tirto.id - Pada akhir tahun 1933, sekitar satu tahun lebih setelah kembali dari pengasingan di Boven Digul, Abdoe’lxarim MS (selanjutnya ditulis Xarim M. S.), melayangkan protes dan tuntutan ganti rugi sebesar 1.600 gulden kepada Jaksa Agung kolonial Belanda di Batavia.
Dirinya protes lantaran film garapannya tentang kehidupan para interniran di Kamp Boven Digul, dinyatakan sebagai film terlarang.
Lebih lanjut, Xarim M. S. merasa terdapat kejanggalan dalam putusan tersebut. Menurutnya para pejabat yang memiliki kewenangan di Boven Digul mengetahui proses pembuatan film tersebut dan tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukan rasa keberatan atas apa yang dikerjakannya saat itu.
Meski sempat mengambang selama berbulan-bulan, protes tersebut akhirnya ditanggapi pada bulan Mei 1934. Merujuk surat kabar Deli Courant edisi 11 Mei 1934, setelah dilakukan penyelidikan ulang, pihak Jaksa Agung bersedia untuk mengembalikan rekaman film tersebut. Namun, menolak untuk membayar biaya ganti ruginya.
Seturut Anthony Reid dalam Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (1979), Xarim M. S. adalah tokoh PKI terkemuka di Aceh yang dikenal dengan kemampuan berorasi yang berapi-api. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ia turut dikirim ke Boven Digul pasca meletusnya pemberontakan PKI pada tahun 1926-1927.
Meski tergolong sebagai tahanan yang kooperatif, pemerintah kolonial Belanda tetap menaruh kekhawatiran atas pengaruhnya. Alhasil, Xarim M. S. tidak diizinkan untuk kembali ke Aceh, setelah dinyatakan bebas dari masa tahanannya di Boven Digul pada tahun 1932.
Dalam Masa Pergerakan
Lahir dengan nama lengkap Abdul Karim bin Moehammad Soetan pada 18 Juni 1901 di Idi, Aceh. Ia berasal dari kelompok Uleebalang. Ia memiliki beragam variasi dalam penulisan namanya, seperti Abdoe’lxarim MS/Abdoel Karim M.S./Abdoel Xarim M.S.
Sedangkan M.S. di belakang nama Xarim merupakan Akronim dari “M(au) S(enang),” tulis H. Mohammad Said dalam memoarnyaWhat Was The “Social Revolution Of 1946” In East Sumatra?
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool, ia bekerja sebagai juru gambar di Kantor Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken) di Lhokseumawe dan aktif bersama serikat buruhnya yang bernama Vereeniging Inlandsche Personeel.
Sejak saat itu, ia mulai bersentuhan dengan pergerakan politik dengan bergabung bersama National Indische Partij (NIP) cabang Sumatera. Namun, akibat dari aktivitas politiknya yang dianggap sebagai ancaman, ia kemudian dipindahkan ke Padang dan Kupang, masing-masing terjadi pada tahun 1920 dan 1921.
Seiring dengan banyaknya batasan, Xarim M. S. memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya dan memilih fokus bersama organisasi yang diikutinya hingga terpilih sebagai komisaris NIP di Sumatera yang akhirnya bubar pada tahun 1923. Dirinya juga turut aktif dalam penerbitan surat kabar Hindia Sepakat di Sibolga dan Oetoesan Rakjat di Langsa.
Pada tahun 1924, ia bergabung dengan PKI dan ditunjuk sebagai “ketua PKI cabang Langsa merangkap komisaris CC-PKI untuk wilayah Sumatra,” tulis William Bradley Horton dalam History Unhinged: World War II and the Reshaping of Indonesian History (2016).
Xarim M. S. juga melakukan perjalanan keliling Aceh bersama Abdul Wahid dan Noerdin untuk mempropagandakan PKI, dilansir dari De Telegraaf edisi 3 September 1924.
Lebih lanjut, aktivitas politiknya mulai dibatasi pemerintah kolonial Belanda. Xarim M. S. kemudian mencoba menyelinap masuk ke Penang, hingga berakhir dengan penahan di balik jeruji besi selama 10 hari.
Meskipun demikian, hal tersebut tidak mampu meredam pergerakannya. Ia tetap aktif, bahkan mulai akrab dengan penjara sejak Agustus 1925 hingga November 1926. Pada akhirnya ia turut dalam gelombang pembuangan ke Boven Digul bersama dengan anaknya, Nip Xarim.
Setelah kembali dari Boven Digul, Xarim M. S. tinggal di Medan dan bekerja sebagai wartawan "non-politik." Ia juga mendirikan sebuah percetakan bernama Aneka serta merintis penerbitan surat kabar Penjedar.
Di samping itu, hingga tahun 1942, ia dikenal aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya yang cukup dikenal adalah Pandu Anak Buangan terbit pada tahun 1933. Karya tersebutemudian disunting oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Cerita Dari Digul yang terbit pada tahun 2001 dan Hadji Dajjal yang terbit pada tahun 1941.
Sebagai seorang komunis, Xarim M. S. tidak dapat menahan dirinya untuk terlibat dalam gerakan anti-fasis Jepang pada tahun 1935. Namun, pemerintah kolonial Belanda malah salah mengartikannya gerakan tersebut sebagai gerakan kerjasama dengan Jepang untuk melawan Belanda.
Akibatnya, ia dipenjara di Cimahi pada tanggal 8 Desember 1941. Uniknya lagi, Jepang kemudian membebaskannya dari tahanan pada tanggal 10 Maret 1942.
Memasuki awal tahun 1943, berbekal kedekatannya dengan seorang pengusaha Jepang sekaligus Sinco (Walikota) Medan yang bernama Hiyasaki, ia diangkat sebagai pejabat hubungan masyarakat yang kemudian beralih tugas sebagai seorang propagandis.
Alhasil, dirinya kembali masuk jeruji besi selama 13 hari pada Mei 1943, setelah latar belakangnya sebagai orang komunis diketahui oleh Kempetai.
Kali ini, setelah dibebaskan, Xarim M. S. memilih untuk mulai menutupi segala atribut komunisnya. Bahkan, ia tak segan dalam pidatonya untuk menyatakan bahwa kedatangan Jepang sebagai pemimpin Asia untuk menghancurkan imperialisme Belanda di Indonesia.
Selanjutnya, pada November 1943, ia dipercaya untuk membentuk dan menjalankan sebuah organisasi politik yang bernama BOMPA (Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia).
Meskipun pada akhirnya, organisasi tersebut dimanfaatkan untuk “kepentingannya membangun hubungan dengan tokoh-tokoh dan pemimpin daerah di Sumatra,” pungkas H. Mohammad Said (1973).
Dalam Deru Revolusi Sosial di Sumatera Timur
Memasuki tahun 1945, setelah gagal menyakinkan kaum bangsawan untuk turut memproklamasikan dan menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia di Sumatera Timur, Gubernur Teuku M. Hasan kemudian melibatkan Xarim M. S.
Keputusan Moh. Hassan saat itu, dinilai tepat. Terutama setelah “Xarim M. S. memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengundang para pemimpin pemuda agar berkumpul dalam suatu rapat dengan tema mewujudkan proklamasi Republik Indonesia di Sumatera Timur,” tulis Hanif Harahap dalam Laskar Revolusioner Sumatera Timur: Dari Revolusi Sosial di Simalungun Sampai Kudeta Gubernur Sumatera (2019).
Pada tanggal 21 September 1945, para pemuda memenuhi undangan tersebut dan sepakat untuk membentuk suatu organisasi yang bersifat revolusioner dengan nama Barisan Pemuda Indonesia (BPI).
Selanjutnya, organisasi tersebut berhasil merealisasikan proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur pada 30 September 1945 di gedung Taman Siswa Medan. Setelah proklamasi selesai, dengan semangat yang berapi-api, Xarim M. S. menyempatkan diri untuk berpidato di hadapan pemuda agar tidak gentar jika Belanda dan Sekutu kembali masuk ke Sumatera Timur.
Namun, para bangsawan di Sumatera Timur tetap bersikap dingin dalam menanggapi proklamasi Republik Indonesia. Sikap tersebut, tidak dapat ditoleransi oleh para pemuda dan ingin segera bergerak untuk menghabisi para bangsawan. Semangat mereka terpompa setelah mengetahui keberhasilan revolusi di Aceh.
Puncaknya, pada tanggal 3 Maret 1946, revolusi sosial yang menghabisi para bangsawan meletus di seluruh wilayah Sumatera Timur.
Meski tidak terlibat secara langsung, Xarim M.S. diduga memainkan peran dengan cara mengalih perhatian Gubernur Sumatera, Moh. Hassan untuk melakukan kunjungan ke seluruh wilayah Sumatera, bersama dirinya.
Setelah revolusi sosial, Xarim M. S. juga memimpin kudeta dengan menginstruksikan para simpatisan komunis di Sumatera untuk menangkap Gubernur Moh. Hassan pada tanggal 30 Maret 1946
Aksi ini sejatinya merupakan bentuk kekecewaannya terhadap pemerintah Republik di Jawa. Pasalnya, menurut Xarim M. S. penangkapan Tan Malaka dianggap mengganggu stabilitas dalam negeri.
Lebih lanjut, dirinya juga dikenal sebagai sosok yang menghidupkan kembali PKI di Sumatera. Terutama pasca dikeluarkannya Maklumat No. X pada 3 November 1945, yang menyerukan pembentukan partai-partai politik.
Memasuki tahun 1951, di tengah tensi yang tinggi dalam rivalitas PKI dengan Masyumi, Kabinet Sukiman mengeluarkan kebijakan Razia Agustus. Beleid tersebut terbit untuk meredam perkembangan PKI dengan menangkap dan memenjarakan anggota-anggota dan para simpatisannya.
Di Sumatera, Xarim M. S. turut ditangkap bersama "Jusuf Adjitorop selaku komisioner pengurus pusat PKI Medan," tulis dalam surat kabar Het Nieuwsblad voor Sumatra edisi 13 Agustus 1951.
Masih dari surat kabar yang sama, dalam edisi 18 Agustus 1951, setelah dilakukan penyelidikan, beberapa hari berikutnya, ia dibebaskan karena tidak ada alasan yang kuat untuk menahannya lebih lama di penjara.
Selanjutnya, di edisi 4 Desember 1951, diberitakan bahwa Xarim M. S. didepak PKI per 1 Desember 1953, karena sikapnya yang dianggap telah melanggar konstitusi partai.
Ia tutup usia di Medan pada tahun 1960. Ia adalah ayah dari Nip Xarim, yang berada di balik pemancaran Radio Rimba pada masa revolusi kemerdekaan di Aceh.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Dwi Ayuningtyas