Menuju konten utama

Agama Angkasa Sabar Nababan dan Problem Kriminalisasi

Aliran sempalan dalam agama, atau sekte baru, rentan mengalami kriminalisasi.

Agama Angkasa Sabar Nababan dan Problem Kriminalisasi
Sabar Nababan, Pendiri Agama Angkasa Nauli (AAN). FOTO/Istimewa

tirto.id - Seorang dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Mataram mendeklarasikan agama baru dan diinterogasi polisi. Sabar Nababan, nama si pengajar, mendirikan Agama Angkasa Nauli (AAN) dan mengangkat dirinya sendiri sebagai tuhan. Kamis pekan lalu (18/03/17) Sabar menulis di dinding akun Facebook-nya:

“Tuhan Jahowa menawarkan untuk yang kedua kali, "Sabar,… maukah kamu jadi Tuhan?". Saya menjawab, "Tuhan, … jadi Tuhan itu rumit dan berat,… apakah tidak ada nama yang lain selain Tuhan?" Tuhan Jahowa menjawab, "Tidak ada". Tuhan Jahowa menawarkan untuk yang ketiga kali, "Sabar, … maukah kamu menjadi Tuhan?". Lalu saya menjawab,"Ya Tuhan,… kehendakMulah yang jadi" Setelah saya selesai puasa, maka Tuhan Jahowa mengangkat saya menjadi Tuhan Juru selamat Dunia yang kedua dan Tuhan Pencipta di Jagad Raya.”

Hampir setiap hari Sabar mengunggah pesan berisi ajaran AAN yang mencakup dasar-dasar teologi hingga tata cara ritual. Sabar mendeskripsikan AAN sebagai agama dengan anatomi yang mirip ajaran Kristen. Sebagian netizen yang mampir ke akun Facebook Sabar menganggapnya gila, sebagian lagi mulai membicarakan apakah tindakan Sabar bisa digolongkan sebagai penistaan agama Kristen.

Menurut keterangan polisi, Sabar mengidap skizofrenia. Ia tidak ditahan, namun diwajibkan melapor. Sabar mengklaim memiliki pengikut di Jakarta, Medan, dan beberapa kota lain. Sebaliknya polisi mengatakan agama Sabar sebatas diikuti anak dan istrinya belaka.

Sabar menerangkan "Nauli" itu berasal dari bahasa Batak yang berarti "bagus". Daripada memilih nama "Agama Angkasa Bagus", iya memilih memakai "Agama Angkasa Nauli". Tujuannya mudah: biar orang tahu yang membuatnya adalah orang Batak.

Baca juga dua artikel menarik tentang topik ini:

Berkenalan dengan Agama-Agama Baru yang Unik

Agama-Agama yang Dipinggirkan

Kriminalisasi Keyakinan

Kasus Sabar merefleksikan semakin tingginya sensitivitas masyarakat terhadap agama. Dengan pasal penistaan agama yang masih bercokol di KUHP, yang semakin sering digunakan, orang-orang seperti Sabar terancam masuk penjara.

Pada 2012 Alexander Aan, pegawai negeri sipil dari Dharmasaraya Sumatera Barat didakwa dengan UU ITE. Setelah mengunggah muatan yang menyatakan dirinya ateis, Alexander dilaporkan oleh kawan sekantor, kemudian didakwa menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian dan permusuhan individu atau kelompok tertentu. Hukuman untuk Alexander adalah tiga bulan penjara dan denda Rp100 juta.

Tahun lalu, tiga orang pemimpin kelompok Gafatar—Mahful Muis Tumanurung, Ahmad Mushaddeq dan anaknya Andri Cahya—diseret ke pengadilan dengan dakwaan penistaan agama (baca: Memenjarakan Gafatar). Mereka dituding menyebarkan ajaran yang menyimpang dari Islam.

Kasus-kasus ini melengkapi kriminalisasi keyakinan yang sudah bertahun-tahun terjadi pada kelompok Ahmadiyyah dan Syiah. Masing-masing merupakan pengikut aliran dalam Islam yang harus terusir dari kampungnya lantaran dianggap sesat dan menyimpang (Baca: Menteri Agama Sebut Perlu Kearifan untuk Menyikapi Konflik Syiah).

Laporan Setara Institute menyebutkan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada 2016 paling banyak menimpa Gafatar (36 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (27 peristiwa), Syiah (23 peristiwa) dan individu (21 peristiwa). Setara juga mencatat umat Kristiani (20 peristiwa) dan aliran keagamaan (19 peristiwa) sebagai dua kelompok minoritas lainnya yang sering menjadi korban dalam banyak peristiwa.

Adapun lima kekerasan paling banyak yang dicatat Setara berbentuk 20 kasus pemaksaan mengenakan atribut keagamaan di luar keyakinan yang bersangkutan, 19 pemerasan, 18 perusakan rumah warga kelompok minoritas, 17 pembubaran dan penolakan kegiatan keagamaan, dan 16 pelarangan kegiatan ilmiah. Adapun kriminalisasi yang tercatat 16 kasus.

Sekte, Aliran, Sempalan

Sabar Nababan menggunakan Facebook untuk mengabarkan AAN kepada publik. Pada 18 Maret, ia menulis beberapa pokok ajaran AAN: “Nama Kitab Suci AAN adalah "KEBENARAN", “Surga AAN akan dibangun di angkasa setelah roh umatnya berjumlah minimal 3 roh”, “Logo Agama Angkasa Nauli (AAN) mengandung arti: ‘Kumpulan orang-orang yang sudah dibenarkan oleh Tuhan Jahowa.’”

Sehari sebelumnya (17/03/17), ia menulis status yang lebih elaboratif tentang visi dan misi AAN: “VISI: menjadikan AAN sebagai agama yang memiliki akses paling besar ke Angkasa Raya. MISI: 1) Menjadikan AAN sebagai agama yg paling disukai Tuhan Jahowa di antara agama serumpun di dunia, 2) Menghasilkan roh-roh yang memiliki kekudusan yang lebih baik dan dosa yang paling sedikit, 3) Menjadikan umat sebagai pelopor perdamaian, 4) dll (masih dipikirkan).”

Adapun peraturan-peraturan dalam AAN, sebagaimana ditulis Sabar adalah: 1) Mengembalikan Perpuluhan, tetapi tidak wajib, 2) Puasa 16 hari tidak makan tapi minum 3 gelas sehari (diambil sekali seumur hidup), 3) Puasa 31 hari tidak makan tapi minum 3 gelas sehari, (diambil sekali seumur hidup), 4) Babtis Percik, 5) Dalam ibadah, berdoa langsung tanpa membaca, 6) Jubah Pendeta warna hijau muda, dasinya warna putih, 7) Memakai bahasa Indonesia, 8) Dalam ibadah tidak bertepuk tangan dan tidak menari, 9) Ibadah hanya diikuti oleh piano, kecapi, gitar, dan saksophone, 10) dll.

Ia juga menambahkan frase "masih dipikirkan" untuk poin-poin yang lain. Frasa “masih dipikirkan” sontak mengundang beragam reaksi seperti yang dapat dilihat dalam kolom komentar status-status Sabar. Tudingan gila, irasional, kesurupan, atau sesat, umumnya diucapkan dengan sudut pandang tradisi agama abrahamik yang berkembang di Indonesia seperti Islam dan Kristen.

Yang dipromosikan dalam AAN sebenarnya bukan hal baru. Sabar mengadopsi sejumlah aspek ritual dan metafisik yang sifatnya superfisial dari banyak ajaran, sebagaimana agama-agama mapan melakukan hal yang kurang lebih sama terhadap agama-agama sebelumnya. Keinginan Sabar bahwa AAN akan “menjadikan umat sebagai pelopor perdamaian” tampaknya ditulis sebagai bentuk koreksi atas praktik-praktik kekerasan yang dilegitimasi agama. Suatu kecenderungan yang umum dan muncul dari berbagai sekte, sempalan, dan aliran dari zaman ke zaman, di seluruh dunia.

Nasib Suram Berkeyakinan di Indonesia

Dinamika internal umat yang dilatarbelakangi faktor-faktor sosial di luarnya, melahirkan sekte, sempalan, dan aliran yang bisa membesar. Sekte Mormon misalnya, berawal dari sekelompok kecil Kristen mesianis pada abad 19 di negara bagian Utah, Amerika Serikat, yang kemudian berkembang menjadi sekte berpengikut 15 juta orang di seluruh dunia pada 2010.

Kombinasi antara lalu-lintas manusia dan informasi, situasi ekonomi, dan aturan-aturan legal turut menentukan angka pertumbuhan kelompok-kelompok keagamaan baru. Dalam studi bertajuk “The Rise and Proliferation of New Religious Movements (NRMs) in Nigeria” (2013) yang dilakukan oleh Murtala Ibrahim di Nigeria, dua faktor ini memainkan peran penting. Sekte dan aliran seperti Aetherious Society, Hare Krishna Movement (ISKCON), agama Raelian, Inner Light, Grail Message, Baha’isme, Christian Science, Sa’i Baba, Brahma Kumaris, Eckankar, AMORC, sientologi, Guru Maharaji, Lucis Trust, Higher Consciousness Society, The Way of Truth, tumbuh subur sejak 1970an ketika ekonomi Nigeria mulai terintegrasi secara global. Sebagian dari sekte dan aliran ini lambat laun mati. Tata hukum Nigeria yang sangat sekuler juga turut berpengaruh. Di Amerika Serikat, Amandemen Pertama konstitusi yang menjamin kebebasan beragama menjadi landasan bagi kemunculan sekte dan aliran baru.

Yang menjadi persoalan adalah praktik kekerasan atau penipuan yang terjadi dalam sejumlah kelompok. Maret 1997, Heaven’s Gate, agama UFO yang berbasis di San Diego California, melakukan bunuh diri massal. Di Indonesia, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dipercaya bisa menggandakan uang, adalah contoh lain. Yang dipersoalkan dalam dua kasus tersebut adalah kekerasan dan penipuan. Ketika hal yang sama sering terjadi dalam agama-agama mapan, sorotan terhadap kelompok-kelompok ini biasanya lebih besar karena tak jarang dianggap eksklusif, tertutup, atau sekadar berbeda penampakan dari kebanyakan keyakinan pada umumnya.

Pada saat yang sama di Indonesia, di luar kasus Dimas Kanjeng yang jelas-jelas melakukan penipuan, kelompok-kelompok minoritas agama, mulai dari yang sejarahnya sudah panjang seperti Syiah dan Ahmadiyyah hingga yang baru lahir seperti Komunitas Eden mengalami kriminalisasi keyakinan tanpa harus berbuat kriminal. Barangkali jika apa yang dianggap penyimpangan itu dilakukan tanpa simbol dan ajaran baru, dan dalam lembaga-lembaga keagamaan mapan, ia akan diabaikan sebagai kewajaran semata (baca: Upaya Menghapus Pasal Penistaan Agama).

Baca juga artikel terkait ALIRAN SESAT atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS