tirto.id - Ada banyak figur terpandang yang terdaftar sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), kendati pun partai ini tidak pernah berjaya, bahkan dalam satu-satunya pemilihan yang mereka ikuti: Pemilu 1955.
Beberapa figur terpandang tersebut antara lain adalah Sutan Sjahrir (1909-1966), Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001), dan juga Hamid Algadri (1910-1998). Mereka semua termasuk kalangan terpelajar di zaman kolonial. Setidaknya lulus sekolah menengah atas yang hanya mampu dirasakan segelintir orang berdarah Indonesia saja macam Algemeene Middelbare School (AMS) atau Hogere Burger School (HBS).
Usai lulus dari sekolah menengah, Sjahrir pernah belajar di Belanda. Demikian pula dengan Sumitro yang kuliah ekonomi di Rotterdam. Sementara Hamid lanjut studi hukum di Recht Hooge School (RHS) Jakarta. Namun dari semuanya, hanya Sumitro saja yang lulus dan meraih gelar sarjana.
Lalu ketika Indonesia baru merdeka, Sjahrir, yang mana adalah pemimpin PSI era revolusi, dijadikan Perdana Menteri. Ada pun Hamid dan Sumitro juga ikut Republik. Situasi ini sempat membuat PSI berjaya.
Selepas Pemilu 1955, Sumitro menjadi figur PSI paling terpandang karena sempat menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan RI. Namun demikian, karier Sumitro di pemerintahan tidak mulus. Malah belakangan ia terlibat PRRI/Permesta dan lantas jadi pelarian di luar negeri. Sementara Sjahrir bertahan di Indonesia dan sempat pula dipenjarakan oleh Sukarno. Lalu Hamid sempat menjabat sebagai wakil PSI di Konstituante sebelum tahun 1959.
Di antara mereka berempat, Hamid dan Sumitro yang memiliki hubungan paling dekat. Anak-anak mereka pun saling mengenal. Sebagai informasi sedikit, Sumitro memiliki empat orang anak dari istri satu-satunya, Dora Sigar: Bianti, Maryani, Prabowo, Hashim. Jumlah tersebut sama belaka dengan anak-anak Hamid bersama istrinya, Zena binti Husein Alatas: Atika, Adila, Maher dan Sadik.
Di antara semua anak-anak mereka, hubungan Maher dan Prabowo Subianto yang paling dekat. Selain menjadi kawan masa kecil, kedekatan mereka terus bertahan hingga sekarang. Ketika Prabowo memutuskan terjun ke dunia politik lewat Gerindra, misalnya, Maher pun ikut partai tersebut dan diberi kedudukan sebagai salah seorang anggota Dewan Pembina Partai.
Salah satu kedekatan lain mereka terjadi pada tahun 1998, seperti ditulis Kivlan Zen dalam Konflik dan integrasi TNI-AD (2004:87). Ketika itu, Maher bersama Prabowo dan juga Fahmi Idris ikut serta dalam menghalau perusuh di daerah Sabang. Kivlan juga menyebut, Maher bersama para pengusaha dan tokoh masyarakat turut meminta Prabowo mengambil-alih keadaan pada bulan Mei di tahun yang sama.
Kembali ke anak-anak Hamid. Beberapa tahun setelah Sukarno lengser, Atika, putri Hamid, kemudian menikah dengan salah satu mahasiswa yang ikut meruntuhkan rezim si Bung Besar. Dia adalah Nono Anwar Makarim, pimpinan harian KAMI antara 1966 hingga 1973. Dari pernikahan tersebut, Nono dengan Atika memiliki tiga anak dengan yang paling bungsu bernama Nadiem Anwar Makarim.
Benang Merah Prabowo dan Nadiem Makarim
Nono, yang lahir di Pekalongan pada tahun 1939, memiliki darah Arab-Minangkabau. Hamid pun juga berdarah Arab. Dan sebagaimana sang mertua, Nono juga lulusan HBS Carpentier Alting Stichting Jakarta. Satu-satunya HBS yang tersisa setelah Indonesia merdeka dan memiliki keterkaitan sejarah dengan tarekat Mason Bebas.
Bagaimana latar belakang terpelajarnya keluarga Nono sempat diulas dalam buku Apa & siapa sejumlah orang Indonesia (1984:446). Disebutkan bahwa ayah Nono, Anwar Makarim, merupakan seorang notaris dan menganggap pendidikan barat penting bagi anak-anaknya. Sebab itu, selepas lulus dari HBS, Nono melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia—yang punya relasi sejarah dengan RHS tempat Hamid kuliah.
Selain Nono, Anwar Makarim masih punya dua anak lagi: Chaidir dan Zacky. Ia pun juga ingin kedua anaknya ini memiliki pendidikan tinggi. “Di pertengahan 1960an, dengan Nono dan Chaidir yang sudah kuliah hukum dan Teknik, Anwar Makarim ingin Zacky menjadi dokter,” tulis Sony Karseno dalam disertasinya di Universitas Ohio, Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins (2013:447).
Namun demikian, Zacky hanya beberapa semester saja kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia lantas bilang ke sang ayah ingin masuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) di Magelang pada 1967. Siapa sangka setelah jadi tentara, Zacky jadi sering berdebat dengan saudaranya dalam melihat sisi gelap Orde Baru dan militernya.
Selama menjadi perwira Angkatan Darat, Zacky ikut dalam operasi militer di Banten, Kalimantan, Papua, dan Timor-Timur. Ia juga pernah menjadi Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA). Ketika pensiun, Zacky memiliki pangkat sebagai Mayor Jenderal TNI dan sempat menjadi Ketua Satgas Panitia Penentuan Pendapat Timor Timur (P3TT) pada akhir tahun 90-an.
Zacky lulus dari Akabri pada tahun 1971 bersama Kivlan Zen. Ketika Zacky dan Kivlan lulus, Prabowo anak Sumitro yang baru kembali ke Indonesia, juga mendaftar di Akabri. Meski begitu, karier Kivaln dan Zacky (yang juga berakhir sebagai jenderal), sempat disalip Prabowo. Selain dinas di korps baret merah, junior mereka itu punya status sebagai menantu daripada Presiden Soeharto.
Anak-anak tokoh PSI yang lain juga terjun ke dunia bisnis. Seperti, misalnya, ditunjukkan anak bungsu Sumitro, Hashim Sujono, yang kini sohor dengan Arsari Group. Lalu Maher, karib Prabowo, setali tiga uang. Ia sempat terkait dalam kongsi bisnis yang disebut Kelompok Delapan (Kodel Group) bersama Fahmi Idris, Aburizal Bakrie bin Ahmad Bakrie, Soegeng Sarjadi, Abdul Latief dan Pontjo Sutowo bin Ibnu Sutowo.
Jejak para pamannya tersebut kelak diikuti oleh Nadiem Makarim dengan mendirikan Gojek: perusahan rintisan pertama di Indonesia yang berstatus Unicorn alias telah memiliki nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 14,1 triliun.
Kini Maher berhak menepuk dada. Selain kawan masa bocahnya, Prabowo, (akhirnya) terpilih menjadi Menteri Pertahanan—meski baru saja kalah dalam Pilpres—, Nadiem si keponakan juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Begitulah kisah peruntungan anak dan cucu kader PSI Sutan Sjahrir zaman now.
Editor: Eddward S Kennedy