tirto.id - Selama bertahun-tahun, orang berbondong-bondong mengunjungi satu nisan kecil di Fairview Lawn Cemetery, Halifax, Kanada. Mereka membawa buket bunga dan surat-surat cinta. Mereka berdoa dan menangis. Mereka mengira di sanalah Jack Dawson, karakter Leonardo DiCaprio dalam film Titanic (1997), yang asli beristirahat buat selama-lamanya.
Pada nisan itu tertulis "J. Dawson” dan ia memang korban kecelakaan kapal Titanic pada 14 April 1912. Namun, inisial 'J' itu berarti Joseph, bukan Jack, dan Joseph Dawson tak memenangkan tiket Titanic secara dramatis dalam permainan kartu. Ia bukan pelukis dan barangkali tak setampan DiCaprio. Joseph hanya seorang buruh kamar mesin yang bertugas menyekop batubara di atas kapal termegah pada awal abad ke-20 tersebut.
James Cameron, sutradara Titanic, menyangkal kaitan antara Joseph dan tokoh utama filmnya. Produser Jon Landau bahkan menyatakan bahwa mereka baru mengetahui kuburan Joseph setelah film Titanic beredar. Namun, hal itu tak mengurangi minat para pemuja film mereka untuk berziarah ke Halifax.
Menurut Eli Rosenberg dari The New York Times, Halifax adalah kota pelabuhan besar dengan jalur kereta api terdekat dari lokasi tenggelamnya Titanic. Kapal-kapal kiriman syahbandar Halifax menemukan 300an jenazah. 100 di antaranya kemudian dimakamkan di laut, 59 jenazah diangkut dengan kereta api, 121 dikuburkan di Fairview Lawn Cemetery, dan 29 di pemakaman-pemakaman lokal lain.
Di kota itu ada pula Museum Maritim Atlantik yang menampung artefak-artefak Titanic, mulai dari susuran tangga kapal hingga sepatu milik Sidney Leslie Goodwin, bayi 19 bulan yang tenggelam bersama seluruh keluarganya. Setiap tahun museum itu dikunjungi 160 ribu hingga 250 ribu turis. Kemungkinan besar, turis-turis itu jugalah yang berziarah ke Fairview Lawn Cemetery. Banyak turis berarti karut-marut. Maka, pengurus pekuburan itu memutuskan buat melarang bus-bus wisata dan hanya menerima peziarah yang berjalan kaki.
Perhatian terhadap Titanic tak hanya berupa minat dan kesetiaan para peziarah, tetapi juga penyelidikan-penyelidikan atas tragedi yang menimpanya. Narasi umum tentang kecelakaan itu—Titanic hancur lebur karena menabrak bongkahan es raksasa—terus-menerus ditantang, diuji, dan dilengkapi.
“Ratusan buku, penelitian, dan penyelidikan resmi telah memeriksa pertanyaan 'bagaimana kapal yang begitu mahal dan sempurna dapat berakhir sedemikian mengenaskan?' dan menghasilkan banyak jawaban, dengan kambing hitamnya masing-masing, mulai dari para pelaut yang tidak kompeten hingga baut kapal yang cacat,” tulis William J. Broad di rubrik sains The New York Times.
Pada April 2012, sejumlah peneliti dari Texas State University dan majalah Sky & Telescope menerbitkan penjelasan ilmiah yang menarik tentang asal usul bongkahan es raksasa yang dihantam Titanic. Menurut mereka, Bumi berada dalam jarak yang amat dekat dengan Bulan dan Matahari pada Desember 1911 hingga Februari 1912, dan orbit langka itu memicu pasang laut yang lebih tinggi daripada biasanya. Pasang itu kemudian memindahkan bongkahan-bongkahan es raksasadari garis pantai Labrador dan Newfoundland ke jalur-jalur pelayaran di Samudera Atlantik Utara.
“Kami menemukan bahwa saat itu di seluruh dunia memang ada pasang laut yang tak lazim. Bahkan di Sydney, Australia, ada koran yang menerbitkan rekor baru pasang laut sebagai berita utamanya,” ujar Donald Olson, anggota tim penelitian itu, sebagaimana dikutip Broad.
Penjelasan lain yang tak kalah menarik datang dari sejarawan Inggris Tim Maltin dalam buku Titanic:A Very Deceiving Night (2012). Menurut Maltin, salah satu faktor penentu kecelakaan Titanic ialah kondisi atmosferik laut yang dilintasinya (pertemuan antara gulf stream yang hangat dan labrador current yang dingin) dan pembiasan cahaya yang tercipta karenanya.
Sebagian besar orang mengenal fatamorgana sebagai fenomena alami yang tercipta ketika udara panas dekat permukaan Bumi membelokkan cahaya ke atas. Di gurun, misalnya, hasil pembiasan itu membuat para musafir yang tersesat mengira pantulan langit biru sebagai kolam. Tetapi ada pula jenis fatamorgana lain yang terjadi ketika udara dingin membelokkan cahaya ke bawah. Di laut, akibatnya ialah horison palsu yang lebih tinggi daripada horison sebenarnya. Karena itulah, menurut Maltin, para pengawas di menara-menara kapal Titanic terlambat mengetahui keberadaan bongkahan es raksasa di jalur pelayaran mereka.
“Tidak ada pahlawan maupun penjahat dalam tragedi Titanic,” ujar Maltin. “Hanya manusia-manusia yang berusaha melakukan hal terbaik menurut ukuran masing-masing dalam keadaan tersebut.”
Pada malam tahun baru 2017, stasiun televisi Inggris Channel 4 menyiarkan film dokumenter Titanic: The New Evidence. Di dalamnya, jurnalis Irlandia Senan Molony yang telah meneliti Titanic selama 30 tahun menunjukkan faktor lain dalam nasib celaka kapal tersebut: api.
Empat tahun lalu, Molony dan seorang rekannya menemukan album foto yang merekam pembuatan Titanic dan persiapan untuk pelayaran perdana (sekaligus terakhir) kapal tersebut. Yang mengejutkan: dalam foto-foto itu, ada bekas hitam sepanjang 30 kaki di lambung kanan Titanic. Kelak, bagian itulah yang dirobek oleh bongkahan es.
“Kami bertanya kepada sejumlah insinyur perkapalan tentang bekas hitam itu. Tidak ada yang tahu dan mereka semua penasaran,” kata Molony. “Pada mulanya, dugaan paling masuk akal ialah bekas itu cuma bayangan.” Tetapi Molony tidak setuju dengan dugaan itu. Menurutnya, saat foto-foto itu diambil, tidak ada jalan atau dok yang bayangannya mungkin jatuh ke badan kapal.
Para pakar dari Imperial College London kemudian menyatakan bahwa bekas hitam pada Titanic dalam foto-foto itu mungkin disebabkan oleh api yang menjalar dari salah satu tempat penyimpanan batubara di dalam Titanic. Menurut Molony, kebakaran yang melemahkan lambung kapal itu terjadi sekitar tiga pekan sebelum pelayaran Titanic, tetapi kabarnya tidak disebarluaskan karena perusahaan pemilik Titanic takut terhadap pemberitaan buruk dan berusaha menjaga jadwal.
“Tiga faktor luar biasa—api, es, dan kelalaian yang mencelakakan—itu berhimpun buat menggempur Titanic,” kata Molony.
Betapa pun masuk akal, penjelasan-penjelasan itu tentu tidak dapat menjawab semua pertanyaan serta menyingkapkan segenap misteri tragedi Titanic. Penjelasan-penjelasan itu, sebagaimana yang sudah ada sebelumnya, akan terus diuji dan dikembangkan.
Sekali waktu, koordinator Museum Maritim Atlantik Richard MacMichael mengatakan kepada Rosenberg bahwa orang-orang tetap memiliki perasaan yang kuat tentang tragedi yang menimpa kapal Titanic, tak peduli peristiwa itu telah berlalu lebih dari seabad.
“Kisah Titanic,” ujarnya, “adalah fenomena besar yang terus melanggengkan diri sepanjang sejarah. Kisah Titanic adalah satu dari sedikit hal yang tak bakal terhapus dari benak kita.”
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti