tirto.id - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengkritisi pemberitaan media tentang kasus e-KTP. Ia mengatakan bahwa sumber berita hanya dari para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Saya enek lihat wartawan KPK," ujar Fahri, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/7/2017).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Suwarjono mempertanyakan alasan Fahri mengkritik para wartawan KPK. "Pernyataan Fahri saya kira tidak mendasar, tidak jelas maksudnya apa," ujarnya usai acara Penghargaan untuk Liputan Media Terbaik tentang Isu Keadilan Pangan, di D'Cost VIP, Jakarta Pusat, Selasa (18/7).
Menurut Suwarjono, sebaiknya Fahri memperjelas maksud pernyataannya. "Mungkin Fahri harus memperjelas maksudnya 'enek' itu apa. Apa karena wartawan KPK kritis, apa karena wartawan KPK tidak bisa diajak kompromi, atau apa?" Tambahnya.
Selain itu, Suwarjono juga mengimbau kepada para wartawan untuk tetap memegang teguh Kode Etik Jurnalistik dan tidak ciut dengan pernyataan Fahri tersebut. "Jangan sampai ada wartawan mau menyampaikan soal korupsi, lalu dia merasa tertekan karena dikatain 'enek'," kata Pemimpin Redaksi suara.com ini.
Sebelumnya, Fahri Hamzah ikut angkat bicara soal penetapan tersangka Ketua DPR, Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Ia memastikan kinerja DPR tidak akan terganggu dengan ditetapkannya Novanto sebagai tersangka.
"Kepemimpinan DPR kolektif dan kolegial sehingga kami akan mengatur agar fungsi DPR tidak ada yang terganggu," kata Fahri di Jakarta, Senin (17/7/2017), seperti dikutip dari Antara.
Untuk fungsi eksternal pimpinan DPR, menurut Fahri, akan didelegasikan ke pimpinan lain. Ini untuk menjaga agar DPR bisa bekerja dengan normal meski salah seorang pimpinannya dicekal.
Untuk diketahui, Setya Novanto yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi proyek e-KTP, Senin (17/7).
"KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta.
Setnov diduga menyalahgunakan jabatan dan menyebabkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun.
Penulis: Satya Adhi
Editor: Alexander Haryanto