tirto.id - Pemimpin China, Xi Jinping, tengah mempersiapkan kunjungan ke Moskow, Rusia, untuk menghadiri pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Tujuan untuk menyerukan gencatan senjata perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung sejak 24 Februari 2022.
Seperti diberitakan Reuters, pertemuan Xi Jinping dan Vladimir Putin akan menjadi bagian dari pembicaraan multi-pihak terkait perdamaian di Ukraina. China juga akan menegaskan kembali seruannya agar tidak lagi memakai senjata nuklir dalam perang.
Menurut Wall Street Journal (WSJ), pertemuan Xi dan Putin masih dalam tahap awal perencanaan, jadi untuk waktu pastinya belum ditentukan. Sementara Diplomat tertinggi China, Wang Yi, telah menyambangi Moskow pada hari Selasa, 21 Februari 2023, untuk menjalankan upaya diplomatik dan mendorong penyelesaian perdamaian perang Rusia-Ukraina.
Xi Jinping Serukan Gencatan Senjata
Diberitakan AP News, Jinping akan menyerukan gencatan senjata antara Ukraina dan Rusia. China juga membuka pembicaraan damai dalam proposal berisi 12 poin untuk mengakhiri pertempuran.
Meskipun demikian, China tetap mengaku bahwa mereka memiliki hubungan “tanpa batas” dengan Rusia atau menjadi sekutu paling kuat Moskow, namun Tiongkok menolak memberikan kritik terkait invasi Rusia ke Ukraina.
Dalam konteks perang Rusia-Ukraina, China justru menuduh Barat memprovokasi konflik serta menyulut api dengan menyediakan senjata pertahanan bagi Ukraina. Namun, AS justru menduga China tengah bersiap memberikan bantuan militer kepada Rusia, meski Beijing menyebut tuduhan itu tak memiliki bukti.
China dan Rusia semakin menyelaraskan kebijakan luar negeri guna menentang tatanan internasional liberal yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Proposal Perdamaian China untuk Perang Rusia-Ukraina
Masih mengutip AP News, rencana proposal perdamaian berisi 12 poin yang akan diajukan China itu telah dirilis pada Jumat pagi ini, 24 Februari 2023, oleh Kementerian Luar Negeri China.
Salah satunya berisikan desakan untuk diakhirinya sanksi-sanksi Barat yang dijatuhkan kepada Rusia.
Proposal perdamaian China juga mencakup langkah-langkah untuk menjaga keamanan fasilitas nuklir, membangun koridor kemanusiaan bagi warga sipil, dan memastikan ekspor biji-bijian setelah terganggu hingga melambungkan harga pangan global.
Lebih dari itu, proposal tersebut juga menyerukan diakhirnya “mentalitas Perang Dingin”, campur tangan dalam urusan negara lain, serta pemeliharaan aliansi seperti NATO.
“Keamanan suatu negara tidak bisa mengorbankan keamanan negara lain, dan keamanan regional tidak dapat dijamin dengan memperkuat atau bahkan memperluas blok militer," isi proposal tersebut.
"Kepentingan keamanan yang sah dan kekhawatiran semua negara harus ditanggapi dengan serius dan ditangani dengan benar, tidak ada pemenang dalam perang konflik."
Menurut Shi Yinhong, profesor Hubungan Internasional di Universitas Renmin Beijing, proposal perdamaian China itu sangat diperlukan, namun Beijing tetap harus memperjelas posisinya.
"China merasa perlu untuk mengulangi netralitasnya pada saat ini, untuk menyelamatkan beberapa kesimpulan internasional dengan tidak hanya mengkritik NATO tetapi juga membedakan dirinya dari perilaku Rusia," kata Shi.
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Alexander Haryanto