tirto.id - Libya sedang menjadi sorotan karena terjadi bentrok yang mematikan, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan terjadi perang besar-besaran di tengah kebuntuan politik di negara itu.
Al Jazeera melaporkan, kementerian kesehatan Libya mengatakan, bentrok itu terjadi antara faksi-faksi politik di ibukota, sehingga menewaskan sedikitnya 32 orang dan melukai 159 lainnya.
Pertempuran itu terjadi di Tripoli, ibukota Libya pada hari Sabtu dan menjadi yang terburuk dalam dua tahun terakhir. Pada awalnya, jumlah korban tewas diperkirakan sebanyak 23 orang dan ada 87 terluka.
Menurut juru bicara layanan darurat, Malek Merset, salah satu korban tewas adalah Mustafa Baraka yang meninggal akibat tembakan di dadanya. Dia adalah seorang komedian yang dikenal sering mengejek milisi dan korupsi.
Malek Merset mengatakan layanan darurat masih berusaha mengevakuasi orang-orang yang terluka dan warga sipil yang terperangkap dalam pertempuran.
Situasi Bentrok Libya Terkini
Seperti dikutip BBC, PBB sudah menyerukan gencatan senjata dan mendesak untuk segera menghentikan permusuhan.
Sebagai gambaran, Libya rentan terhadap konflik sejak terjadi pemberontakan yang didukung NATO pada tahun 2011, terlebih dalam penggulingan penguasa lama Muammar Gaddafi.
Kendati demikian, negara itu sempat mengalami stabilitas dan ketenangan selama dua tahun terakhir. Oleh sebab itu, bentrok kali ini dikhawatirkan akan membuat perang saudara meletus lagi.
Bangkok Post melaporkan, bentrok itu terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara pendukung Abdulhamid Dbeibah dan Fathi Bashagha selama berbulan-bulan, yang bersaing untuk menguasai negara Afrika Utara.
Setelah berakhirnya pertempuran besar tahun 2020, Pemerintahan Dbeibah ditempatkan di ibu kota sebagai bagian dari proses perdamaian yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejauh ini mencegah Bashagha menjabat di sana.
Awal tahun ini, mantan menteri dalam negeri Bashagha ditunjuk oleh parlemen Libya di timur untuk merebut ibu kota dengan paksa. Dia didukung oleh kepala militer timur yang kuat, Khalifa Haftar.
Pada awalnya, Bashagha mengesampingkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan di Tripoli, tetapi dia berubah pikiran dan mengisyaratkan bahwa ia dapat menggunakan kekuatan untuk rencana itu.
Editor: Iswara N Raditya