tirto.id - Rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2023 terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak mulai dari petani tembakau hingga serikat pekerja rokok. Mereka menolak karena aturan tersebut berdampak kepada puluhan ribu pekerja yang terlibat di sektor industri hasil tembakau (IHT) dirumahkan hingga kehilangan pekerjaan.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI Sudarto merinci sejak 10 tahun terakhir dampak buruk kenaikan cukai tembakau sudah terlihat, menimbulkan pengurangan pekerja. Dia pun berharap pemerintah tidak menaikkan tarif CHT pada 2023.
"Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, anggota kami berkurang sebanyak 60.899 orang, dan mayoritas adalah pekerja SKT yang didominasi perempuan dengan pendidikan yang terbatas," katanya di Jakarta, Jumat (26/8/2022).
Dia mengaku khawatir atas kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang sangat tinggi. Hal ini akan membahayakan IHT, khususnya Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya.
Terlebih sektor ini merupakan sawah ladang mayoritas tempat bekerja para anggotanya mencari nafkah. Dari situ mereka bisa memenuhi kebutuhan kehidupan keluarganya sehari-hari. Lebih lanjut, FSP RTMM SPSI sendiri telah mengirim surat ke Presiden Joko Widodo sebagai upaya untuk mengingatkan risiko dan dampak yang mungkin terjadi, jika kenaikan cukai hasil tembakau terlalu tinggi.
“Kami memohon kepada pemerintah untuk melindungi IHT sektor padat karya dengan tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau dan harga jual rokok pada 2023, terutama sigaret kretek tangan (SKT),” ujarnya.
Sudarto mengingat kepada pemerintah agar berhati-hati dalam menetapkan kebijakan cukai mengingat dampaknya pada industri. khususnya terhadap terjaganya kesejahteraan pekerja, sampai kepada kepastian kelangsungan pekerjaan bagi pekerja.
"Industri harus tumbuh dan berkembang karena harus menghidupi pekerjanya untuk mendapat penghasilan kehidupan yang layak setiap tahun. Industri digencet terus sementara penerimaan negara diminta tinggi itu tidak rasional, buruh ditekan dan petani juga rugi," bebernya.
Dia juga menambahkan saat ini tekanan tidak hanya berasal dari kebijakan cukai tetapi juga regulasi lainnya. Salah satunya desakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Desakan dari organisasi antitembakau yang terindikasi dikendalikan dan disokong oleh berbagai lembaga asing, yang memposisikan seolah produk hasil tembakau menjadi produk ilegal yang patut diduga ingin mematikan IHT di Indonesia,” ucapnya.
Desakan Revisi PP 109 Tahun 2012 dan kenaikan cukai tahun 2023 merupakan dua kebijakan yang paling dikhawatirkan. Dia menuturkan hal itu dapat menghancurkan IHT.
“Tidak adil jika IHT satu sisi diperas untuk menopang penerimaan negara, di sisi lain ditekan dengan berbagai regulasi atau kebijakan yang mematikan,” katanya.
Kemudian dia juga berharap pemerintah dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan IHT. Mulai dari pekerja, pengusaha, dan petani dalam proses penyusunan kebijakan.
“Besar harapan kami pemerintah benar-benar memperhatikan aspirasi kami ini. Apabila dipandang perlu, kami siap membawa para anggota kami untuk didengar langsung aspirasinya oleh Pemerintah,” pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin