Menuju konten utama

Zumi Zola Tidak Pantas Marah-Marah

Yang harus dilakukan Gubernur Jambi bukanlah marah-marah kepada tenaga medis, melainkan bekerja lebih memadai supaya akses dan pelayanan kesehatan di daerahnya terjangkau dan tersedia.

Zumi Zola Tidak Pantas Marah-Marah
Gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli (kiri). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

tirto.id - Gubenur Jambi Zumi Zola Zulkifli menjadi perhatian publik lantaran marah-marah melihat perawat dan tenaga medis sedang istirahat ketika ia melakukan inspeksi mendadak malam hari ke Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher, Kota Jambi. Sidak itu, diikuti oleh para wartawan, direkam dalam video dan dikomentari secara kritis karena tindakannya tidaklah proporsional dan tidaklah etis. Salah satu komentar umum: tenaga medis juga manusia yang butuh istirahat; kedua, sidak itu dilakukan pada Jumat dini hari (20/1) ketika kebanyakan pasien memang sedang terlelap.

Jadi apa pentingnya si gubernur melakukan langkah birokrasi yang lebih banyak mengundang sorotan kamera dari media secara cepat, ketimbang, alih-alih, memikirkan bagaimana semua masyarakat Jambi, dari semua lapisan, bisa mengakses kesehatan secara layak dan murah?

Dalam wawancara dengan stasiun berita MetroTV, Zumi mengklaim bahwa sidak itu dilakukan karena keluhan warga. Selama ini, klaimnya, RSUD Raden Mattaher kerap tidak maksimal dalam pelayanan terhadap masyarakat. Klaim "pelayanan tidak maksimal" itu ia contohkan ada kasus pasien BPJS yang diminta tenaga medis untuk memasang infus sendiri, dan ada pasien kanker yang tidak diawasi secara maksimal sampai akhirnya meninggal. Zumi membela, video sidak yang kemudian viral di media sosial itu tidaklah merekam gambaran utuh. Misalnya, ia bilang, di ruangan dalam gedung rumah sakit itu ada dokter dan tenaga perawat yang bertugas jaga, dan ia "hanya menindak mereka yang kedapatan malas."

Kita patut menguji klaim Zumi Zola secara umum. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2015 dari Kementerian Kesehatan, Provinsi Jambi memiliki 14.650 tenaga medis untuk melayani 3,4 juta penduduk di 10 kabupaten dan 1 kota, dengan 9,12 persennya tergolong penduduk miskin. Itu termasuk dokter spesialis, dokter umum, perawat, bidan, sampai tenaga penunjang kesehatan. Seluruh penduduk di Jambi itu tentu saja tidak sedang sakit semua, tetapi berdasarkan rasio yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seharusnya ada 40 dokter umum per 100 ribu penduduk. Saat ini, baru 33 dokter umum untuk 100 ribu penduduk. Ini pun hanya di kota-kota besar, bagaimana dengan kabupaten atau pulau terluar?

Ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan Zumi Zola ketimbang marah-marah. Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, ia berwenang menempatkan tenaga kesehatan yang merata supaya akses masyarakat pada pelayanan kesehatan tersedia dan terjangkau. Jika ia merasa pelayanan rumah sakit daerah tempat ia memimpin dinilai kurang lantaran jumlah tenaga medis yang minim, ia bisa mengajukan penambahan personel.

Secara umum hanya ada 430 dokter yang tersebar di Provinsi Jambi (Lihat Profil Kesehatan hlm. 299). Sementara hanya ada 639 dokter umum. Tenaga perawat hanya 3.694 orang dan tenaga bidan cuma 2.468 orang. Dengan populasi sebanyak 3,4 juta, satu dokter di provinsi Jambi mesti melayani 4.694 orang. Dari sumber yang sama, tenaga medis untuk Puskesmas—pelayanan kesehatan berbasis masyarakat—di Jambi hanya 5.222 orang. Komposisi tenaga medis di Jambi sedikit dibantu dengan kedatangan 200 dokter magang pada 2015. Tetapi penambahan tenaga medis ini masih jauh dari angka ideal.

Puskesmas, sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang mengedepankan upaya promotif dan preventif kesehatan perseorangan tingkat pertama, punya peran terdepan untuk mengatasi problem kesehatan secara merata. Tetapi kondisi terbaru, meski tren jumlah Puskesmas setiap tahun naik, tetap kalah dengan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah Puskesmas sampai Desember 2015 tercatat ada 9.754 unit di seluruh Indonesia.

Untuk memeriksa indikator pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar, kita dapat mengukurnya lewat rasio jumlah Puskesmas terhadap 30.000 penduduk. Pada 2015, angka rasio nasional sebesar 1,15. Di Jambi, rasio itu sebesar 1,55.

Infografik Realitas Tenaga Medis Jambi

Tenaga Medis di Indonesia Minim

Minimnya tenaga medis dan proporsi yang timpang antara jumlah dokter dan penduduk bukan cuma terjadi di Jambi. Ini merata nyaris di setiap daerah terutama di luar Jawa. Pada 2014, data Kementerian Kesehatan menunjukkan 48 persen tenaga medis terpusat di pulau Jawa dan Bali, yakni 435.877 orang.

Problem peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ini memang jadi prioritas utama Kementerian Kesehatan Indonesia. Pada Maret tahun lalu Kementerian mendorong pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia bisa segera membaik melalui program prioritas kesehatan serta implementasi gerakan masyarakat hidup sehat dan program keluarga sehat. Selain itu, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan juga menjadi perhatian utama.

Profil kesehatan di Indonesia memang menunjukkan wilayah-wilayah tepian dari ibukota, kawasan perbatasan, dan kepulauan terluar masih minim tenaga medis. Untuk mengatasinya, pemerintah melakukan pembangunan 22 rumah sakit pratama pada 2015 di wilayah yang membutuhkan. Kementerian berharap dapat meningkatkan akses masyarakat kepada fasilitas pelayanan kesehatan.

Selain itu mutu pelayanan menjadi perhatian. Kementerian mengandalkan pengawasan berdasarkan akreditasi dengan indikator jumlah kecamatan memiliki minimal satu Puskesmas. Berdasarkan rilis resmi Kementerian Kesehatan pada 2015, langkah ini baru tercapai di 93 kecamatan dari target 350 kecamatan. Untuk tahun 2016, target Kementerian sebanyak 700 kecamatan, dan hanya mencapai 106 kecamatan.

Kementerian Kesehatan juga terus berupaya mengatasi problem distribusi, jumlah, jenis, dan mutu tenaga medis dengan melaksanakan program "Nusantara Sehat' sejak 2015. Program ini bertujuan mewujudkan layanan kesehatan primer di wilayah-wilayah terpencil. Nusantara Sehat merupakan upaya penguatan promotif dan preventif pada pelayanan kesehatan primer berbasis tim. Pada 2015 telah ditempatkan 950 tenaga kesehatan di 120 Puskesmas, dan pada 2016 sebanyak 1.990 tenaga kesehatan di 250 Puskesmas.

Sebelumnya Tirto menurunkan laporan tentang program Dokter Layanan Primer yang diprotes banyak dokter di Indonesia. Menurut mereka, program ini akan menghambat para dokter untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia berkilah bahwa program tersebut memberatkan calon dokter. IDI justru meragukan kompetensi calon dokter yang sudah menempuh pendidikan sebelumnya. Saat ini kualitas kesehatan Indonesia, berdasarkan postur pelayanan sistem kesehatan yang disusun WHO, berada di posisi 92, di bawah Lebanon dan di atas Iran.

Sebagai gambaran, untuk menjadi seorang dokter umum di Indonesia, kita harus menghabiskan minimal 7 tahun masa pendidikan: 4 tahun belajar materi dasar kedokteran, 2 tahun menjalani "koasisten" atau dokter muda yang berpraktik di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain pada daerah terpencil sebelum menempuh ujian; dan 1 tahun menjalani dokter magang. Jika program Dokter Layanan Primer diwajibkan, maka calon dokter harus menempuh waktu belajar selama 9 tahun. Persebaran dokter, menurut mereka, terhambat karena kian panjang masa studi seorang dokter untuk lulus dan segera mengabdi.

Pada 2015, tenaga medis yang dimiliki pemerintah hanya 876.984 orang, tersebar di seluruh kawasan Indonesia dengan total penduduk 255, 5 juta jiwa. Ini jumlah yang sangat timpang. Dan ketimpangan akses kesehatan, untuk "mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya" yang menjadi hak dasar semua warga, tidak bisa diatasi dengan langkah marah-marah kepada para tenaga medis.

Melihat apa yang dilakukan Zumi Zola, ia tidak pantas marah-marah. Ia akan diakui bekerja pantas jika melakukan langkah birokrasi yang memadai dalam upaya menyempitkan ketimpangan akses dan pelayanan kesehatan di daerahnya.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam