Menuju konten utama

Yang Dilupakan Para Capres Saat Berlomba Bangun Citra Soal Agama

Kedua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden 2019 dianggap memainkan politik identitas dengan citra yang mereka bangun soal agama.

Yang Dilupakan Para Capres Saat Berlomba Bangun Citra Soal Agama
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (23/9). Deklarasi tersebut bertujuan untuk memerangi hoaks, ujaran kebencian dan politisasi SARA, supaya tercipta suasana damai selama penyelenggaraan Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/kye/18

tirto.id - Kedua kubu pasangan capres-cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2019 dianggap masih berkutat pada masalah politik identitas. Kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno sama-sama mencitrakan diri sebagai sosok calon pemimpin yang bercitra religius.

Jokowi, misalnya pernah menjadi imam salat dalam beberapa kesempatan. Ia menjadi imam salat Zuhur dan Ashar yang dijamak atau digabung di Masjid Uswatun Hasanah, Binjai Utara, Sumatera Utara, Sabtu (29/12/2018). Di sisi lain, Prabowo, terang-terangan mendukung Aksi 212 dan dipilih sebagai tokoh ulama hasil Ijtima Ulama.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding mengatakan pentingnya pemahaman akan agama Islam bagi calon pemimpin negara, meski itu bukan hal yang utama. Ia menyebut Prabowo yang tak mengaku tak bisa menjadi imam salat, patut diragukan untuk memimpin Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

“Akan jauh lebih baik kalau pemimpinnya orang Muslim yang akhlaknya atau tindakannya juga mencerminkan kemusliman. Seorang Muslim yang baik,” kata Karding kepada Tirto, Jumat (28/12/2018).

Seraya menyebut Ma’ruf Amin sebagai sosok yang tepat, Karding menyinggung soal video Prabowo yang menghadiri perayaan Natal bersama keluarganya.

“Saya sih melihat apa yang dilakukan Pak Prabowo sebagai satu contoh berjoget bersama keluarga besar yang dalam rangka merayakan Natal sesuatu yang wajar. Tetapi akhlak dan perbuatan itu harus, sebaiknya dan sepatutnya, mencerminkan keindonesiaan dan keislaman,” ujar Karding.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade membantah anggapan bahwa pihaknya menerapkan politik identitas jelang Pilpres 2019. Ia justru menuding kubu Jokowi-Ma’ruf yang kerap bertindak membangun politik identitas.

Menurut Andre, di Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan agama, calon pemimpin harus beradu adu program dan gagasan. Keislaman, kata dia, bukan tidak penting, tetapi bukan satu-satunya faktor untuk menentukan kursi presiden di Indonesia.

“Fokusnya pada debat program harusnya. Yang kami maksud itu, bukan politik identitas, karena sekarang ini kan semua Muslim semua. Yang penting adalah mengeluarkan Indonesia dari krisis ekonomi, itu yang diperlukan sekarang,” kata Andre kepada Tirto.

Andre mengaku malas berdebat soal keislaman kedua pasangan calon karena menurutnya hal seperti itu tidak substansial. Dia berharap masalah politik identitas tidak lagi dipertontonkan di depan publik.

“Pak Prabowo kan Muslim. Masalahnya apa? Kita mari berdialog soal yang substansi. Soal ekonomi dan lapangan pekerjaan. Rakyat butuh perdebatan temanya itu. Bukan lagi soal agama melulu,” ucapnya.

Tak Substansial

Mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latief yang juga akademisi menilai perdebatan antara kedua kubu calon pasangan presiden selalu tidak substansial. Ia melihat politisi sibuk bertengkar tentang bagaimana memenangkan persaingan, tanpa menyajikan solusi dari permasalahan yang ada.

Selain menerapkan politik identitas, Yudi menilai kedua kubu hanya saling menyindir satu sama lain dan membanggakan hal yang tidak ada hubungannya dengan program.

“Harusnya kalau mau memajukan negeri kan mempertimbangkan dampak dari pernyataan, tindakan, dan memikirkan masalah jangka panjang. Meski elite bisa membaik lagi, tapi limbahnya ke masyarakat bawah sulit dibersihkan,” kata Yudi di kawasan Ancol, Jakarta.

Yudi mengatakan setiap politik memang memiliki kepentingan, tapi hendaknya jangan sampai menghancurkan bangunan Indonesia yang susah payah dibangun dengan menyatukan suku, agama, ras, dan antar golongan yang beraneka.

“Masalah yang berkembang dalam bangsa ini justru karena elite-elite politik berdebat soal hal yang tak substantif. Justru mereka menjawab dengan hal-hal permukaan yang memecah belah," terang Yudi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abul Muamar