Menuju konten utama
Kebijakan Pemprov Jakarta

Agar Taman Kota 24 Jam Jadi Ruang Publik yang Nyaman & Inklusif

Pemprov Jakarta sudah siap menambah jam operasional enam taman kota menjadi 24 jam. Bagaimana kesiapan infrastrukturnya?

Agar Taman Kota 24 Jam Jadi Ruang Publik yang Nyaman & Inklusif
Pengunjung menyaksikan penampilan grup musik membawakan lagu di Atap Gedung Parkir Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin (26/9/2022). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

tirto.id - Keputusan Pemerintah Provinsi Jakarta membuka sejumlah taman kota selama 24 jam patut diapresiasi sebagai langkah menuju pemenuhan hak warga atas ruang publik yang inklusif. Kebijakan ini didorong Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno, sebagaimana janji kampanye mereka dalam Pilkada 2024. Sejumlah warga Jakarta tampak menyambut sekaligus menantikan kebijakan Pemprov dalam merealisasikan jalannya taman kota yang buka tanpa henti.

Mahesa (30), warga Kebayoran Lama, merasa antusias dengan langkah Gubernur Pramono mewujudkan taman kota 24 jam di Jakarta. Pria yang bekerja di bidang ritel ini menilai hal itu sejalan dengan misi Jakarta yang ingin menjadi kota bertaraf global. Menurutnya, jika ingin Jakarta bisa seperti kota-kota besar di dunia seperti London, Amsterdam, hingga New York, maka infrastruktur seperti ruang terbuka hijau (RTH) mesti berfungsi melayani masyarakat.

“Masyarakat masih butuh akses ruang publik yang memadai, indikatornya banyak anak muda atau mahasiswa justru nongkrong sampai tengah malam di cafe karena keterbatasan mengakses perpustakaan yang nggak 24 jam,” kata Mahesa kepada wartawan Tirto, Jumat (11/4/2025).

Terlebih, karena keterbatasan ruang publik yang difasilitasi Pemprov, banyak pemuda yang memilih nongkrong-nongkrong di pinggir jalan. Aktivitas itu jauh lebih baik bila difasilitasi ruang publik yang memang diawasi dan disediakan secara resmi oleh pemerintah dibanding membuat pemuda berkerumun di tempat-tempat sepi.

Pengunjung Perpustakaan.

Pengunjung Perpustakaan.

Mungkin, kata Mahesa, yang saat ini ia resahkan adalah bagaimana langkah Pemprov agar menjaga taman kota yang beroperasi 24 jam tetap nyaman dan aman. Menurutnya, petugas keamanan taman dan penggunaan teknologi CCTV dapat dimaksimalkan tanpa membuat aktivitas warga menjadi terasa tertekan atau dibatasi.

“Harapannya nggak cuma taman aja sih, tetapi semua ruang publik kayak perpustakaan, ruang-ruang seni kayak di TIM itu bisa diakses 24 jam secara aman dan nyaman,” ucap Mahesa.

Sementara itu, Nurlela (26), mengaku tidak sepenuhnya setuju dengan kebijakan Pemprov Jakarta membuat beberapa taman dapat beroperasi 24 jam. Perempuan asal Pasar Minggu yang bekerja di perusahaan properti ini merasa tak akan bisa menikmati taman saat malam.

Pasalnya, Nurlela belum merasa ada jaminan bahwa taman kota yang beroperasi 24 jam itu akan aman bagi perempuan. Ia mengaku masih ada perasaan takut beraktivitas hingga larut malam di ruang publik karena kejahatan di Jakarta bisa terjadi di mana saja.

“Agak sulit membayangkan bisa jadi ruang aman kalau taman di malam hari gitu, belum lagi entar misal nggak ada petugas, atau petugas sulit dijangkau jadi kalau misal kita teriak ya nggak kedengaran,” kata Nurlela kepada wartawan Tirto, Jumat.

Di sisi lain, Nurlela mendukung apabila taman-taman kota di Jakarta dipermak lebih baik lagi agar mendukung ketersediaan ruang hijau yang semakin masif. Ia sebetulnya sangat suka berjalan-jalan ke taman dan senang melihat taman kota diisi penuh oleh warga dari berbagai kalangan. Apalagi di akhir pekan, kata dia, taman berubah menjadi melting pot berupa-rupa masyarakat: mulai dari berolahraga, klub buku, karaokean, piknik, atau mengasuh anak.

“Mungkin selain keamanan, hal yang perlu jadi concern itu adalah pemerataan. Karena bisa jadi sekarang taman mungkin masih saja terpusat di tempat tertentu dan belum merata,” ujar Nurlela.

Lapangan Banteng beroperasi 24 jam

Sejumlah warga berolahraga di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (7/2/2025). Pemprov DKI Jakarta berencana membuka Lapangan Banteng dan Taman Menteng selama 24 jam pada akhir Februari 2025 untuk memberikan akses lebih luas kepada warga Jakarta yang ingin menikmati fasilitas taman pada malam hari. ANTARA FOTO/Fauzan/YU

Hafiz (21), seorang mahasiswa asal Jakarta Barat, melihat wacana membuka taman kota 24 jam sebaiknya melibatkan warga-warga sekitar. Menurutnya, belum tentu para warga yang menetap di sekitar taman, seluruhnya setuju jika taman kota dibuka tanpa henti. Terlebih, ia menilai, beberapa taman kota ada yang dekat dengan pemukiman penduduk sehingga akan lebih ideal jika rumusan pengoperasian taman tidak dipukul rata.

Taman yang dekat dengan penduduk, kata Hafiz, tentu harus memikirkan kenyamanan dan keamanan mereka. Jangan sampai area tempat tinggal warga yang dipenuhi anak-anak dan lansia menjadi rawan hanya karena aktivitas taman kota yang terus-menerus mengundang keramaian.

“Intinya sih Pak Gubernur perlu diskusi juga ya, jangan asal maen ini buka 24 jam, ini kagak, kan ada orang juga yang tinggal sekitaran situ,” kata Hafiz kepada wartawan Tirto, Jumat.

Kebijakan taman kota 24 jam menuntut kesiapan infrastruktur, pengelolaan sosio-ekologis, serta perubahan paradigma dalam mengelola kota sebagai ruang hidup bersama. Ruang publik–sebagaimana juga eksistensi taman kota–merupakan salah satu indikator kehidupan yang apik. Taman kota bukan sekadar pelengkap lanskap kota atau latar swafoto keluarga.

Taman kota merupakan ruang berinteraksi, beristirahat, mengekspresikan diri, bahkan tempat untuk bersuara bagi warga yang semakin terhimpit ruang privat yang mahal dan eksklusif. Pembukaan taman kota selama 24 jam memang menawarkan sebuah peluang demokratisasi—terutama bagi warga yang hidup dalam keterbatasan waktu, ruang, dan penghidupan. Namun, peluang ini tentu datang bersama tantangan yang tidak ringan dan menuntut arah kebijakan yang jelas dalam implementasinya.

Di sisi lain, tantangan ekologis dalam penerapan taman kota tidak kalah mendesak. Taman bukan ruang kosong tanpa kehidupan. Ia dapat menjadi rumah bagi beberapa spesies flora dan fauna yang tersisa di belantara beton Jakarta.

Penerangan berlebih, aktivitas manusia yang intensif sampai larut malam, hingga kebisingan bisa mengganggu keseimbangan ekosistem mikro taman kota. Pemerintah perlu menyusun zonasi waktu dan ruang—agar sebagian area taman tetap dibatasi untuk menjaga siklus biologis makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.

Pasalnya, pengoperasian taman kota 24 jam diwacanakan dimulai Juni 2025. Pada tahap awal, menyasar sejumlah taman: seperti di Lapangan Banteng, Taman Ayodya, Tebet Eco Park, Taman Langsat, Taman Menteng, dan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu.

Keenam taman tersebut dipilih sebagai proyek awal karena dinilai sudah didukung fasilitas dan akses publik yang mendukung. Dengan sisa sekitar dua bulan, artinya Pemprov perlu mematangkan persiapan dan aturan dalam menjalankan kebijakan taman kota 24 jam.

Kesiapan Pemprov Jakarta

Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta, Rano Karno, menyebut bahwa Pemprov Jakarta sudah siap menambah jam operasional enam taman kota menjadi 24 jam. Sementara beberapa taman akan dioperasikan sampai jam 10 malam. Rano memastikan taman-taman kota dilengkapi kamera pengawas atau CCTV untuk memastikan keamanan pengunjung.

Tidak hanya CCTV, Rano mengeklaim lampu-lampu di sejumlah taman juga ditambah. Pada setiap taman terdapat manajer yang bertanggung jawab untuk mengelola taman. Pria yang akrab disapa dengan panggilan Bang Doel itu mengaku sudah menulis struktur pengelola taman secara lengkap: seperti manajer, sekretaris, hingga petugas kebersihan.

Ia berharap, penambahan jam operasional di sejumlah taman ini akan membuka lapangan pekerjaan bagi warga Jakarta. Selain itu, pedagang UMKM diproyeksikan bakal merasakan dampak positif. Namun ia menginginkan agar taman kota tidak sekadar jadi tempat jual-beli, tetapi juga sebagai ruang publik bagi warga Jakarta menyalurkan hobi lewat komunitas.

“Jangan lupa, taman bukan hanya untuk UMKM saja. Di sini juga ada komunitas-komunitas. Misalnya apa? Jangan persulit orang untuk fotografi. Karena ada komunitas fotografi di Jakarta yang populasinya cukup besar juga,” kata Rano saat bertemu awak media di Balai Kota Jakarta, Rabu (9/4/2025).

Teranyar, Gubernur Jakarta Pramono Anung mencoret Eco Park Tebet sebagai salah satu taman yang beroperasi 24 jam. Pram menyatakan, taman tersebut hanya akan memberikan layanan dari pukul 06.00 hingga 22.00 WIB. Keputusan ini diambil usai Pemprov berdialog dengan warga di sekitar taman.

Pram menegaskan bahwa keputusan menyangkut jam operasional taman wajib melibatkan masyarakat. Pemerintah Provinsi Jakarta berjanji akan mendengarkan aspirasi masyarakat sebelum menerapkan kebijakan taman kota 24 jam. Alhasil, lima taman lain yang semula dibuka nonstop tetap sesuai rencana dan tidak mendapatkan penolakan oleh warga.

“Semua kan sudah dikomunikasikan,” kata Pramono di Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025).

TMII

Sejumlah pengunjung menonton pertunjukan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (29/1/2025). ANTARA/Anita Permata Dewi

Pengamat Tata Kota, M Azis Muslim, memandang kebijakan membuka taman kota 24 jam di Jakarta menunjukkan perhatian Pemprov dalam meningkatkan kualitas hidup warga. Taman kota yang dibuka secara nonstop diharapkan dapat menjadi ruang interaksi publik sekaligus dapat memutar roda perekonomian warga.

Saat ini, kata dia, ruang publik atau ruang berkumpul secara gratis yang aman dan nyaman masih amat minim di Jakarta. Alhasil, warga lebih memilih mall, kafe, atau ruang komersial lainnya karena tidak alternatif tempat berkumpul yang nyaman dan tak menguras dompet.

“Adanya wacana untuk membuka taman 24 jam ini tentunya akan menjadi sebuah ruang interaksi yang saya yakin akan menarik. Ketika memang bisa diisi atau bisa dimanfaatkan untuk ruang kreativitas dan seni dari masyarakat Jakarta,” ucap Azis kepada wartawan Tirto, Jumat.

Ia menekankan, taman kota sebagai ruang publik membutuhkan partisipasi publik. Artinya tak cukup hanya Pemprov yang menjaga dan merawat taman kota, namun warga juga harus merasa memiliki. Sehingga, Azis berharap, terjalin kesepakatan bersama untuk mendorong eksistensi taman kota menjadi inklusif, aman, dan nyaman bagi semua kalangan.

Namun, tugas Pemprov dipandang jauh lebih besar. Pemangku kebijakan perlu memastikan tata kelola taman yang baik dan disertai peraturan yang mendorong terciptanya ruang publik yang partisipatif dan inklusif.

Namun, di balik semua tantangan tersebut, kebijakan taman 24 jam juga membawa peluang penting untuk menciptakan kota yang lebih hidup dan setara. Taman dapat menjadi titik temu lintas kelas sosial, tempat kolaborasi seni, ruang dialog antarwarga, hingga panggung ekspresi budaya yang sering kali tak dapat dinikmati oleh sebagian kalangan warga.

Taman bisa menjadi “ruang ketiga” atau ruang alternatif yang mengisi kekosongan antara rumah dan tempat kerja, sesuatu yang saat ini tampak dibutuhkan kota besar seperti Jakarta yang kian padat dan tersegmentasi.

“Ini ya tentu membutuhkan perencanaan yang baik dan juga kelengkapan infrastruktur yang memadai untuk bisa memanfaatkan taman-taman itu ya,” ujar Azis.

Dengan begitu, barangkali kota yang sehat dan demokratis bukan kota yang sekadar terus terang benderang 24 jam. Namun sebuah kota yang tahu kapan harus hidup, kapan harus memberi ruang bagi keheningan. Kota yang memahami bagaimana cara menciptakan ruang bersama yang aman, lestari, dan berkeadilan.

Taman kota akhirnya bukan cuma tentang waktu operasional belaka, tetapi soal bagaimana kota memahami dan merawat warganya—manusia maupun yang bukan manusia.

Baca juga artikel terkait TAMAN KOTA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang