tirto.id - Tahun 2016 akan segera berakhir. Sudahkah Anda siapkan resolusi untuk tahun depan? Jika belum, ada baiknya Anda perlu mempertimbangkan satu hal: apakah Anda mampu mewujudkan resolusi di awal tahun 2016 kemarin? Tidak? Jangan khawatir. Ada jutaan orang di dunia yang melewati tiap tahunnya dengan kegagalan demi kegagalan atas harapan yang normalnya disusun dengan aura optimistis itu.
Di Amerika Serikat misalnya, kegagalan memenuhi janji awal tahun tergambar dalam sebuah penelitian yang disusun oleh University of Scranton pada awal tahun 2015 silam untuk mengukur tingkat keberhasilan warga AS dalam mewujudkan resolusi di tahun 2014. Sesuai isi penelitian, terungkap 92 persen responden menyatakan bahwa mereka gagal.
Persentase ini cukup mengejutkan sebab membuat resolusi tahun baru adalah tren di AS. Kurang lebih 45 persen masyarakat di Negeri Paman Sam menyampaikan harapan di awal tahun. Harapan tersebut meliputi banyak hal, mulai dari perbaikan diri sendiri atau yang terkait pendidikan, harapan atas perbaikan kondisi finansial, perbaikan kondisi fisik, hingga soal hubungan dengan lawan jenis.
Resolusi terpopuler menurut penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Clinical Psychology itu tergolong klasik: turunnya berat badan. Berturut-turut di bawahnya diikuti dengan harapan agar hidup lebih teratur, lebih berhemat, menikmati hidup di tiap momennya, dan menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh. Ada juga yang berharap agar di tahun 2015 mereka bisa belajar sesuatu yang baru, jatuh cinta dengan orang baru, bisa mewujudkan mimpi orang lain, hingga yang mainstream dan barangkali juga Anda idam-idamkan: berhenti merokok.
Sayang, yang bisa mencapai resolusi-resolusi itu hanya 8 persen. Ada dari mereka yang tak mampu melanjutkan upaya meraih harapan kurang dari satu minggu. Ada yang bisa sampai dua minggu, namun setelahnya tak sanggup lagi. Ada yang bisa melewati satu bulan, tapi akhirnya menyerah juga. Terakhir, ada yang bisa sampai setengah jalan alias enam bulan, namun ada saja faktor yang membuat mereka mengibarkan bendera putih. Persentase tiap durasi menunjukkan, makin lama waktunya makin sedikit yang bisa bertahan.
Kondisi serupa terjadi di Inggris. Menurut riset YouGov 32 persen warga Inggris merencanakan resolusi untuk awal tahun 2016. Namun, akhirnya 63 persen diantaranya gagal di tengah jalan. 43 persen menyerah tak sampai satu bulan. Mereka yang bisa mencapai satu bulan namun menyerah setelahnya sebanyak 66 persen. Sedangkan untuk yang mampu bertahan hingga tiga bulan (saja) sebanyak 80 persen, dan yang bisa lebih namun tak sampai satu tahun penuh ada 86 persen. Grafiknya berkebalikan dengan warga AS, namun persentase yang gagal sama-sama lebih dari 50 persen.
Kegagalan yang lebih memalukan lagi dilakukan oleh warga Australia, merujuk pada hasil penelitian Finder.com.au yang menyatakan bahwa 80 persen warga Negeri Kanguru itu menyerah pada tiga bulan pertama. Australia bagian Selatan menjadi yang terparah sebab 79 persen warganya gagal mewujudkan resolusi tahun barunya.
Terlalu Ambisius = Mudah Menyerah
Amy Cuddy, psikolog sosial dari Harvard dan penulis buku Presence, berkata pada Tech Insider bahwa pada dasarnya kegagalan-kegagalan itu akibat dari cara pandang yang keliru tentang resolusi awal tahun.
Kebanyakan resolusi diisi dengan hal-hal negatif yang melekat dalam diri dan sangat amat dibenci oleh yang bersangkutan, sehingga mereka mencari cara untuk mengubahnya. Dalam arti lain, orang-orang berusaha untuk mengubah apa yang tak disukai dari diri mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan resolusi yang dibuat terlalu ambisius. Orang-orang merancang gol yang terlalu tinggi. Tak heran jika banyak yang menyerah di tengah jalan.
Cuddy sendiri pernah beresolusi untuk menjadi seorang pelari. Dalam pikirannya, pelari adalah seseorang yang sangat disiplin berlatih dan mampu setidaknya menyelesaikan lari maraton. Ia berlatih sejak bulan Januari dengan berlari 1-2 mil dan ia sadar jika prosesnya amat melelahkan dan cukup menyakitkan. Setiap ia lari, ia merasa makin gagal dan menjauh dari ideal seorang pelari. Sebelum bulan beranjak ke Februari, ia sudah menyerah.
Menurut Cuddy, banyak yang tak sadar bahwa akan banyak tantangan dalam mencapainya. Resolusi tahun baru terlalu berfokus pada hasil. Maka, orang-orang akan mudah merasa gagal meski hanya terhalang ganjalan kecil. Manusia, menurut Cuddy, sesungguhnya sangat jauh dengan segala hal yang terjadi di masa depan. Masa depan laiknya orang asing yang berjumpa di momen yang tak tepat. Ia adalah sesuatu yang bisa sangat tak terduga.
Cuddy berusaha menyampaikan satu hal: buatlah resolusi yang realistis. Artinya, resolusi itu benar-benar bisa dicapai dalam waktu satu tahun dan dengan kondisi fisik, sosial, serta finansial yang Anda miliki. Tak usah terus menerus membandingkan diri dengan seorang profesional lain. Alih-alih termotivasi, sosok itu justru akan membebani Anda, dan sebagaimana pengalaman Cuddy, Anda akan mudah sekali putuh asa di tengah jalan.
Anda juga boleh menyusun lebih dari satu resolusi, asalkan Anda pelan-pelan wujudkan mulai dari yang paling mudah. Capai target yang paling menantang di akhir. Tantangan itu perlu, namun jika target yang kecil sudah bisa Anda babat habis. Dengan menerapkan daftar prioritas tantangan, Anda tak akan segera capek di awal tahun. Atau lebih parah lagi, sudah menyerah meskipun baru berjalan beberapa bulan.
Percayalah bahwa satu tahun itu waktu yang panjang. Ia terdiri dari 12 bulan dan 52 minggu. Terapkan filosofi Jawa, pelan tapi pasti. Selain optimistik di awal tahun, jagalah perasaan itu sepanjang tahun. Evaluasi lah tiap bulan, dan renungkan pencapaian Anda di akhir tahun. Fase ini sama pentingnya dengan perencanaan di awal tahun, yakni agar ada progres di resolusi tahun selanjutnya sebab tak perlu mengupayakan ulang resolusi gagal di tahun sebelumnya.
Kuncinya di Perilaku Sehari-hari
Sebagaimana kata-kata mutiara banyak motivator, kesuksesan adalah buah dari tekad yang kuat. Namun tekad tidaklah cukup. Untuk mencapai sebuah tujuan, perlu adanya perubahan tingkah laku. Bagi penulis buku bidang neurosains Jonah Lehrer, masuk akal apabila kegagalan resolusi ini diakibatkan oleh perilaku yang tak diubah namun dihadapkan pada target yang besar.
Dalam menyusun resolusi awal tahun, bagi Lehrer penting untuk memahami diri sendiri, terutama otak kita sendiri. Penulis yang mengutip sejumlah riset bidang neurosains dalam tulisannya di laman Wall Street Journal itu kemudian menyimpulkan bahwa kegagalan mewujudkan resolusi disebabkan oleh otak manusia sendiri.
Area di dalam otak yang bertanggung jawab untuk urusan tekad/kemauan bernama prefrontal korteks dan letaknya tepat di belakang dahi. Prefrontal korteks adalah tempat manusia menampung segala hal yang membuat manusia khawatir. Prefrontal korteks juga bertugas menjaga kita untuk tetap fokus, menangani perkara memori jangka pendek, dan memecahkan masalah-masalah abstrak. Saat ada satu resolusi masuk, prefrontal korteks tak bisa menanganinya dengan maksimal sebab bukan satu-satunya hal yang perlu diprioritaskan.
Prefrontal korteks adalah wajah ketidaksempurnaan otak manusia. Saat ia lelah karena menampung banyak hal untuk difokuskan, maka hasil yang diharapkan tak akan maksimal, atau dalam kasus resolusi awal tahun, ia bisa gagal sepenuhnya. Sebagaimana memori jangka pendek, resolusi awal tahun yang disusun pada bulan Januari akan mudah terlupakan di bulang-bulan berikutnya. Dengan kata lain, tekad manusia sebenarnya memiliki batasan. Saat ia mencapai batasannya sendiri, si manusia akan mudah terdistraksi. Ia menjadi tak fokus pada resolusi.
Maka, Lehrer menekankan bahwa konsistensi dalam meraih tujuan itu penting. Memang akan ada ganjalan di tengah jalan, namun manusia perlu sadar bahwa saat sesuatu telah menjadi tingkah laku yang natural, maka ia akan terlaksana dengan mudah. Mengapa membiasakan sesuatu itu susah? Hal ini berkaitan dengan ketidaksempurnaan otak, sebagaimana penjelasan Lehrer, bahwa otak punya batasan untuk urusan fokus.
Tak masuk akal jika seseorang yang memiliki resolusi untuk mengurangi berat badan namun tak mau menjalani diet secara konsisten. Ia tetap bertahan pada gaya hidup dengan sedikit gerak atau bertahan pada pola makan yang tak mendukung program. Diet adalah salah satu resolusi yang paling susah sebab memerlukan waktu panjang. Jika dalam alam bawah sadar seseorang belum mengarah pada perilaku sehari-hari yang mendukung diet, Lehrer meniscayakan bahwa resolusi itu hanya akan bertahan di satu bulan pertama.
Namun bagaimana dengan kondisi kurangnya fokus akibat terbatasnya prefrontal korteks? Lehrer mengibaratkan otak seperti otot. Saat mencapai batas, ia akan lelah. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan istirahat. Sebagaimana kata Cuddy, Lehrer mengingatkan bahwa resolusi yang disusun itu untuk satu tahun. Bukan satu bulan, atau bahkan satu minggu. Jadi, pelan-pelan saja...
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani