tirto.id - Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej berpendapat niat seseorang untuk melakukan penodaan agama susah untuk dibuktikan dalam proses hukum.
Menurut dia, pembuktiannya memerlukan perpaduan keterangan banyak ahli agama dan pakar bahasa. Selain itu, tuduhan itu juga perlu dibuktikan berdasar pada penyelidikan latar belakang kehidupan sehari-hari pelakunya.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu menyatakan hal ini di persidangan ke-14 kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Edward merupakan saksi ahli yang diajukan kuasa hukum Ahok di persidangan tersebut.
Ia mengimbuhkan, pasal 156a KUHP, yang didakwakan ke Ahok, merupakan ketentuan yang membahas niat seseorang dalam menodai agama.
“Menentukan niat seseorang itu sulit sekali. Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang benar-benar tahu,” kata dia di persidangan yang berlangsung di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, pada Selasa (14/3/2017).
Di persidangan kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif yakni pelanggaran Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman masing-masing lima dan empat tahun penjara.
Pasal 156a KUHP berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yakni yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dan yang dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Edward juga memaparkan aspek historis kemunculan pasal 156a KUHP. Ia mencatat sebenarnya kitab hukum Belanda yang diadaptasi Indonesia tidak mencantumkan adanya pasal 156a KUHP. Adaptasi itu hanya mencakup pasal 156 KUHP saja.
Menurut Edward, Pasal 156a KUHP lahir belakangan sebagai pengembangan dari UU Nomor 1 PNPS 1965 yang pernah diterbitkan Presiden Soekarno pada 27 Januari 1965. Sementara UU Nomor 1 PNPS 1965 dibentuk setelah ada perselisihan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan umat Islam dan Angkatan Darat militer Indonesia pada tahun 1960-an.
Di dekade 1960-an, ada kasus sejumlah massa PKI menyobek dan menginjak-injak Alquran. Oleh sebab konstelasi politik tersebut, Soekarno akhirnya menetapkan UU Nomor 1 PNPS 1965.
Edward menyimpulkan pemahaman terhadap pasal 156a KUHP perlu memperhatikan konteks historis pemberlakuannya yang dipengaruhi oleh konstelasi politik di tahun 1960-an.
“Saya ambil contoh konkret Yang Mulia, bahkan dalam penegakan hukum pidana itu ada faktor non-yuridis yang di dalamnya adalah faktor politik,” kata Edward.
Dia kemudian mencontohkan pemberlakuan UU Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. UU tersebut mulanya dibentuk untuk menyasar mereka yang berseberangan dengan paham NASAKOM (Nasionalis Agama dan Komunis) yang diusung rezim Presiden Soekarno.
Namun pada tahun 1965, situasi politik berubah, dan siapa yang sepaham dengan NASAKOM akan dipenjara dengan dasar UU Nomor 11 PNPS Tahun 1963.
“Ini politik hukum pidana yang bersifat ekstrayudisial, tapi mempengaruhi penegakan hukum. Jadi pasal-pasal penyebar kebencian memang tidak terlepas dari situasi politik. Bisa dibayangkan satu UU, tapi di dalam penerapannya sangat berbeda hanya karena perbedaan tahun,” ujar Edward.
Sementara itu, saat memberikan keterangan di luar persidangan, anggota kuasa hukum Ahok, Fifi Lety, menyatakan ke depan akan lebih banyak mengajukan saksi ahli agama untuk membuktikan kliennya tak bersalah.
“Ini pada dasarnya bukan kasus pidana,” kata dia.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom