tirto.id - Pada 10 Januari, terdapat dua peringatan yang menandai kejadian penting pada hari ini. Pertama, berkaitan dengan peringatan konservasi lingkungan melalui Hari Sejuta Pohon Sedunia.
Kedua, berkaitan dengan sejarah politik di Indonesia melalui demonstrasi tiga tuntutan rakyat atau Tritura pada 10-13 Januari 1966, 55 tahun silam.
Meski tidak banyak selebrasi pada 10 Januari, namun perlu kiranya untuk mengetahui dua kejadian penting yang banyak berpengaruh pada kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
Hari Demonstrasi Tritura
Demonstrasi Tritura yang terjadi pada 10-13 Januari 1966 di Jakarta digelar karena pemerintah Orde Lama dinilai gagal menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Unjuk rasa yang diikuti oleh kelompok mahasiswa dan elemen masyarakat itu merupakan pernyataan sikap tegas atas kinerja pemerintah, tertuang dalam tiga tuntutan, yakni (1) Bubarkan Partai Komunis Indonesia atau PKI; (2) Rombak Kabinet Dwikora; dan (3) Turunkan Harga.
Pertama, tuntutan pembubaran PKI merupakan buntut dari polemik rumit usai tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pemerintah Orde Lama dinilai lamban menindak pimpinan PKI, D.N. Aidit yang dituduh sebagai dalang di balik penculikan dan pembunuhan beberapa petinggi Angkatan Darat.
Kedua, perombakan Kabinet Dwikora dituntut agar segera dilakukan karena sejumlah alasan, seperti konfrontasi Indonesia dan Malaysia, serta usaha perebutan Irian Barat yang dinilai tidak tegas, sebagaimana ditulis Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum Muda (2008).
Selain itu, sebagian masyarakat juga ingin agar orang-orang PKI bersih dari tubuh Kabinet Dwikora. Selama ini, sebagian pejabat di Kabinet Dwikora merupakan anggota PKI, padahal nama PKI telah tercoreng dan dianggap buruk di kancah perpolitikan nasional.
Ketiga, tuntutan penurunan harga disebabkan kesalahan kebijakan ekonomi di pemerintahan Soekarno. Akibatnya, harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Kebijakan fiskal ekonomi itu dikelola dalam Peraturan Presiden No. 27 untuk mengatur kembali mata uang rupiah yang diumumkan pada 13 Desember 1965. Godokan kebijakan ini juga diambil dari usulan Kabinet Dwikora dalam bentuk devaluasi rupiah dari kurs Rp1.000 menjadi Rp1.
Sebagaimana dicatat Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (1995), harga bensin dalam setengah bulan naik dari 400 rupiah menjadi 1.000 rupiah. Akibatnya, tarif angkutan umum juga tinggi.
Kenaikan tarif kendaraan umum rata-rata melonjak sampai 1000 persen, sementara itu beras dinaikkan 300 hingga 500 persen.
Mengenai peserta unjuk rasa Tritura, organisasi-organisasi yang turut demonstrasi tersebut antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.
Hari Sejuta Pohon Sedunia
Tanggal 10 Januari juga diperingati sebagai momen konservasi lingkungan dan menjaga keadaan hutan, melalui Hari Sejuta Pohon Sedunia. Indonesia pertama kali menerapkan kebijakan menanam pohon ini pada 2012 melalui program gerakan Satu Miliar Pohon.
Kesadaran mengenai konservasi lingkungan dan keseimbangan hutan itu penting agar manusia tidak meremehkan keberadaan hutan. Hari Sejuta Pohon Sedunia ini dilakukan dalam bentuk gerakan menanam pohon dan memelihara pertumbuhannya.
Bagaimanapun juga, hutan menutupi hampir sepertiga dari seluruh daratan di bumi, menurut laman Tree Hugger.
Fungsinya, hutan berperan sebagai sumber makanan, obat-obatan, dan bahan bakar bagi lebih dari satu miliar orang di muka bumi.
Hari Sejuta Pohon merupakan tonggak kepedulian pada perlindungan alam.
Awal diterapkannya kebijakan penanaman pohon pada November 2012, Menteri Kehutanan yang kala itu, Zulkifli Hasan saat Hari Menanam Pohon Indonesia mengatakan, penanaman pohon dari Januari hingga Oktober 2012 telah mencapai 732 juta pohon atau sudah memenuhi 70 persen dari target satu miliar batang.
Selain itu, peringatan Hari Sejuta Pohon Sedunia ini diharapkan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai deforestasi yang masif.
Organisasi pemantau hutan independen Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, kondisi hutan di Indonesia cukup memperihatinkan karena penebangan pohon yang membabat jutaan hektar hutan di Indonesia.
"Dari deforestasi yang terjadi di Tanah Air, Kalimantan merupakan daerah penyumbang paling tinggi [penebangan hutan] yaitu mencapai dua juta hektar," ujar Manager Program FWI Mufti Barri sebagaimana dilansir Antara.
Dari catatan FWI, melalui data Potret Keadaan Hutan Indonesia (PKHI) periode 2013 hingga 2017, sebanyak 5,7 juta hektar hutan di Indonesia telah berkurang dari sebelumnya 88,5 juta, menjadi 82,8 juta hektar.
FWI masih mengupayakan perolehan data, terutama dari kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait keterbukaan informasi pengelolaan sumber daya hutan. Sebabnya, hingga sekarang belum ada transparansi data keadaan hutan di Indonesia.
Sementara perwakilan FWI Agung AS kepada Tirto, Minggu (10/1/2021) menyatakan bahwa saat ini bukan soal data keadaan hutan yang belum transparansi, tetapi tentang keterbukaan informasi Hak Guna Usaha (HGU).
"Di sini kalo terkait Kementerian ATR/BPN, harusnya soal keterbukaan informasi HGU yang saat ini belum juga dibuka ke publik, padahal sudah diputus terbuka oleh MA sejak tahun 2017," kata dia.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno