tirto.id - Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang lanjutan dua perkara pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sidang dua perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 23-24/PUU-XVIII/2020 akan berlangsung pada Rabu (20/5/2020).
"Agendanya mendengarkan keterangan Presiden dan DPR. Kabarnya, Menkeu, Menkumham, dan Jaksa Agung hadir dalam sidang mewakili Presiden," ujar Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono kepada Tirto, Selasa (19/5/2020) malam.
Perppu tersebut sebenarnya sudah diresmikan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 oleh DPR-RI pada 12 Mei 2020.
Meski demikian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan akan menghadiri persidangan bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
"Saya bersama Menteri Keuangan dan Jaksa Agung tetap hadir di sidang MK Rabu
besok. Meski Objectum Litis [Perppu] yang dimohonkan pengujian oleh pemohon
sudah tidak ada, karena sudah disahkan presiden dan diundangkan Menkumham
menjadi Undang-Undang," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.
Gugatan tersebut diajukan oleh tiga kelompok masyarakat, yakni Perkumpulan
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan kawan-kawan, Din Syamsuddin serta
Amien Rais dan kawan-kawan, dan aktivis Damai Hari Lubis.
Sementara Koordinator MAKI Boyamin Saiman berharap Presiden Joko Widodo mendatangi sidang secara langsung tanpa diwakilkan oleh para menterinya. Ia ingin mendengarkan maksud tujuan regulasi tersebut langsung dari Jokowi sebagai pihak yang menandatangani.
"Jika yang hadir hanya menteri, kita dan seluruh rakyat Indonesia pasti kurang puas. Sebaik apapun menteri menjelaskan materi Perppu akan timpang karena bukan dari pucuk pimpinan pemerintahan," ujar Boyamin.
Dalam gugatannya, MAKI mempersoalkan klausul dalam Pasal 27 yang menurutnya berpotensi menjadi celah korupsi dan kebal hukum para pejabat.
Pasal 27 ayat (1) berbunyi: Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, danp rogram pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Ayat (2) berbunyi: Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) berbunyi: Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Oleh sebab itu, Boyamin berharap majelis hakim Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut.
"Siapa pun yang hadir maka harus mampu menjelaskan urgensi kekebalan absolut pejabat sebagaimana rumusan pasal 27 Perppu Corona," tandasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri