tirto.id - Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fathur Rokhman melaporkan Pemimpin Redaksi Serat.id, Zakki Amali ke Polda Jawa Tengah. Fathur menjerat Zakki dengan pasal 27 ayat (3) di UU ITE.
"Menjaga marwah Unnes sebagai aset negara sekaligus edukasi agar kita semua menjadi bijak dengan bertabayun terhadap hoaks, hate speech, dan pencemaran nama baik," kata Fathur menjelaskan alasan pelaporannya kepada reporter Tirto, Jumat 24 Agustus 2018.
Laporan kepolisian itu adalah buntut panjang dari empat seri liputan mendalam Serat.id pada 30 Juni 2018. Karya jurnalistik itu memeriksa kasus dugaan plagiat karya ilmiah yang dilakukan oleh Fathur Rokhman.
“Semoga aktor intelektualnya dapat dihukum,” harapnya. Dia menganggap pelaporan pidana itu untuk melindungi citra dirinya dan Unnes.
Aduan kepolisian itu atas nama Humas Unnes, Hendi Pratama yang mengaku sebagai kuasa hukum Fathur. Hendi melapor pada 21 Juli 2018 dengan jeratan delik aduan.
Beberapa hari sebelum pelaporan itu, Tirto menghubungi Ketua Majelis Profesor Unnes, Mungin Eddy Wibowo pada 9 Juli 2018. Dia menjelaskan rencana mempidanakan Zakki.
“Kami akan telusuri siapa nulis dan penyebarnya. Penyebarnya harus kami lacak. Kan di media sosial ada yang tidak ada namanya, tapi ada yang dari Serat.id itu,” ungkap Mungin.
Serupa dengan Fathur, Hendi menuding bahwa Zakki telah membuat berita palsu atau hoaks. Berita itu kemudian disebarkan melalui akun sosial media Serat.id.
“Secara pribadi, Rektor Unnes namanya telah tercemar sebagai seorang pribadi, kepala rumah tangga dan akademisi,” kata Hendi melalui keterangan persnya.
Hendi menganggap Serat.id hanyalah blog yang tak patuh pada kode etik jurnalistik. Sebab media tersebut belum terverifikasi Dewan Pers. Itulah sebabnya Unnes tidak menempuh mekanisme pemberian "Hak Jawab", seperti yang dilakukannya kepada media lain.
Unnes tak Patuhi UU Pers
Delik pers bukan kejahatan yang memiliki konsekuensi pidana penjara. Instrumen hukum negara mengatur bahwa UU 40/1999 tentang Pers mengenyampingkan KUHP maupun KUH Perdata. Sifatnya sebagai lex specialis.
Maka dari itu Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Aris Mulyawan kecewa dengan sikap Unnes. “Jelas kami meminta untuk mengedepankan untuk menggunakan UU Pers untuk menyelesaikan masalah ini. Harusnya dibawa ke Dewan Pers,” kata Aris kepada Tirto, Jumat 24 Agustus 2018.
Aris menjelaskan bahwa Serat.id memiliki mencantumkan alamat redaksi, struktur, email, hingga pedoman media siber. Hal itu sesuai dengan Pasal 12 UU Pers Dia juga menilai liputan Serat.id terkait dugaan plagiat Fathur Rokhman dilakukan dengan proses penggalian data yang dalam.
“Serat itu bukan hoaks melainkan media rintisan,” tuturnya.
Ketua AJI Semarang, Edi Faisol menuturkan bahwa Serat.id adalah media milik AJI Semarang. Media itu dibentuk saat terjadi PHK besar-besaran, hubungan industrial yang tak sehat di Semarang, dan jurnalis dipaksa mencari iklan.
“Seharusnya laporan kepolisian itu tidak dilanjutkan. Ini kan sudah ada kesepakatan antara Dewan Pers, Kepolisian, Kejaksaan,” kata Edi kepada reporter Tirto, Jumat 24 Agustus 2018.
Dia mengakui bahwa Serat.id belum lolos verifikasi faktual Dewan Pers. Namun media tersebut telah memenuhi standar penggarapan karya jurnalistik. Empat liputan mendalam itu telah melalui proses penggarapan 1,5 bulan. Verifikasi pun telah dilakukan ke berbagai pihak, termasuk Unnes dan para pakar atau ahli pemeriksa karya plagiat.
“Informasi dugaan plagiat itu muncul sejak lama tapi tak satupun media arus utama melaporkannya. Kemudian Serat.id yang pertama kali mendalami kasus itu,” terangnya.
Meredam Kontrol Sosial
LBH Pers telah mempelajari delik pers yang dihadapi Serat.id. Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin menemukan tiga hal yang menjadi masalah: Serat.id yang dianggap belum memenuhi standar kualifikasi sebagai perusahaan pers, ada materi yang dianggap hoaks, dan berita yang disebarkan ke media sosial.
Nawawi mengakui bahwa Serat.id, telah memenuhi standar penggarapan karya jurnalistik yang tak mengabaikan kaidah kode etik pers. Maka dari itu seharusnya berada dalam perlindungan Dewan Pers.
“Saya tidak sependapat kalau itu dianggap hoaks. Karena itu ada faktanya. Secara serial juga ada pemberitaan yang tidak putus,” kata Nawawi kepada reporter Tirto, Jumat 24 Agustus 2018.
“Itu sudah memenuhi unsur tidak ada niat jahat untuk mempersoalkan Fathur Rokhman, beritanya clear,” imbuhnya.
Mengacu pada UU Pers, mekanisme yang dapat ditempuh jika terdapat pemberitaan yang dianggap merugikan, yakni melalui hak jawab dan hak koreksi. Hak jawab menjadi ruang untuk menyampaikan tanggapan atau sanggahan. Sedangkan hak koreksi diberikan untuk membetulkan kekeliruan informasi yang dilakukan oleh pers. Hal itu sesuai Pasal 5 ayat (2) dan ayat (2) UU Pers.
“Jangan sedikit-sedikit lapor polisi kemudian arahnya melanjutkan pidana itu kita menyayangkan dalam kebebasan berekspresi,” lanjut Nawawi. “Saya pikir Dewan Pers bisa memfasilitasi perdamaian.”
Nawawi mendesak agar Polda Jateng berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk menuntaskan sengketa pers tersebut. Menurutnya kedua instansi tersebut harus aktif menginisiasi perdamaian.
“Jadi jangan langsung disidik terus langsung disidang,” tuturnya.
Dia juga menegaskan ulang mengapa UU Pers diterbitkan di era reformasi. Menurutnya karena kebebasan pers bersifat mendesak untuk menjalankan fungsi kontrol sosial berangus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kesadaran kebutuhan akan kebebasan pers yang muncul dalam sistem demokrasi itu, menghindarkan kekuasaan pemerintahan otoriter yang menjadikan media sebagai alat propaganda.
“Ini kan sebetulnya pers menjalankan mandat dari UU untuk melakukan kontrol publik terhadap jalannya aparat-aparat publik. Rektor termasuk karena dapat dana dari APBN,” jelasnya.
Tingkah Fathur melaporkan dengan pasal pidana atas keberatannya pada pemberitaan media, menurut Nawawi menyumbat kebebasan berekspresi. “Orang jadi takut melakukan kontrol sosial, ini yang kita khawatirkan,” ungkapnya.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana