Menuju konten utama

Adriano, 'Sang Kaisar' yang Kualitas Aslinya Kalah dari Versi Gim

Adriano Leite kerap dicap "overrated" karena performanya di dunia nyata tak sebanding dengan atribut yang dia miliki di gim simulasi sepakbola. Alkohol dan depresi jadi penyebab terbesar atas kondisi itu.

Adriano, 'Sang Kaisar' yang Kualitas Aslinya Kalah dari Versi Gim
Bintang Sao Paulo FC Adriano merayakan golnya selama pertandingan sepak bola kejuaraan Paulista melawan Guaratingueta di stadion Dario Rodrigues Leite di Guaratingueta, Brasil, Kamis, 17 Januari 2008. AP Photo/Nelson Antoine

tirto.id - Jika Anda pernah menjadi remaja di awal abad 21 dan memainkan gim simulasi sepakbola Winning Eleven atau Pro Evolution Soccer (PES) versi 4, 5, dan 6, maka mustahil Anda tidak tahu nama Adriano Leite. Bomber asal Brasil yang pernah memperkuat Inter Milan itu adalah karakter terbaik di gim ini.

Dari sistem bawaan si pembikin gim, Adriano dibekali atribut tak main-main. Kekuatan tembakannya (shoot power) mentok sampai angka 99 (maksimal). Itu masih ditambah dengan kemampuan keseimbangan (balance) sampai angka 98, akselerasi dan menyerang 90, dan top speed sampai 88.

Seperti dilansir Dream Team FC, di balik statistik ciamik Adriano, ada subjektivitas Shingo Takatsuka. Pria yang sempat menjabat sebagai produser eksekutif PES tersebut merupakan fans berat Inter Milan dan menggilai Adriano. Konon sepanjang sejarah hanya ada satu pemain yang bisa menandingi Adriano. Dia adalah Alvaro Recoba, yang juga eks penggawa Inter Milan.

Namun, bukan berarti Adriano versi asli tidak sebanding dengan versi gimnya. Lihat saja gol yang dia cetak dalam sebuah pertandingan lawan Perugia musim 2003-2004 lalu. Dari tengah lapangan sampai kotak penalti lawan, Adriano menggiring bola sendrian, berputar, meliuk-liuk, dan mengecoh empat bek lawan sebelum mencongkel bola ke gawang kiper lawan yang sudah tak berdaya.

Musim 2003-2004 memang salah satu periode yang menyita perhatian dalam rekam jejak karier Adriano. Walau sempat dibekap cedera, dia mampu mencetak 21 gol hanya dalam 31 pertandingan di semua kompetisi yang diikuti Inter. Setahun kemudian (musim 2004-2005), Adriano bahkan mampu menorehkan 28 gol serta empat assist hanya dalam 42 penampilan bersama Inter.

Sayang, dongeng tentang kehebatan pemain berjuluk L'Imperatore (sang kaisar) itu tak bertahan lama. Musim 2005-2006, performa Adriano mulai menurun. Meski tampil lebih banyak (47 kali) dibanding musim-musim sebelumnya, jumlah gol Adriano menurun jadi 19 saja.

Catatan ini terus memburuk. Setahun berselang, meski masih bisa menyumbang 11 assist, Adriano cuma bisa menyumbang enam gol dari 30 laga. Puncaknya, paruh musim 2007-2008, dia dipinjamkan Inter ke klub lamanya, Sao Paulo FC karena cuma bisa mencetak sebiji gol dalam setengah musim.

Di Sao Paulo pun, nasib Adriano tak kunjung membaik. Dia akhirnya berpindah dari satu klub ke klub lain, mulai dari Flamengo, AS Roma, Corinthians, Atletico Paranense, Le Havre, hingga klub MLS Miami United.

Kejatuhan Adriano

Penurunan drastis performa Adriano bukan tanpa penyebab. Kematian Almir Leite Ribeiro, ayah kandung si pemain, disebut-sebut sebagai dalih utama. Eks kapten Inter yang juga mantan rekan setim Adriano, Javier Zanetti mengamininya.

“Saat dia menerima telepon yang memberitahukan kematian ayahnya, kami sedang berada di ruang ganti. Saya melihat dia menangis. Dia lalu membanting telepon dan mulai berteriak sangat keras, sampai saya tak bisa menggambarkannya. Sampai hari ini saya masih bergidik,” ungkap Zanetti kepada Football Italia.

“Sejak hari itu, saya dan Massimo Moratti [Presiden Inter] memperlakukannya sebagai saudara. Dia tetap bermain sepakbola, menengadahkan tangan ke langit untuk mempersembahkan gol kepada ayahnya. Tapi sejak telepon itu, semuanya tidak sama lagi,” imbuh pemain asal Argentina itu.

Almir, ayah Adriano mengembuskan nafas terakhir pada 3 Agustus 2004. Dia meninggal karena penyakit kronis yang dideritanya.

Sembilan hari sebelum peristiwa kematian itu, Adriano yang membela Timnas Brasil di ajang Copa America mencetak sebuah gol penting ke gawang Argentina, yang turut mengunci gelar juara Brasil. Ia merayakan gol itu dengan selebrasi sambil menangis, membayangkan ayahnya sedang terbujur di rumah sakit.

Usai pertandingan, Adriano berkata,"hadiah kecil ini untuk ayah saya. Dia adalah teman terbaik dalam hidup saya, partner saya. Tanpa dia, saya bukan apa-apa."

Adriano dan ayahnya memang punya hubungan yang lebih dari sekadar orangtua dan anak. Sejak kecil, Almir selalu membimbing dan jadi pengingat Adriano agar tidak bertindak keliru dalam kariernya.

Salah Pelampiasan

Kematian ayahnya membuat Adriano kerap depresi. Namun, pandangan bahwa peristiwa itu merupakan hal murni yang mempengaruhi karier Adriano sebenarnya keliru. Kematian tersebut sesungguhnya hanya pemicu terhadap semakin parahnya kebiasaan buruk Adriano. Salah satunya adalah mabuk-mabukan setiap hari.

“Selalu ada pesta [di rumah Adriano], bahkan hingga saat ini, meski sekarang lebih tenang. Mereka seperti orang gila, seluruh tetangga sampai harus komplain karena kebisingan yang ditimbulkan teman-teman Adriano,” aku Carlos Almeida, salah seorang tetangga Adriano di Favela kepada FourFourTwo.

Rekan masa kecil Adriano yang tak ingin disebut namanya berkata kalau Adriano kerap kesepian sejak kematian ayahnya. Pelampiasan yang dipilih biasanya adalah pesta alkohol.

“Akun Instagram Adriano barangkali membuat dia terlihat dikelilingi banyak orang, tapi dia benar-benar kesepian. Dia lebih sering diam. Dia sudah kehilangan kesenangan bermain sepakbola sejak lama,” ujarnya.

Mantan agen Adriano, Gilmar Rinaldo, punya pandangan yang tak jauh berbeda. Menurut Rinaldo, masalah terbesar yang menenggelamkan Adriano bukan kematian ayahnya, namun lebih ke alkohol dan depresi. Artinya, kematian ayah si pemain sebenarnya cuma pemicu belaka. Dampak buruk bisa dihindari andai cara Adriano melampiaskan kesedihannya dilakukan dengan benar.

“Dia butuh psikolog. Saya tidak mempersoalkan kariernya sebagai pemain. Saya lebih mencemaskan dia sebagai manusia. Dia menderita depresi serius dan tak ada yang menolong dia,” ujarnya seperti dilansir Football Italia.

Lain halnya dengan Javier Zanetti, yang merasa kegagalan justru ada pada dirinya. Dia merasa Adriano sebenarnya bisa diselamatkan dari depresi yang mempengaruhi penurunan performanya. Bagi Zanetti, kegagalan Adriano kembali ke jalur yang tepat sebagai pesepakbola juga merupakan kegagalannya.

“Kami, rekan setimnya, saat itu gagal menyelamatkan Adriano dari rasa depresi dan pelampiasan yang salah. Mengembalikan Adriano ke kondisi yang layak, adalah kegagalan terbesar dalam hidup saya,” tuntasnya.

Meski kariernya berantakan, PES hingga kini masih mengenang sosok Adriano. Pada versi terbaru gim ini, yakni PES 2019, pihak Konami kembali memasukkan sosok Adriano sebagai classic player, lengkap dengan atribut sensasionalnya pada versi lampau.

Konami fan PES dalam rilis resminya mengatakan comeback ini merupakan langkah agar konsumen mereka di era lampau bisa kembali menikmati romantisme memainkan Sang Kaisar.

"Masih ingat sosok ini? Adriano tentu memiliki #ThePowerofFootball," tulis perusahaan gim yang dirintis sejak 1969 itu.

Baca juga artikel terkait LIGA ITALIA atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mufti Sholih