tirto.id - Saya iseng bertanya kepada Benedict Anderson yang sedang santai soal bisnis keluarga Bakrie. Jawaban Ben tidak kalah isengnya. Katanya sambil lalu: "roti".
Otak saya agak telat merespons. Setelah beberapa saat saya baru ingat bahasa inggris untuk "roti" adalah "bakery". Saya berpikir Indonesianis masyhur itu hanya sedang bercanda.
Belakangan, saya baru tahu, kalau Ben benar. Berdasar buku Achmad Bakrie: Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan (1992), Achmad Bakrie, Aburizal Bakrie, dan pendiri Bakrie Grup, memang pernah jualan roti.
Waktu berjualan roti, Achmad Bakrie masih kecil. Usianya kira-kira baru 10 tahun. Saat itu, ia masih duduk di sekolah dasar untuk elite-elite pribumi bernama Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Menggala.
“Dengan modal beberapa rupiah dibelinya roti lalu ditumpangkan pada supir,” tulis penyusun buku itu.
Roti tersebut dijual ke Telukbetung, distrik perniagaan di selatan kota Bandar Lampung. Menggala adalah kota Achmad Bakrie memulai bisnisnya dari kecil. Tak hanya Bakrie saja punya relasi dengan Menggala, tapi juga pengusaha Lampung berdarah Sulu, Agoes Moesin Dasaad.
Pada 23 November 2012, Aburizal Bakrie (Ical) pernah bikin cuitan di Twitter yang membanggakan ayahnya. Cuitan itu mengesankan ayahnya sebagai orang sukses yang hanya berpendidikan rendah di zamannya.
“Ayah saya Achmad Bakrie cuma lulusan sekolah rakyat (sekarang SD) bisa sukses bangun Grup Bakrie,” cuit Ical.
Tapi HIS bukan sekolah rendah macam Volkschool (sekolah rakyat tiga tahun). Tak semua anak bisa sekolah di HIS. Ketika Indonesia merdeka, baru 10 persen orang Indonesia yang melek huruf. Bahkan jika merujuk buku Achmad Bakrie: Sebuah Potret Kerja Keras, Kejujuran, dan Keberhasilan (1992), Achmad Bakrie tak hanya lulusan HIS, tapi juga pernah belajar di Handels-instituut Schoevers.
Sebelum membuka sendiri usahanya, berkat ijazah HIS tentu saja, Achmad sudah bekerja di Kantor Kontrolir Lampung Tengah di Sukadana. Lalu sebentar kemudian sempat bekerja di Perusahaan Swasta Belanda NV Van Gorkom di Bandar Lampung. Tentu ia bekerja bukan sebagai kuli panggul. Dua tahun di perusahaan ini, ia banyak mendapat pengalaman tentang organisasi modern. Setelah belajar ke Handelsinstituut Schoevers di Jakarta, dia bekerja lagi di apotek Zuid Sumatera Apotheek di Telukbetung.
Menjelang kedatangan Jepang, apotek itu bangkrut. Obat-obat yang tersisa dibeli oleh Achmad Bakrie. Setelah harga naik, obat itu dijual lagi. Uang hasil penjualan itu jadi modal usaha. Pada 10 Februari 1942, usahanya sudah mulai merambah jual beli kopi, lada, tepung singkong, dan hasil bumi lain. Dari sanalah cikal bakal Bakrie & Brother General Merchant And Commission Agent di Telukbetung.
Achmad Bakrie kebetulan hidup di zaman yang sedang berubah. Saat itu banyak mobil dan biskuit ditinggalkan orang-orang Belanda yang lari meninggalkan aset-asetnya karena takut dengan kedatangan Jepang di sekitar Telukbetung. Achmad dan Abuyamin, saudaranya, kebetulan tahu di mana barang-barang tersebut ditinggalkan. Setelah menimbang, mereka memilih mengambil biskuit dan mengabaikan mobil.
Setelah menolong Polisi Jepang yang mobilnya mogok, Achmad mendapat lisensi trayek angkutan meski tak punya mobil. Dengan memakai mobil milik Oei Kian Tek, trayek itu pun berguna. Bisnis minyak kelapa milik Abuyamin dari Kalianda ke Telukbetung pun lancar. Di zaman pendudukan Jepang, perusahaannya sempat berganti nama menjadi Jasumi Shokai agar tidak terkesan Eropa.
Pada zaman pendudukan Jepang pula Bakrie memutuskan hijrah ke Jakarta. Bisnisnya meluas dan bahkan sudah mulai berdagang ke luar negeri. Pada masa itu, setelah menetap di Jakarta, Bakrie mulai berkeluarga dengan Roosniah yang memberinya 4 anak: Aburizal Bakrie (Ical), Roosmania Odi Bakrie (Odi), Usmansyah Bakrie, dan Nirwan Dermawan Bakrie.
Setelah tahun 1950, bisnisnya semakin berkembang. Pada 1952, perusahaannya bernama NV Bakrie & Brother. Dua dekade kemudian, NV berubah menjadi PT. Bisnisnya juga termasuk penggilingan beras di Lampung dan getah karet hingga pabrik pipa baja dan kawat. Bakrie termasuk pengusaha yang mulai menonjol bisnisnya di zaman Orde Lama, seperti juga Gobel.
Achmad Bakrie, menurut Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Takbir Perselingkuhan dan Penguasa (2017), adalah salah satu grup manufaktur pribumi yang besar.
“Achmad mendapat keuntungan dari Program [ekonomi] Benteng yang diberikan kepada pengusaha pribumi setelah kemerdekaan dideklarasikan pada 1945, dan mengambil bisnis baja yang dinasionalisasi dari Belanda,” tulis Joe Studwell.
Penerus usaha Achmad Bakrie adalah anak tertuanya: Ical. Jika Achmad Bakrie hanya lulusan HIS dan kursus dagang, maka putra tertuanya lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1973. Aburizal pun ikut serta dalam usaha yang didirikan ayahnya. Mulai Asisten Dewan Direksi, lalu menjadi salah satu Direktur di PT Bakrie & Brother. Makin lama kariernya terus menanjak. Pada 1990-an, dia menjadi Komisaris Utama grup Bakrie. Achmad Bakrie wafat pada 15 Desember 1997, tepat hari ini 23 tahun lalu.
Menurut situs perusahaan www.bakrie-brothers.com, dalam kurun waktu 1986-1989, PT Bakrie Sumatera Plantations (BSP) terakuisisi. Pada 1990-an, BSP masuk bursa saham. Pada dekade yang sama bisnis Bakrie mulai merambah telekomunikasi. Mereka pernah mendirikan dan memiliki Bakrie Telecom (1993-2012). PT Bakrieland Development (BLD) yang bergerak di bidang properti juga berdiri. Di bidang pertambangan, selain mendirikan PT Energi Mega Persada (EMP), PT Bumi Resources juga diakuisisi sahamnya oleh PT Bakrie Capital.
==========
Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 24 September 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Irfan Teguh