Menuju konten utama

Zaidi: Pejabat Malaysia yang Membantu Kemerdekaan Indonesia

Pemuda Zaidi putus sekolah di Bogor, tapi tak langsung pulang ke Sarawak. Dia menghabiskan beberapa tahun di Indonesia untuk melawan agresi Belanda.

Zaidi: Pejabat Malaysia yang Membantu Kemerdekaan Indonesia
Y.T. Tun Datuk Patinggi (Dr.) Ahmad Zaidi Adruce, dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara Sarawak, juga menjabat sebagai Kanselir di Universitas Malaysia Sarawak. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Tuan Yang Terutama Yang Dipertua Negeri Sarawak Tun Dato’ Petinggi Zaidi bin Adruce menyempatkan diri menyaksikan langsung latihan bersama antara militer Indonesia dengan Malaysia. Menurut Jenderal ZA Maulani dalam Melaksanakan kewajiban Kepada Tuhan dan Tanah Air: Memoar Seorang Prajurit TNI (2005:286), latihan bertajuk Latma Kekar Malindo ini sudah digelar sejak 1972, beberapa tahun setelah Konfrontasi Dwikora Ganyang Malaysia diakhiri.

Zaidi bin Adruce cukup perhatian kepada militer Indonesia yang ikut latihan. Suatu pagi di jam-jam sarapan, Zaidi bin Adruce bertanya kepada salah satu anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang ikut.

“Sudah sarapan?” tanya Zaidi bin Adruce. “Belum Tuanku,” jawab sang prajurit. Zaidi pun jadi tidak nyaman, lantas menyelidik. “Bagaimana perkara ini boleh jadi. Ini tentara Indonesia belum juga beroleh makan pagi.”

“Sudah, Tun” kata seorang pegawai. “Mereka pagi tadi sudah makan pagi dengan roti dan kopi.” Mendengar jawaban itu, orang-orang pun tertawa. Semua paham, jika belum mengunyah nasi, orang Indonesia merasa dirinya belum makan. Zaidi bin Adruce tentu cepat paham soal itu. Mungkin ini berlaku bagi Panglima Kodam Tanjungpura, Mayor Jenderal Zain Ashar Maulani juga.

Bagi Maulani, Zaidi bukan orang asing meski berbeda negara. Dalam memoarnya Maulani menulis: “saya memandang beliau sebagai salah seorang tokoh cikal-bakal pendiri Kodam VI/Tanjungpura, hanya saja oleh perjalanan sejarah kini beliau menjadi Yang Dipertua Negeri Serawak.”

Orang Sarawak Sekolah di Bogor

Pada 29 Maret 1924 di Kampung Semop, sekitar Sungai Rajang, Serawak Tengah, seorang anak laki-laki lahir dari pasangan suami-istri Mohammad Noor dan Siti Saadiah. Kelak, sang anak mengenyam pendidikan yang lumayan. Setidaknya Zaidi bin Adruce menikmati sekolah yang cukup baik untuk ukuran zaman kolonial Inggris di Kalimantan Utara. Namun kedatangan militer Jepang cukup mempengaruhi pendidikannya.

Pada Maret 1944, tulis James Ritchie dalam Tun Ahmad Zaidi: Son of Sarawak (2000:165-166), Zaidi "dikirim Jepang ke kampus (Pertanian) Bogor di Jawa untuk belajar ilmu kedokteran hewan. Bersama orang Sarawak lainnya, Ghazali Usop, juga untuk belajar bidang yang sama”.

Sekolah Zaidi di Bogor tidak pernah rampung. Jepang keburu kalah dan setelah republik diproklamirkan Belanda datang. Saat itu Zaidi masih tinggal di Jawa dan tak pulang ke Sarawak, sehingga akhirnya ia pun ikut bersama kaum republiken.

Zaidi pun sama-sama memusuhi aparat kolonial Belanda, Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA). Kala itu usianya baru awal 20an. Darah mudanya menggebu-gebu, ditambah lagi karena berkawan dengan pemuda republiken. Meski Sarawak adalah jajahan Inggris dan Jawa beserta pulau sekitarnya, termasuk sebagian Kalimantan adalah jajahan Belanda, problem yang dihadapi para pemuda Indonesia akhirnya jadi masalahnya juga.

Perwira Intelijen ALRI

Antara 1946-1947, Zaidi bergabung dengan Pangkalan IV Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang bermarkas di Mojokerto dan dikenal sebagai ALRI Divisi IV.

Jabatan Kapten Zaidi di sana adalah Kepala SOI Pangkalan IV ALRI.

Pihak Angkatan Laut Indonesia, lewat Dinas Penerangan, pernah menyebut nama Zaidi dalam buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Periode Perang Kemerdekaan) 1945-1950, (2012:333). Bersama Letnan I Asli Zuchri, Kapten Zaidi adalah staf intel dari Pangkalan IV ALRI.

Tak punya eskader kapal perang yang hebat, pasukan ALRI, khususnya di luar Jawa, lebih banyak menjalankan misi penyusupan dan penyelundupan kala itu. Mereka menyusup demi memperkuat posisi republik di daerah-daerah yang belum dikuasai. Mereka juga menyelundup untuk mendapatkan uang atau senjata agar bisa menopang perjuangan Republik Indonesia.

Daerah operasi penyusupan ALRI adalah Kalimantan. Sebagai orang Kalimantan, Zaidi diharapkan menjadi orang yang mengenali karakter daerah misi, terutama Kalimantan Barat bagian selatan.

Di ALRI Zaidi berusaha mengumpulkan banyak informasi mengenai Kalimantan demi kepentingan Republik Indonesia. Pada era revolusi, kaum republiken di Jawa belum banyak mengenal Kalimantan. Biasanya, kepada Zaidilah para penyusup ALRI yang baru pulang dari Kalimantan melapor.

Arsip Kementerian Pertahanan nomor 1006: Surat dari Markas Pertahanan ALRI ke-IV Bagian SOI tentang laporan-laporan bulan Januari 1946-Mei 1947 mengenai pemberontakan di Balikpapan (koleksi ANRI) menyebutkan bagaimana jaringan Zaidi melaporkan situasi di Balikpapan dan Banjarmasin.

ALRI Divisi IV, pada 1947 tak hanya mencari mencari informasi. Para anggota ALRI ini kemudian merekrut para pemuda Kalimantan sebagai tentara. Pernah ada pasukan bernama batalyon Rahasia ALRI yang berisi penyusup-penyusup dari Jawa dan beroperasi dalam kapal-kapal kecil.

Zaidi dan Kodam Tanjungpura

Menurut Maulani, Zaidi pernah menjadi perwira intelijen Batalyon Rahasia ALRI yang mendarat di Ketapang pada 1947. Dari sinilah Maulani menarik hubungan antara Zaidi dan ALRI Divisi IV dengan sejarah Kodam Tanjungpura di Pulau Kalimantan, yang notabene bagian dari Angkatan Darat.

Infografik Ahmad zaidi adruce

Tentu bukan Zaidi saja yang punya hubungan dengan sejarah militer TNI di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, ada pula ALRI pimpinan Hasan Basry yang berasal dari Kandangan. Seperti dicatat Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), tak mudah bagi Hasan Basry untuk membangun kekuatan di Kalimantan, saking kuatnya tentara Belanda di sana.

Selain dengan bekas pejuang macam Hasan Basry dan kawan-kawan Zaidi lainnya, sejarah Kodam Tanjungpura juga terhubung dengan orang-orang bekas KNIL, tentara Belanda dari kalangan pribumi yang berperang melawan Republik Indonesia pada zaman Revolusi.

Menurut Maulani dalam memoarnya (2005:42, 267), hari ulang tahun Kodam Tanjungpura berakar dari hari bergabungnya mantan KNIL ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat pada 20 Juli 1950. Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan pada 17 Agustus 1950, para personil APRIS pun disebut sebagai Tentara Nasional Republik Indonesia.

Sebelum Kodam Tanjungpura beroperasi, terdapat Divisi Lumbung Mangkurat pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala di Kalimantan. Divisi ini lalu dibubarkan dan muncullah Komando Tentara & Teritorium VI/Kalimantan.

Kelak, Zaidi menjadi politikus di Sarawak. Ketika Konfrontasi Ganyang Malaysia berlangsung (1962-1966), Zaidi terlibat. Sebagai mantan pemuda yang pernah melawan Tentara Belanda, lagi-lagi lawannya adalah tentara dari negara imperialis yang mendukung Negara Malaysia. Menurut Vernon L. Porritt dalam The Rise and Fall of Communism in Sarawak, 1940-1990 (2004:162), Zaidi menjadi bagian penting dari Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Sementara Ooi Keat Gin dalam Southeast Asia and the Cold War (2012:120) menyebutkan bahwa Zaidi adalah Menteri Pertahanan dari Negara Nasional Kalimantan Utara (NNKU).

Setelah Konfrontasi berakhir, Zaidi masih dianggap sebagai tokoh penting dalam Negara Malaysia, sampai-sampai digelari Tuan Yang Terutama Yang Dipertuan Negeri Sarawak Tun Dato’ Petinggi Zaidi bin Adruce.

Baca juga artikel terkait SEJARAH TNI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf