Menuju konten utama

11 Perusahaan Perusak Lingkungan Rugikan Negara Rp18 Triliun

Sebelas perusahaan terbukti melakukan karhutla dan pembalakan liar. Mereka harus membayar kompensasi dengan total Rp18 triliun.

11 Perusahaan Perusak Lingkungan Rugikan Negara Rp18 Triliun
Warga berusaha memadamkan api dengan alat seadanya ketika terjadi kebakaran lahan di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/8/2017). ANTARA FOTO/Rony Muharrman

tirto.id - Beberapa gugatan perdata yang dilayangkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) terhadap sejumlah perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta pembalakan liar telah dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Kasusnya sendiri terjadi antara 2012 sampai 2018, dengan melibatkan 11 perusahaan.

Sembilan kasus sudah incracht (berkekuatan tetap) di tingkat pengadilan negeri. Sementara dua di antaranya masih menunggu putusan banding di pengadilan tinggi.

Salah satu perusahaan yang dimaksud adalah PT Kallista Alam di Nagan Raya yang bergerak di sektor industri minyak sawit. Perusahaan ini dituntut atas kebakaran lahan hutan gambut Rawa Tripa, Aceh, seluas seribu hektare yang terjadi pada 2012 dengan kompensasi sebesar Rp366 miliar.

Kemudian PT Surya Panen Subur. Korporasi ini, yang juga bergerak di sektor sawit, terbukti membakar lahan seluas 1.183 hektare. Pemerintah menuntut kompensasi sebesar Rp439 miliar pada 2012.

PT Jatim Jaya Perkasa milik Gama Grup juga terbukti merusak lingkungan dan bertanggung jawab atas kebakaran lahan seluas seribu hektare pada 2013. Kementerian LHK menang gugatan atas permohonan denda terhadap perusahaan sawit itu sebesar Rp491 miliar.

Sementara PT Bumi Mekar Hijau milik grup Sinar Mas yang membakar lahan yang lebih luas, lebih dari 20 ribu hektare, dituntut kompensasi lebih rendah: hanya Rp78,5 miliar.

Anak perusahaan Sampoerna Agro Tbk, National Sago Prima, juga ikut menyumbang kebakaran lahan pada 2014 seluas 3 ribu hektare. MA akhirnya mengabulkan tuntutan kompensasi Kementerian LHK sebesar Rp1,07 triliun pada awal Januari lalu.

Pada karhutla 2015, Kementerian LHK memenangkan gugatan terhadap tiga perusahaan sawit, Ricky Kurniawan Putrapersada, Palmina Utama, dan Waringin Agro Jaya dengan total kompensasi lebih dari Rp600 miliar.

Satu perusahaan lagi, PT Merbau Pelalawan Lestari, bahkan dituntut membayar denda sebesar Rp16,2 triliun. Dibanding korporasi lain yang dihukum karena kejahatan karhutla, PT MPL dihukum atas kasus pembalakan liar di atas lahan konsesi seluas 5.590 hektare di Riau pada 2013.

Menang Gugatan Belum Cukup

Seharusnya semua selesai setelah palu diketok hakim. Korporasi itu tinggal membayar denda yang totalnya mencapai Rp18 triliun.

Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Faktanya, seperti yang ditemukan Greenpeace, hingga saat ini tak ada satu pun dari sembilan perusahaan yang kasusnya sudah incracht membayar denda ke negara.

Jika dikurangi dengan kompensasi yang harus dibayarkan PT Merbau Pelalawan Lestari, maka total denda aktual yang harus dibayar akibat karhutla sebesar Rp1,9 triliun. Jika merujuk pada laporan Bank Dunia, angka ini masih di luar jumlah kerugian ekonomi yang disebabkan bencana karhutla pada 2015, yang dikalkulasikan mencapai Rp221 triliun atau dua kali lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan tsunami Aceh pada 2004.

Pada September 2018, Menteri KLH Siti Nurbaya Bakar sebetulnya menyebut sudah ada pembayaran denda sebesar Rp32 miliar. Namun ia tak menyebut spesifik nama perusahaan yang dimaksud.

Usut punya usut, pembayaran denda tersebut terkait kasus perusakan lingkungan hidup dari dua perusahaan tambang: Selat Nasik Indokwarsa dan Simpang Pesak Indokwarsa. Artinya, itu di luar kasus karhutla dan pembalakan liar yang tadi. Namun laporan dua perusahaan itu ikut dicantumkan dalam tiap siaran pers terkait 'kemenangan' Kementerian LHK dalam kasus karhutla.

Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menilai upaya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan menjadi sia-sia jika gugatan yang sudah dikabulkan pengadilan tidak dieksekusi.

“Apa yang dilakukan KLHK itu belum cukup. Karena denda-denda itu belum bisa dieksekusi. Kalau kita lihat, itu kan nilai dendanya sudah cukup besar. Kalau tidak dibayar, itu tidak memberi efek jera. Perusahaan tidak akan punya keinginan untuk membayar kalau pengadilan dan pemerintah tidak mengeksekusi pembayaran itu,” papar Arie kepada reporter Tirto, Rabu (13/2/2019).

Kepala Biro Humas MA, Abdullah, menegaskan MA hanya menunggu pihak penggugat, dalam hal ini Kementerian LHK, mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan pemutus perkara.

“Baru pengadilan melakukan aanmaning (teguran) kepada termohon, agar melaksanakan putusan secara sukarela,” terang Abdullah kepada reporter Tirto.

Jika dua kali pemanggilan tidak dipatuhi, barulah MA akan melelang barang-barang perusahaan yang ditetapkan dalam putusan delapan hari setelah aanmaning kedua.

Dihubungi terpisah, Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian KLH, Jasmin Ragil Utomo, membenarkan apa yang dikatakan Greenpeace, bahwa belum ada satu pun dari mereka yang membayar. Tapi dia memastikan KLHK tengah memproses itu.

Kepada PT Kallista Alam misalnya, saat ini sudah sampai tahap pendelegasian lelang dari Pengadilan Negeri Meulaboh ke Pengadilan Negeri Suka Makmur sejak 22 Januari 2019 untuk penetapan lelang. Sementara PT MPL yang harus menanggung kompensasi sebesar Rp 16,2 triliun, sudah dalam proses aanmaning.

“Ini kan dua [perusahaan] masih proses. Sisanya belum kami terima hasilnya dari pengadilan. Kami berharap mereka membayar sukarela. Menunda hanya alasan saja,” terang Jasmin, yang saat dihubungi Tirto pada Selasa (12/2/2019) tengah berada di perjalanan dari Meulaboh ke Banda Aceh usai menyerahkan bekas pendelegasian yang dimaksud.

“Kita tunggu saja. Kalau sudah selesai saya cerita semuanya,” pungkas Jasmin.

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Hukum
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Rio Apinino