tirto.id - Cahaya panggung Teater Besar Taman Ismail Marzuki meredup, tak lama kemudian lampu menyorot ke podium di sisi kiri. Seorang perempuan berbaju putih telah berdiri di sana. Lalu muncul gambar orang mengantre di layar belakang panggung saat ia mulai bersuara.
Ia bercerita, antrean itu terjadi dua puluh tahun lalu di sebuah kantor pos di Palestina. Ia hendak membayar tagihan telepon dan mengirim sebuah barang ke luar negeri. Lima orang mengantre di depannya, dan beberapa orang lagi di belakang.
Namun, kantor pos itu begitu sunyi. Satu-satunya suara yang cukup lantang berasal dari percakapan seorang lelaki di baris depan antrean dengan petugas pos. Mereka berdua orang Israel dan bercakap dalam bahasa Ibrani. Sementara pengantre lain, termasuk dirinya, adalah orang Arab-Palestina dan mereka semua bicara dengan cara berbisik.
Selama mengantre perempuan itu hanya diam. Ia bisa bicara dalam bahasa Arab, Inggris, juga mengerti bahasa Ibrani. Namun, ia hanya diam sambil menunggu petugas pos Israel itu melayani pengantre satu per satu.
Ia terus membisu saat terjadi sedikit keributan di depannya. Seorang lelaki Palestina tak paham bahasa Ibrani yang dituturkan si petugas pos. Beberapa pengantre lain di belakangnya mencoba membantu, tapi bahasa Ibrani mereka tak lebih baik dari si lelaki itu.
Perempuan itu masih tutup mulut. Ia sebenarnya bisa membantu, tapi tak ingin terkena masalah. Ia khawatir identitasnya sebagai orang Arab-Palestina ketahuan.
“Saya khawatir bungkusan saya tidak akan tiba tepat waktu ke alamat yang dituju, jika [petugas pos] menyadari saya orang Palestina. Dia akan melalaikan dan melupakannya sampai berminggu-minggu,” pikir perempuan itu.
Ia yang berkisah di panggung Teater Besar Taman Ismail Marzuki itu memilih berlindung dalam kebungkaman. Keributan masih terjadi di depannya, dan perempuan itu hanya bisa diam menundukkan kepala.
Lalu gambar di layar belakang berubah, kali ini menunjukkan seorang lelaki yang meringkuk berlumur darah, sementara bayangan orang mengerumun di sekitarnya. Seorang pemuda Palestina tengah sekarat setelah dikeroyok selusin pemuda Israel. Mereka memukulinya sambil meneriakkan “Mampus Arab!” serta ejekan rasial lainnya.
Peristiwa pengeroyokan rasial, juga ketakutan yang dihadapi si perempuan saat mengantre di kantor pos, bukan peristiwa langka di Palestina dan Israel hari-hari ini. Bahkan, hampir setiap orang Palestina yang lahir sesudah terbentuknya negara Israel pada 1948, pernah mengalami peristiwa serupa setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Itulah sebabnya orang Palestina pada umumnya memilih bungkam jika di sekitarnya ada orang Israel. Bagi mereka, berbahasa Arab bukan sekadar bentuk komunikasi, tapi juga bisa jadi tindakan berbahaya.
“Begitu seorang Palestina berbahasa Arab di dekat seorang Israel, dan dengan demikian menguak identitasnya, mereka merasa waswas akan menjadi sasaran diskriminasi, atau serangan verbal dan kadang fisik,” kata perempuan itu dengan nada datar.
Palestina dari Dalam
Perempuan yang berkisah tentang Palestina itu adalah Adania Shibli. Namanya menyeruak di aras fiksi dunia melalui dua novel. Karya pertamanya berjudul Masaas yang terbit pertama kali pada 2001, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Touch pada 2009. Novel satu lagi adalah Kulluna Ba’id bethat al-Miqdar aan el-Hub yang terbit pada 2009, danditerjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi We Are All Equally Far from Love pada 2012.
Dua novel itu mengantarnya meraih dua kali penghargaan Qattan Young Writer’s Award-Palestine. Reputasinya sebagai penulis kian moncer saat majalah sastra Arab kontemporer Banipal memasukkannya dalam Beirut 39, yakni jajaran penulis muda Arab mutakhir dengan karya-karya unggul.
Di dunia Arab, Adania juga dikenal sebagai penulis naskah drama, cerpen, dan esai naratif. Tulisan-tulisannya sering muncul di pelbagai antologi serta sejumlah majalah sastra dan budaya Arab.
Posisi dan sejumlah pencapaian ini membuat dirinya dipercaya sebagai pembawa pidato kunci malam pembukaan gelaran Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019 pada Selasa (20/8/2019). Tak hanya itu, pada festival sastra tersebut ia juga beroleh ruang bicara dalam sebuah gelar wicara dan simposium.
Dalam pidato naratif bertajuk I am Not to Speak My Language, Adania berkisah dan memberi perspektif yang amat personal atas Palestina yang berbeda dari informasi selintas kilas yang biasa tampil dalam media massa konvensional.
Palestina dalam tuturan Adania adalah tanah tempat orang-orang menjalani hidupnya dengan pelbagai persoalan, juga tanah konflik tak berkesudahan. Inilah salah satunya yang membuat Palestina menjadi tanah yang menumbuhkan inspirasi bagi karya sastra. Baginya, Palestina adalah segala hal yang membentuk pemikiran dan napas dalam karya-karyanya. Dua novel Adania, meski tak eksplisit menunjukkan tempat, namun dilatari oleh konflik yang meringkus Palestina.
Adania lahir pada 1974 atau enam tahun setelah peristiwa Naksa 1967 dan pendudukan Tepi Barat serta Jalur Gaza oleh militer Israel. Ia juga mengetahui peristiwa pembantaian pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila pada 1982.
Bagi Adania, kisah dalam Touch dan We Are All Equally Far from Love adalah konsekuensi dari dua konflik itu. Ia tidak menulis kisah perlawanan epik, tapi kehidupan sehari-hari orang Palestina yang terbelenggu dan ditindas.
Touch membawa pembaca menyaksikan kehidupan melalui mata seorang gadis kecil yang polos. Tak ada nama disebut dalam novel itu, seolah ingin menunjukkan bahwa itu bisa jadi pengalaman anak-anak kebanyakan di Palestina. Pembaca mulanya diajak melihat-lihat lanskap Palestina dan kehidupan keluarga si gadis kecil. Semuanya berjalan tenang hingga kemudian kehidupan gadis kecil itu koyak gara-gara tragedi Sabra dan Shatila.
“Itu adalah bentuk pengalaman yang sering absen dari berita yang dibaca orang-orang di luar Palestina. Jadi buku ini berkaitan dengan Sabra dan Shatila sebagai pembantaian yang tidak bisa dipahami oleh seorang anak,” kata Adania sebagaimana dikutip laman Lithub.
Sementara We Are All Equally Far from Love adalah fragmen-fragmen kisah tentang kehidupan sehari-hari dalam dunia yang dibelenggu pendudukan Israel. Karakter-karakter di dalamnya bukan saja tak bisa bergerak bebas, tapi juga mengalami kelumpuhan emosional. Novel ini menggambarkan kekejaman dan penindasan politik terhadap pribadi dan mental orang-orang biasa.
“We Are All Equally Far From Love mengukuhkan dia sebagai bakat langka dan seorang penantang. Ini bukan bacaan yang mudah dan tidak selalu menyenangkan, tetapi tulisan luar biasa yang merajut melankolia, keindahan, kekerasan yang brutal dalam meditasi panjang tentang cinta dan kesepian,” puji Sarah Irving, penulis biografi pejuang perempuan Palestina Leila Khaled, di laman Electronic Intifada.
Kebungkaman
Dalam pidatonya, Adania menyebut bahwa kehidupan orang Palestina adalah kebalikan dari kisah Syahrazad dalam dongeng 1001 malam. Untuk menyelamatkan nyawanya, Syahrazad mesti terus bicara dan terus bercerita kepada raja. Sekali ia berhenti bercerita, maka raja akan membunuhnya. Tapi, orang Palestina justru harus menutup mulut jika ingin selamat.
Adania menyebut bahwa bangsanya terpaksa bungkam sejak kolonialisme Inggris menancapkan kukunya di Palestina usai Perang Dunia I. Keadaan tak berubah hingga negara Israel berdiri sejak 1948. Pembungkaman yang juga diikuti represi dan diskriminasi itu merembet juga kepada bahasa ibunya, yakni bahasa Arab.
Pada Juli 2018, pemerintah Israel memberlakukan Undang-undang Kebangsaan Israel. Tak hanya mendaku sebagai sebuah negara-bangsa, Undang-undang itu juga melucuti kedudukan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa resmi, dan digantikan oleh bahasa Ibrani sebagai bahasa wajib.
Sejak Israel berdiri pada 1948, orang-orang Palestina banyak yang mengungsi dan perlahan mulai menanggalkan bahasa Arab. Hal tersebut terus terjadi termasuk generasi seangkatan Adania. Di antara mereka, banyak yang akhirnya memilih berkarya dengan bahasa yang bukan bahasa ibunya.
“Desakan untuk mengubur bahasa sendiri di dalam kebungkaman merupakan praktik umum yang ditanggung oleh kaum imigran, eksil, dan pengungsi, khususnya di Barat. Begitu mereka tiba di suatu tempat, mereka kerap tertekan untuk menanggalkan bahasa mereka sendiri, dan menuturkan bahasa yang dipakai oleh kelompok dominan di tempat tersebut,” katanya.
Meski terlahir sebagai generasi yang dibungkam, namun ia melihat perspektif lain dari kebungkaman. Pengalaman pertama Adania dengan kebungkaman tidak berkaitan dengan opresi. Jika generasi orangtuanya dibungkam, maka Adania menemukan kebungkaman sebagai bentuk perlawanan.
“Orang tuaku adalah para pendiam yang menganggap kesunyian sebagai penghiburan. Untukku sendiri, kesunyian itu mendorong kami gemar membaca karena itu adalah aktivitas yang sunyi. Setiap ada kesempatan aku membaca dan kemudian itu menuntunku untuk menulis,” ucapnya.
Di sisi lain Adania mendapati orang-orang yang kebungkamannya adalah sebentuk perlawanan. Ada narapidana yang bungkam selama interogasi aparat Israel. Ada pula orang-orang yang diam dan tak acuh manakala dicegat aparat Isreal. Satu hal ia sadari: mereka bungkam bukan karena ditindas, tapi untuk melawan para penindas.
“Para opresor itu bisa saja membungkamku; baiklah, aku akan diam. Tapi selama kebungkamanku, aku akan membuat sesuatu untuk melawannya dengan cara lain,” tegas Adania.
Maka Adania menemukan metode resistensi kreatifnya, yakni tetap menulis dalam bahasa Arab dan mengabarkan segamblang-gamblangnya penindasan yang dilalukan Israel terhadap bangsanya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi