Menuju konten utama

Agar DKI Bebas Polusi, Anies Sebaiknya Hapus Premium di Jakarta

Jika Jakarta ingin memiliki kualitas udara yang bagus dan polusinya turun, Anies dinilai sebaiknya melarang penggunaan BBM tak ramah lingkungan di DKI, seperti Premium.

Agar DKI Bebas Polusi, Anies Sebaiknya Hapus Premium di Jakarta
Pemandangan Monumen Nasional dengan latar belakang gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Senin (29/7/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.

tirto.id - Pemprov DKI Jakarta didesak sesegera mungkin melarang penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang tak ramah lingkungan, seperti jenis Premium dan Pertalite. Sebab, salah dua bensin tersebut turut berkontribusi dalam polusi buruk di ibu kota.

Salah satu lembaga yang mendesak pelarangan itu adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan masyarakat perlu beralih menggunakan bensin ramah lingkungan dan itu harus didorong lewat regulasi Pemprov DKI.

“Jelas pemprov harus melarang. Polusi di Jakarta itu kontribusi utamanya karena bahan bakar yang digunakan berkualitas rendah. Karena berkadar RON rendah dan sulfur tinggi. Contoh utamanya bahan bakar jenis Premium, bahkan Pertalite dan Pertamax yang masih sulfur tinggi, 500 mg,” kata Tulus saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (21/8/2019).

Menurut Tulus, jika Jakarta ingin memiliki kualitas udara yang bagus dan polusinya turun, jenis bensi yang digunakan dengan kadar RON yang tinggi dan sulfur rendah, bukan sebaliknya.

“Dari sisi merek, yang ramah lingkungan itu, ya Pertamax Turbo,” kata Tulus.

Penggunaan bensin ramah lingkungan, kata Tulus, sangat urgent dan dibutuhkan secepatnya mengingat transportasi di Jakarta sudah didominasi kendaraan pribadi, bahkan sepeda motor berkontribusi sebanyak 44 persen.

“Minimal first step-nya adalah menghapus atau melarang Premium, next step adalah menghapus atau melarang Pertalite. Jadi minimal kendaraan bermotor di Jakarta adalah dalam kadar RON-nya 92, alias ukuran Euro 2 seperti Pertamax. Tapi tahap paling ideal adalah Euro 4, seperti Pertamax Turbo,” kata Tulus.

Apalagi, kata Tulus, regulasi awal dari pemerintah pusat sudah menetapkan bensin Premium hanya berlaku di luar Pulau Jawa. Itu artinya penggunaannya dilarang di Pulau Jawa, termasuk Jakarta.

“Tapi sejak hari raya lebaran 2018 lalu, kebijakannya dibalikin lagi ke Pulau Jawa. Ini kesalahan fatal Jonan [Menteri ESDM], padahal sudah benar Premium hanya untuk luar Pulau Jawa,” kata Tulus.

Untuk memperlancarnya, pemerintah merevisi Perpres No. 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.

Dengan revisi ini, PT Pertamina (Persero) diwajibkan menjaga pasokan Premium di seluruh Indonesia, tidak terbatas wilayah luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) seperti regulasi sebelumnya. Namun, harga Premium tetap diatur oleh pemerintah.

Dalih pemerintah kenapa Premium diperbolehkan lagi dijual di Jawa dan Bali, dapat dibaca di link ini.

Ia menambahkan “jadi Gubernur Anies harus berani mencanangkan bahan bakar di Jakarta yang berkualitas tinggi. Selain untuk menekan polusi, juga untuk menekan kemacetan. Harus bisa dan harus berani, kecuali Jakarta akan menjadi kota terpolusi di dunia,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan setidaknya terdapat empat jenis bahan bakar yang tidak ramah lingkungan dan perlu disetop di Jakarta.

“Premium 88 dan Pertalite 90 yang meningkatkan emisi CO dan HC. Serta Solar 48 dan Solar Dextile karena memiliki kadar belerang yang tinggi sehingga menyebabkan polutan. Untuk itu harus segera menghentikan produksi dan penjualan BBM tidak ramah lingkungan di kawasan padat seperti Jakarta,” kata pria dengan sapaan akrab Puput tersebut.

Memang, kata Puput, penentuan spesifikasi bahan bakar merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun, kata dia, Pemprov DKI tetap harus melarang peredaran bensin tak ramah lingkungan di wilayah Jakarta.

“Gubernur harus melindungi warganya dari pencemaran udara dengan menghentikan BBM yang tidak ramah lingkungan, ini merupakan amanat UUD 1945 Pasal 28h, amanat UU 32/2009, amanat PP 41/1999, dan amanat Perda 2/2005,” kata Puput.

Puput mengatakan sudah menjadi mitos yang menyesatkan jika penggunaan empat jenis bensin tak ramah lingkungan diperlukan warga miskin. Ia menilai, justru penggunaan empat jenis bahan bakat tersebut lebih mahal karena jarak tempuh per liternya lebih pendek 20 persen.

"Selain menyebabkan percepatan kerusakan spare part kendaraan terutama piston, arm piston, busi, dan lain-lain, sehingga meningkatkan operating cost kendaraan. Jadi jelas penggunaan keempat jenis BBM ini justru merugikan kalangan menengah ke bawah,” kata dia.

Dalam hal ini, kata Puput, dibutuhkan pendidikan atau sosialisasi kepada publik agar masyarakat memahami adanya kerugian kalau menggunakan keempat jenis BBM tersebut justru membebani pemerintah lewat subsidi BBM.

Karena itu, Puput menilai, Gubernur DKI Anies Baswedan harus sesegera mungkin melarang penggunaan bahan bakar tak ramah lingkungan.

“Gubernur tak perlu melibatkan Kementerian ESDM atau Ditjen Migas, apalagi BPH Migas. Cukup menggunakan kewenangan gubernur dalam rangka melindungi warganya, termasuk Presiden, Menteri ESDM dan Dirjen Migas itu sendiri, dari pencemaran udara akibat penggunaan BBM tidak ramah lingkungan,” kata dia.

Desakan ini bahkan pernah diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada 30 Juli 2019.

“Solusinya kemudian mengurangi mobil atau mobil itu nanti harus yang emisinya kecil, katakanlah harus Euro 4 contohnya. Kemudian juga bahan bakar yang dipakai harus naik, bukan yang pakai timbal, bukan premium. Kemudian juga publik harus menyadari, tidak boleh mengendarai mobil sambil merokok,” kata JK seperti dikutip Antara.

Pemprov DKI Sedang Mengkaji

Pemprov DKI mengaku memang sedang mengkaji alternatif lain untuk digunakan sebagai bensin.

“Saat ini kami masih mengkaji sumber energi bersih lainnya untuk bahan bakar kendaraan bermotor,” kata Plt Kepala Dinas Perindustrian dan Energi, Ricki Marojahan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (22/8/2019) pagi.

Ia menilai sejauh ini yang menjadi alternatif dan perlu dilakukan oleh masyarakat adalah penggunaan kendaraan bermotor dengan menggunakan listrik untuk meminimalkan timbulnya pencemaran udara.

Pelarangan BBM tak ramah lingkungan seperti Premium ini sebenarnya sudah pernah diwacanakan di era Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjabat gubernur DKI pada 2016. Saat itu, Ahok mengatakan Premium sudah tidak diperlukan di Jakarta.

Ia merasa subsidi yang diberikan kepada pengguna Premium lebih baik dialihkan untuk transportasi umum. Menurut dia, penggunaan uang negara untuk mensubsidi bahan bakar minyak terbilang tidak ada gunanya.

Ahok bahkan menegaskan pemberian subsidi bahan bakar minyak cuma memboroskan uang negara. Namun, ide tersebut tidak terealisasi hingga akhirnya Ahok dikalahkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilgub DKI 2017.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz