahkan Walikota [FX Hadi Rudyatmo] mengatakan kalau ini merupakan simbol salib, maka yang seharusnya marah pertama kali itu dia. ‘Simbol yang saya agung-agungkan diinjak dan dikotori setiap hari,’ itu yang dia katakan,” terang Purnomo kepada Antara.
Pilwali 2015
Solo dikenal sebagai kota yang relatif adem ayem. Jarang ada pemberitaan negatif, khususnya mengenai kebebasan beragama, yang mampir ke kota kelahiran Presiden Joko Widodo ini. Bahkan, pada 2017, Setara Institute memasukkan Solo ke dalam 10 kota dengan skor toleransi tertinggi dengan nilai 5,72 dari total 94 kota di seluruh Indonesia.
Kendati begitu, Solo tak nihil kejadian yang mengganggu harmonisasi antar-umat beragama. Ini terjadi empat tahun silam kala ada warga Solo menolak FX Hadi Rudyatmo jadi walikota karena hanya dia beragama Katolik. Jauh sebelum Ahok diserang dengan isu yang sama dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017, di Solo kondisi serupa lebih dulu muncul.
Sebelum maju ke gelanggang pemilihan walikota, Rudy dikenal sebagai wakil dari Jokowi dalam dua periode kepemimpinannya di Solo. Selepas Jokowi memutuskan hijrah ke ibukota untuk bertarung dalam ajang Pilgub 2012 bersama Ahok, Rudi naik menggantikannya.
Pada Pilkada 2015, Rudy kembali maju ke ajang kontestasi. Kali ini, ia menggandeng Achmad Purnomo, pengusaha cum apoteker yang pernah maju dalam Pilkada 2004 bersama Istar Yuliadi namun kalah tipis oleh pasangan Jokowi-Rudy.
Pasangan Rudy dan Purnomo diusung oleh partai tunggal, PDI Perjuangan. Lawan mereka adalah Anung Indro Susanto dan Muhammad Fajri yang diusung enam partai: Demokrat, PAN, Gerindra, Golkar, PPP, dan PKS. Keenam partai ini tergabung dalam Koalisi Solo Bersama. Pada momen elektoral ini, sentimen agama dimainkan sebagai senjata untuk menjegal Rudi.
Sentimen agama kerap digunakan dalam strategi marketing politik di Indonesia, sebagaimana ditulis Fajar Shodiq dan Romel Masykuri lewat “Religious Issues Marketing in Indonesia Local Election 2015-2018” (2018) yang dipublikasikan di Jurnal Penelitian Politik LIPI, ada dua jenis isu agama yang biasa dimunculkan.
Pertama, ajakan untuk memilih kandidat yang seagama atau hindari kandidat yang tidak seagama. Kedua, black campaign (hujatan, fitnah, maupun informasi yang belum jelas kebenarannya).
Alasan utama agama kerap dimainkan dalam level politik ialah karena agama menyajikan platform strategis untuk membangun citra positif. Instrumentasi agama menciptakan kesan religius, citra yang bermoral, dan dapat dipercaya. Dengan memanfaatkan jargon agama diharapkan dukungan dari kelompok tertentu akan mengalir kencang. Selain untuk mendulang dukungan, isu agama juga dapat menjadi alat untuk melemahkan posisi lawan.
Produksi isu agama tidak bisa dilepaskan dari dua konteks: sosial-politik di level lokal serta kompetitor dalam pilkada. Konteks sosial-politik berkaitan dengan konteks historis atau pengalaman konflik terkait agama di masa lalu. Persoalan atau konflik agama yang pernah berkembang sebelum penyelenggaraan pilkada dihubungkan dengan isu-isu terkini untuk mendiskreditkan lawan politik yang ada.
Sementara untuk konteks kompetitor, isu agama dipakai apabila terdapat salah satu calon kepala daerah yang mempunyai latarbelakang agama minoritas. Identitas minoritas kandidat menjadi sumber untuk memproduksi isu agama. Faktor inilah yang kemudian digoreng kelompok-kelompok konservatif di Solo untuk menyerang Rudy.
Posisi Rudy sebagai orang Katolik—yang notabene menjadi minoritas di Solo—membikin dirinya menjadi sasaran empuk black campaign. Isu agama dimunculkan dalam bentuk spanduk “Merindukan Wali Kota Muslim,” hingga “Jangan Sampai Solo Dipimpin Orang Kafir” serta selebaran yang berisi ajakan untuk tidak memilih pemimpin non-muslim—dengan kata lain, pilihlah pemimpin yang seagama. Ajakan-ajakan itu tersebar di berbagai sudut kota. Solo, yang mulanya “hangat,” tiba-tiba saja berubah “panas” bak palagan perang.
Bisakah Mengubah Solo yang Jadi Basis Nasionalis?
Pertanyaan yang muncul selanjutnya: apakah aksi penolakan ini bisa mengubah konstelasi politik di Solo secara umum?
Mohammad Iqbal Ahnaf, dosen dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa hal tersebut sulit terjadi.
“Karena pada dasarnya aksi-aksi semacam itu dapat dibaca sebatas sebagai upaya mereka untuk menjaga aktivismenya. Kelompok-kelompok ini lantas mencari isu baru yang bisa ditunggangi,” ungkap penulis esai penelitian “Between Revolution and Reform: The Future of Hizbut Tahrir Indonesia” (2009) ini kepada Tirto.
“Memang, aksi di Solo maupun di Yogyakarta beberapa waktu lalu tak bisa dilepaskan dari gelombang konservatisme yang muncul di Indonesia. Tapi, saya pikir, untuk mengubah konstelasi politik masih belum bisa karena gerakan [konservatisme] itu sendiri mulai melemah, pecah dalam beberapa friksi, dan banyak aksi yang berkurang.”
Dinamika politik di Kota Solo sendiri, pada dasarnya, punya riwayat yang panjang. Solo, menurut Vedi Hadiz dalam Islamic Populism In Indonesia and the Middle East (2016), pernah menjadi melting pot berbagai ideologi politik: komunisme, Islam, dan nasionalisme radikal.
Pengaruh tiga aliran politik itu tampak makin jelas dengan hadirnya sebutan kelompok wong abang (PKI dan BTI), wong ijo (NU dan Masyumi), serta wong ireng (PNI). Pada pemilu 1955, PNI berjaya di Jawa Tengah. Sejak saat itu, daerah di Jawa Tengah—termasuk Solo—menjadi basis kelompok nasionalis.
Konstelasi politik sempat sedikit bergeser selepas PKI kolaps dan Orde Baru berkuasa. Kelompok-kelompok Islam mulai banyak bermunculan atau setidaknya eksis di Solo. Dari Darul Islam, FKAM (Forum Komunikasi Aktivis Masjid), FPIS (Forum Pemuda Islam Surakarta), Korps Hizbullah, hingga Ngruki yang berafiliasi dengen Jemaah Islamiyah.
Namun, kelompok-kelompok ini gagal menancapkan pengaruh politiknya di Solo. Selain faktor keberadaan kelompok nasionalis yang masih sulit untuk disingkirkan, kegagalan tersebut juga dipengaruhi oleh aksi-aksi mereka sendiri. Citra mereka tercoreng karena lekat dengan terorisme serta seringkali bertindak anarkis atas nama moral agama dan tegaknya negara Islam.
Sejak pelaksanaan Pemilu 1999, partai nasionalis, dalam hal ini PDI Perjuangan, catat Luthfi Makhasin dalam “Orientasi Ideologi dan Pragmatisme Politik Model Pembentukan Koalisi dalam Pilkada Serentak di Jawa Tengah 2015” (2016) yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik selalu konsisten menjadi jawara di Jawa Tengah.
Kekuatan PDI Perjuangan relatif merata di 35 wilayah di Jawa Tengah. Perolehan suara dan kursi PDIP dari pemilu 1999 sampai 2014 memungkinkan mereka mendapatkan posisi-posisi strategis baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Pada pemilu legislatif 2014, misalnya, PDI Perjuangan mendapatkan 27 persen suara atau setara dengan 27 kursi dari total 100 kursi anggota DPRD Jawa Tengah. Jumlah ini melampaui perolehan partai-partai pesaing seperti PKB (13), Gerindra (11), Golkar (10), PKS (10), Demokrat (9), PPP (8), PAN (8), dan Nasdem (4).
Perolehan itu juga berbanding lurus dengan yang PDIP dapatkan di lembaga legislatif tingkat kabupaten atau kota. Sejak akhir 1990-an, kader PDIP mendapatkan posisi ketua DPRD tingkat provinsi dan mendapatkan mayoritas posisi ketua DPRD di level kabupaten atau kota.
Perolehan kursi di DPRD tingkat provinsi ini tidak berbeda jauh dengan persentase total perolehan kursi partai di DPRD tingkat kabupaten atau kota yang menyelenggarakan pilkada serentak pada 2015. Dari total 940 kursi DPRD di 21 kabupaten atau kota, lima besar partai politik pengumpul suara terbanyak adalah PDIP (250 kursi), Golkar (129 kursi), PKB (107 kursi), Gerindra (104 kursi), dan PKS (80 kursi).
Kondisi serupa terjadi pula di Solo. Pada pemilihan legislatif 2014, contohnya, PDIP merajai persaingan dengan jumlah total suara sebanyak 152.250 atau sekitar 51,25 persen. Perolehan suara PDIP jauh mengungguli partai-partai lain, termasuk partai Islam seperti PAN (7,65 persen) dan PKS (6,58 persen). Dengan jumlah perolehan suara tersebut PDIP memperoleh jatah kursi di DPRD sebanyak 24, atau lebih dari separuh jumlah kursi yang tersedia.
Dari ranah eksekutif pun sami mawon. Pasangan yang diusung PDI Perjuangan, sejak pemilihan walikota 2005 sampai 2015, terus melibas lawan-lawannya. Pada edisi 2005, pasangan Jokowi-Rudi mampu meraih 99.747 suara, mengalahkan Purnomo-Istar Yuliadi (79.213 suara), Hardono-Dipokusumo (78.989 suara), dan Slamet Suryanto-Hengky Nartosabdo (14.414 suara).
Lima tahun berselang, yang terjadi lebih fenomenal lagi. Jokowi-Rudi mampu meraup 90,09 persen suara. Mereka juga hanya kalah di satu tempat pemungutan suara (TPS) dari total 932 yang tersedia. Satu-satunya pesaing Jokowi-Rudi, Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi, cuma bisa mengumpulkan 9,91 persen suara.
Dominasi PDI Perjuangan terus berlanjut pada gelaran 2015. Isu sentimen agama yang meramaikan kontestasi pilkada tidak membikin perolehan suara Rudi-Purnomo mengkerut. Rudi boleh saja diserang, tapi ia tetap memenangkan pemilihan dengan perolehan 169.902 suara atau sekitar 60,39 persen.
Aksi damai tolak salibisasi yang terjadi beberapa waktu lalu di Solo tak bisa dibaca terpisah dari dinamika politik yang sedang berkembang tahun ini. Namun, agaknya, aksi tersebut masih sulit untuk mengubah konstelasi politik di Solo yang sudah lama dikuasai kelompok nasionalis. Alih-alih mencemaskan pergeseran peta politik di Solo, Iqbal berpendapat bahwa aksi-aksi semacam ini berpotensi untuk merusak pluralisme yang sudah ada.
“Kemungkinan bisa. Karena aksi penolakan semacam ini dapat menggerus modal sosial pluralisme. Orang-orang, yang tadinya diam saja, bisa jadi semakin terbiasa dan membenarkan kejadian serupa jika terjadi di masa mendatang,” tegasnya.
Editor: Maulida Sri Handayani