Menuju konten utama

Ahli Tata Kota Ingatkan Risiko Jika Ibu Kota Baru Sepi

Sejumlah ahli tata kota mengingatkan risiko yang terjadi akibat ibu kota baru sepi dari aktivitas masyarakat. 

Ahli Tata Kota Ingatkan Risiko Jika Ibu Kota Baru Sepi
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi sejumlah pejabat terkait melihat peta kawasan salah satu lokasi calon ibu kota negara saat peninjauan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.

tirto.id - Perencana kota sekligus Chief Knowledge Worker Ruang Waktu, Wicaksono Sarosa meminta pemerintah mengantisipasi potensi ibu kota baru sepi dari aktivitas masyarakat.

Wicak mengatakan hal seperti itu sudah terjadi di sejumlah kasus pemindahan pusat pemerintahan beberapa provinsi.

“Di Kepri ada pusat pemerintah sendiri tapi terpisah dari masyarakat. Enggak ada penduduknya. Kantor saja sepi,” kata Wicak dalam diskusi Membangun Ibu Kota Masa Depan di Gedung Bappenas, Jakarta pada Kamis (16/5/2019).

Wicak khawatir kondisi yang sepi bisa berpengaruh pada masyarakat dan pegawai pemerintah di ibu kota baru. Dia mencontohkan fenomena Washington Insiders, yakni ketidaktahuan warga di Washington DC terhadap situasi di Amerika Serikat.

Menurut dia, keterpisahan ibu kota baru dengan wilayah lain juga dapat memengaruhi pola pikir pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan. Misalnya, memutuskan kebijakan untuk mengatasi masalah transportasi tetapi mereka tak lagi mengalami kemacetan seperti di Jawa.

“Ini potensi yang harus kita awasi dan hindari. Jangan sampai keterpisahan ini jadi distance,” ucap Wicak.

Dalam acara yang sama, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna pun turut menyinggung potensi ibu kota baru sepi dari aktivitas masyarakat. Dia mencontohkan Jakarta saja sepi saat malam hari.

“Pusat pemerintahan biasanya sepi. Jakarta kalau malam hari di sekitar Monas itu hilang. Gimana kalau kota utama di-back up sama kota-kota lain,” kata Yayat.

Pakar lain dalam diskusi itu, ahli tata kota dari ITB, Ibnu Syabri juga mengingatkan bahwa ibu kota sebaiknya tidak hanya menjadi pusat pemerintahan.

Ibnu menyarankan ibu kota baru dirancang menjadi pusat pertumbuhan. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan sejumlah wilayah di sekitar calon ibu kota baru.

“Yang kita inginkan pertumbuhan juga, bukan cuma [pusat] pemerintahan. Kita tidak ingin [ibu kota] seperti kota mati,” ujar Ibnu.

Menanggapi saran ini, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah tentu akan belajar dari pengalaman Brasil saat memindahkan ibu kota negara itu ke Brazilia yang memiliki kesenjangan dengan kota sekitarnya.

Dia memastikan ibu kota baru akan didesain menjadi inklusif agar tidak hanya mengakomodir para pegawai pemerintah dari Jakarta saja melainkan juga masyarakat lokal di sekitarnya.

“Ini yang kami ingin hindari. Kami akan buat kota itu seinklusif mungkin. Kota itu untuk semua. Peluang orang lokal dan masyarakat bisa ada di kegiatan penunjang,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom