tirto.id - Walau Jessica Kumala Wongso sudah divonis terbukti bersalah membunuh Wayan Mirna, namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta masih gagal menyodorkan bukti-bukti yang langsung membuktikan Jessica sebagai pembunuh. Sampai pembacaan vonis, tidak ada satu pun saksi mata yang melihat Jessica menaruh racun ke dalam kopi yang diminum Mirna.
Tidak adanya saksi mata juga gagal diperbaiki oleh rekaman CCTV yang juga tidak mampu memperlihatkan atau menunjukkan adegan Jessica memasukan racun. Pendeknya: tidak ada saksi mata, tidak ada bukti langsung, bahwa Jessica yang meracuni Mirna. Menjadi kian sulit karena alat bukti yang lain, yaitu pengakuan terdakwa, juga tidak ada. Jessica menolak dakwaan telah meracuni Mirna.
Lantas, apa yang mendasari Majelis Hakim untuk menjatuhkan vonis bersalah dan penjara 20 tahun kepada Jessica?
Bukti-Bukti Tak Langsung sebagai Jalan Keluar
Dari situasi pelik itulah Majelis Hakim memaksimalkan bukti-bukti tidak langsung untuk memutuskan Jessica bersalah.
“Secara formal untuk membuktikan tindak pidana tidak perlu ada saksi mata. Apabila terdakwa menggunakan instrumen racun yang dimasukkan ke dalam minuman maka tidak perlu ada orang yang melihat orang memasukkan racun. Maka hakim dapat menggunakan circumstance evidence atau bukti tak langsung," kata Ketua Majelis Hakim Kisworo saat membacakan putusan.
Circumstantial evidence, atau bukti tak langsung (indirect evidence) adalah bukti-bukti yang secara tidak langsung memberatkan terdakwa karena kondisi tertentu. Bukti tak langsung ini biasanya tidak hanya tunggal, tapi terdiri dari serial bukti-bukti, semacam kepingan puzzle, yang jika disusun akan mengarah pada titik tertentu, dalam hal ini terdakwa atau orang-orang yang dicurigai.
Circumstantial evidence sebagai bukti yang dihadirkan dalam persidangan tidak berasal secara langsung dari saksi mata atau partisipan peristiwa kejahatan itu. Ia bisa bukti fisik atau keadaan di mana sebuah penjelasan masuk akal bisa membuktikan bahwa bukti-bukti tidak langsung itu merupakan faktor pendukung sekaligus penjelas terjadinya kejahatan.
Contohnya seperti sidik jari yang ditemukan di lokasi kejahatan (bukan pada alat bukti pembunuhan misalnya, kepemilikan senjata api, saksi mata yang melihat pelaku berada di sekitar lokasi kejahatan, atau pengetahuan tertentu seperti kemampuan membuat bom), dapat digunakan sebagai alasan pembenaran bahwa seseorang bersalah dan terlibat dalam kejahatan itu.
Di Amerika Serikat banyak sekali contoh penggunaan circumstantial evidence sebagai alat bukti kejahatan dalam sidang. Contohnya adalah kasus Scott Lee Peterson, pria yang dituduh membunuh istrinya yang sedang hamil. Ia divonis hukuman mati dengan alat bukti yang keseluruhannya merupakan circumstantial evidence. Jenazah istri Scott Lee Peterson ditemukan di garis pantai San Fransisco. Karena ketiadaan bukti langsung yang menjerat Scott Peterson sebagai pelaku, maka jaksa memanfaatkan bukti situasional untuk membentuk argumen bahwa Scott Peterson bersalah.
Bukti-bukti itu adalah dua jangkar buatan yang ditemukan milik Peterson yang dipakai untuk meneggelamkan istrinya. Bukti lainnya adalah potongan rambut yang ditemukan di kapal miliknya, konsisten dengan DNA milik istri Peterson. Bukti ini ditemukan setelah penyelidik mengamati foto kejadian perkara. Bukti jangkar dan potongan rambut bukanlah bukti langsung, karena tidak ada saksi mata yang menyaksikan, namun dua bukti tak langsung yang ditemukan di properti milik Peterson menimbulkan kecurigaan.
Selain itu motif menjadi penting bagi circumstantial evidence agar tuduhan atau dakwaan punya nilai integritas. Dalam kasus Peterson, ia terbukti selingkuh, dan ketika istrinya mengetahui perselingkuhan tersebut, maka Peterson memutuskan untuk membunuhnya.
Ada motif yang dianggap jelas dalam kasus Peterson. Pengetahuan istri Peterson terhadap perilaku selingkuh suaminya menjadi bukti yang lantas dijelaskan sebagai motif.
Rentetan bukti tak langsung yang ditarik menjadi kesimpulan mensyaratkan proses penalaran yang kuat dan solid. Ini sangat penting agar circumstantial evidence dapat diterima sebagai hal yang meyakinkan.
Sebuah kejahatan pembunuhan mesti menggenapi beberapa hal, seperti apakah sebab kematiannya? Jika benar kematiannya akibat pembunuhan, bagaimana cara membunuhnya? Jika pembunuhan benar terjadi, lalu siapakah pelakunya? Jika pembunuh telah diketahui, apa motif kuat pelakunya?
Dalam kasus kematian Mirna ini, Jessica didakwa membunuh Mirna karena dialah orang yang paling lama menguasai atau mengendalikan kopi yang diminum Mirna.
Itu dibuktikan oleh kesaksian semua saksi mata dan rekaman CCTV. Fakta mengenai goodie bag yang diletakkan Jessica di meja juga menjadi bukti tak langsung bahwa Jessica hendak menutup-nutupi perbuatan atau tindakannya. Bahwa saksi mata dan CCTV tidak bisa membuktikan secara langsung adegan Jessica memasukan racun, tidak membantah fakta bahwa Jessica yang memang paling lama menguasai kopi yang diminum Mirna.
Dari sanalah fakta-fakta mengenai masa lalu Jessica di Australia, termasuk relasinya yang kurang baik dengan orang tua, gejala psikis yang dianggap bermasalah dan agresif, menjadi keping-keping puzzle dari circumstansial evidence. Kekecewaan terhadap sikap Mirna yang tidak sesuai dengan harapan Jessica yang sedang dalam situasi sulit dianggap cukup sebagai penyebab timbulnya dendam dan sakit hati.
Bukti bahwa Jessica ada di lokasi, menguasai atau paling dekat dengan kopi dalam waktu yang lama, ditambah rangkaian fakta tentang persoalan psikis Jessica, plus ditemukannya motif dendam dan sakit hati, membuat Majelis Hakim merasa yakin bahwa memang Jessica yang membunuh. Itulah circumstansial evidence, atau bukti tak langsung, yang dimaksud Majelis Hakim.
Dari sanalah konteks penggunaan diksi “naluri” yang digunakan Majelis Hakim sedikit banyak bisa diendus jejaknya.
Peluang Circumstansial Evidence sebagai Terobosan
Di Indonesia penggunaan circumstantial evidence sudah dan pernah dilakukan pada – setidaknya-- dua kasus. Contohnya adalah kasus kartel minyak goreng dan kartel fuel surcharge. Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU) terhadap dua kasus itu seluruhnya mengandalkan bukti tak langsung atau circumstansial evidence.
Namun, ketika kasasi dilakukan, bukti-bukti ini dibatalkan Mahkamah Agung. Seperti dilaporkan situs Hukum Online, Ketua KPPU, Nawir Messi, yang mengawal dua kasus tadi, dunia hukum Indonesia belum mengenal istilah circumstantial evidence. Alhasil, tanpa memeriksa kasus secara mendalam, pengadilan langsung mengenyampingkan perkara tersebut. Alasannya: hukum di Indonesia tidak mengenal circumstantial evidence.
Dua kasus di atas memang terjadi dalam ranah hukum perdata, bukan pidana seperti dalam kasus kematian Mirna. Tindakan para kartel, mafioso, bahkan korupsi kakap, cenderung sulit diungkap karena dilindungi kekuatan-kekuatan politik, tidak terkecuali yang melibatkan penegak hukum itu sendiri. Jelas tidak gampang untuk dibuktikan.
Untuk membongkar kasus-kasus korupsi, KPK selama ini mengandalkan benar “jurus” penyadapan. Jika kewenangan penyadapan ini dikurangi, niscaya KPK akan jauh lebih kesulitan lagi dalam membongkar lebih banyak kasus. Circumstansial evidence bisa menjadi jalan keluar, atau metode alternatif, untuk membongkar kasus-kasus sebagaimans sudah dipraktikkan KPPU.
Di negara lain yang sistem hukumnya lebih progresif, penggunaan alat bukti baik hard evidence (atau dikenal dengan direct evidence) maupun circumstantial evidence diakui di pengadilan sebagai alat bukti yang sah. Masalahnya adalah penggunaan circumstantial evidence mesti ketat metodologi dan pembuktiannya, dan dilakukan dengan argumen yang masuk akal. Perlu ada parameter yang jelas untuk membuat circumstantial evidence sebagai alat bukti yang sah dan yang paling penting bisa diuji integritasnya.
Di sinilah perkaranya. Pengadilan Jessica secara tidak langsung telah memperkenalkan circumstansial evidence kepada khalayak luas. Sayangnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili Jessica kurang meyakinkan dalam menggunakannya.
Penggunaan diksi “naluri”, atau analisis terhadap air mata dan ingus Jessica, membuat circumstantial evidence menjadi empuk untuk diperdebatkan. Publik bisa bertanya, dan memang sudah banyak yang mempersoalkan, mengapa hakim memutuskan berdasarkan naluri? Mengapa di zaman yang semakin canggih, argumentasi hakim justru membawa-bawa hal yang tidak substantif?
Dampak turunannya adalah circumstantial evidence dikenal khalayak dengan jalan yang tidak meyakinkan. Sehingga kemungkinan memperkenalkan circumstansial evidence sebagai terobosan yang perlu dipertimbangkan pun bisa menuai antipati.
Memang benar Jessica yang paling lama mendapatkan akses terhadap kopi yang diminum Mirna, tapi itu masih kurang solid sebagai circumstansial evidence karena mengabaikan kemungkinan yang lain. Misalnya: saat kopi sedang diracik oleh barista atau selama berada di dapur kafe.
Jelas rentang waktu ketika karyawan kafe menyiapkan kopi pesanan Jessica tidak selama ketika Jessica “menguasai” kopi di meja. Tapi lama atau sebentar mestinya harus diuji secara meyakinkan juga sebagai circumstansial evidence. Adakah CCTV yang mengawasi proses peracikan kopi? Sudahkah saksi mata dalam proses peracikan kopi diselidiki dengan maksimal?
Bayangkan jika CCTV di dapur, atau saksi-saksi mata proses pembuatan atau peracikan kopi, juga diselidiki dengan maksimal dan terbukti memang tidak ada yang mencurigakan dari seluruh proses mempersiapkan kopi. Maka circumstansial evidence yang mengarah kepada Jessica juga bisa semakin meyakinkan dan solid.
Tanpa harus melandaskan diri, atau menggunakan diksi, “naluri”. Tidak juga mengutak-atik ada tidaknya ingus dari hidung Jessica.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS