tirto.id - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap 78 kasus pelanggaran dalam unjuk rasa sepanjang 2019 di seluruh Indonesia. Dari kasus itu, 51 orang tewas, dan 44 orang di antaranya tewas misterius.
"Dari 51 [orang], 7 orang saja yang jelas informasinya meninggal kenapa sedangkan 44 korban lainnya tidak ada informasi resmi. Dalam konteks hak asasi manusia ini sangat berbahaya. Mengerikan," kata Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur di kantornya pada Minggu (27/10/2019).
Isnur menjelaskan dari 51 korban tewas itu, yakni 33 kasus di antaranya berasal dari aksi anti rasisme di Wamena dan sekitarnya beberapa waktu lalu; 9 korban tewas lain yang berasal dari aksi 22-23 Mei 2019 lalu di Jakarta; 4 korban tewas berasal dari aksi antirasisme di Jayapura; 3 korban tewas berasal dari aksi #ReformasiDikorupsi di Jakarta; dan 2 orang sisanya dari aksi #ReformasiDikorupsi di Kendari.
Dari jumlah tersebut, hanya 7 orang yang jelas penyebab kematiannya, yakni 2 orang korban tewas di Kendari yang dinyatakan tewas karena luka tembak oleh dokter; 4 orang pada aksi 22-23 Mei 2019 lalu dinyatakan tewas karena luka tembak; dan 1 orang lainnya tewas karena kehabisan nafas akibat terpapar gas air mata.
Isnur mengatakan, informasi ini mereka dapatkan dari Komnas HAM.
"Pemerintah tidak menjalankan akuntabilitas terhadap peristiwa pelanggaran hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Mulai dari memberikan informasi sejelas-jelasnya atas penyebab jatuhnya korban hingga penegakan hukum terhadap pelaku khususnya yang berasal dari penegak hukum," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati di kantornya pada Minggu (27/10/2019).
Atas banyaknya korban tewas misterius ini, YLBHI meminta lembaga seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Presiden, serta DPR untuk mendorong penegakan hukum. Selain itu mereka juga menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian, mulai dari sistem pendidikan, jalur komando, sistem pengawasan internal, dan sistem pengawasan eksternal.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Widia Primastika