tirto.id - Kerja adalah cara yang diajarkan dan dianjurkan Islam guna mengentaskan kemiskinan. Memang, zakat pun dapat dinilai merupakan salah satu cara, tetapi bukan cara utama. Kendati berzakat itu diwajibkan dan bersedekah itu dianjurkan kepada mereka yang mampu, tetapi sangat sering diingatkan bahwa: "Tangan yang di atas lebih baik daripada yangan yang di bawah."
Allah memuji orang-orang yang butuh namun enggan meminta-minta, sampai-sampai keengganannya itu menjadikan sementara orang menduga mereka kaya. Dari sini, dalam konteks zakat, Allah menetapkan bahwa amil, yakni pengelola zakat, berhak mendapatkan sebagian dari hasil pengumpulan zakat. Hak itu antara lain sebagai imbalan atas usahanya mengumpulkan, membagikan zakat, dan menemukan orang-orang yang butuh, tapi tidak meminta karena menjaga air mukanya.
Zakat diwajibkan Allah bagi yang memenuhi syarat-syaratnya. Zakat menjadi wajib, antara lain, karena kita semua bersaudara, baik yang butuh maupun tidak. Persaudaraan yang hakiki akan mengantar saudara memberi saudaranya yang lain berupa hadiah. Bahkan walau pun si penerima itu mampu. Sangat berharga sikap membantu memenuhi kebutuhan saudaranya sebelum saudara yang menerima itu membuang air mukanya dengan meminta.
Zakat diwajibkan karena keberhasilan seseorang meraih sukses tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain dalam masyarakat. Bukankah ia menggunakan jalan raya yang bukan merupakan milik pribadinya? Bukankah ia membutuhkan keamanan yang dilakukan oleh orang lain? Bukannkah yang sukses itu juga menggunakan fasilitas umum? Bukankah saudagar yang sukses dengan berdagang barang-barang sangat membutuhkan pembeli? Di samping itu, bukankah Allah yang menyiapkan bahan mentah secara gratis untuk diolah oleh manusia sehingga yang sukses menghasilkan produk yang mereka jual dan dari penjualan itu mereka meraih keuntungan?
Nah, jika demikian, menjadi sangat wajar, bahkan menjadi kewajiban, bagi yang sukses dalam meraih keuntungan untuk menyisihkan sedikit -- sekali lagi sedikit saja -- dari hasil usahanya untuk keperluan hamba-hamba Allah yang membutuhkan.
Para pakar mengemukakan tiga peringkat kebutuhan manusia: (1) primer, (2) sekunder dan (3) tersier. Dalam bahasa agamawan, primer diistilahkan dengan al-kafaf, sedangkan sekunder dinamai al-kifayah dan yang tersier sebagai al-kafa'ah.
Terpenuhinya kebutuhan primer tercermin pada terpenuhinya kebutuhan pokok yang diperlukan untuk mempertahankan hidup secara wajar. Seperti kecukupan pangan yang bergizi, sandang perumahan dan pelayanan kesehatan. Bahkan bisa jadi ada yang menambahkan transportasi.
Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang sifatnya melengkapi kebutuhan primer. Ia bukannya tidak penting, tetapi manusia dapat hidup walau kebutuhan yang ini tidak terpenuhi. Katakanlah televisi, kulkas, sepeda motor, dan semacamnya. Sedang kebutuhan tersier merupakan kemewahan yang memang tidak mungkin akan dipenuhi oleh setiap orang, katakanlah seperti perhiasan, jam tangan mewah dan sejenisnya.
Kebutuhan primer itulah minimal yang harus terpenuhi, baik melalui zakat, sedekah, atau wakaf. Kebutuhan inilah yang digambarkan oleh Rasul SAW:
Siapa di antara kalian yang memasuki waktu pagi dan telah merasa aman di kediaman/kampungnya, sehat badannya, dan memiliki makanan sehari-harinya, maka dunia bagaikan telah dihimpun untuknya (HR. at-Tirmidzy). Tentu saja pengertian merasa aman pada hadis di atas bisa mencakup banyak aspek, sesuai dengan kondisi dan situasi setiap masyarakat.
Zakat disalurkan pertama kali kepada mereka yang kehidupannya belum mencapai tingkat primer hingga ia mencapai tingkat sekunder, demikian tulis Mufti Sayaikh Ali Juma’ah dalam bukunya Amin al-Mujtama’ wa Istiqaruh min Mandzur (en) Islamy.
Sang Mufti melanjutkan bahwa: “Batas sekunder mencakup peringkat tertinggi dari batas primer ditambah dengan bantuan yang menghasilkan kemampuan pribadi siapa yang berhak menerima zakat (mustahiq), termasuk kemampuan berbahasa dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial, politik, serta olahraga.” Bahkan, lanjut Sang Mufti: “Zakat dapat diberikan hingga mencapai batas tertinggi dari peringkat sekunder, tapi tidak bagi yang telah mencapaai tingkat tersier.”
Demikian terlihat bahwa zakat diberikan kepada yang butuh sehingga menjadi tidak butuh lagi. Karena itu, zakat justru lebih baik diberikan dalam bentuk modal kerja agar dengan demikian yang butuh tadi dapat beralih dari mustahiq/wajar menerima menjadi muzakky/pembayar zakat. Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa zakat dapat diberikan kepada yang butuh dalam jumlah yang memungkinkannya merasa aman sepanjang hayatnya. Diberikan kepadanya sehingga ia dapat memperoleh tempat tinggal yang layak dan sandang serta pelayanan kesehatan yang memadai.
Demikian zakat yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah sehingga menjadikan yang miskin beralih statusnya menjadi berkecukupan. Bahkan zakat dapat diberikan kepada yang mampu mengelola keuangan dalam bentuk tunai sehingga terpenuhi kebutuhannya seumur hidup. Dengan demikian, zakat menjadi sarana pengentasan kemiskinan walaupun, sekali lagi, bukan ini cara utama yang diajarkan dan dianjurkan Islam.
Demikian. Wa Allah A’lam.
======
*) Naskah diambil dari buku "Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam" yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit
Editor: Zen RS