Menuju konten utama

Yang Terlupakan dari Kenaikan UMP

Jelang batas terakhir penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) awal November nanti, keriuhan suara buruh kembali mewarnai kegiatan rutin akhir tahunan ini. Aksi buruh di jalanan hingga perdebatan dalam rapat dewan pengupahan jadi kisah yang selalu berulang dan tak berkesudahan.

Yang Terlupakan dari Kenaikan UMP
Berbagai kelompok buruh menggelar unjuk rasa di Jakarta, Kamis (29/9). Dalam unjuk rasa itu mereka menuntut agar pemerintah mencabut UU Tax Amnesty, mencabut PP No 78/2015, tolak upah murah, naikan upah minimal 2017 sebesar Rp 650.000. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pd/16

tirto.id - Apa yang paling dikendaki buruh?

“Naikkan daya beli buruh dan masyarakat dengan mencabut PP Pengupahan No 78, tolak upah murah, naikkan upah minimum 2017 Rp650 ribu.”

Kehendak ini ada di urutan teratas dari 10 isu perjuangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tahun ini. Bagi pemerintah, masih adanya penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan—selanjutnya ditulis PP 78—yang mengatur sistem kenaikan UMP terbaru, adalah kenyataan yang tak bisa mereka abaikan. PP 78 awalnya diharapkan sebagai jalan tengah dan memberi kepastian bagi dunia usaha dan buruh soal kenaikan UMP setiap tahun.

Penolakan terhadap kenaikan UMP yang mengacu pada PP 78 tak terjadi tahun ini saja. Sejak berlaku 23 Oktober tahun lalu, peraturan ini sudah mulai dipakai untuk menetapkan UMP 2016 dan menuai protes para buruh. Banyak serikat buruh di Jakarta misalnya, sempat menolak UMP 2016 sebesar Rp3.100.000 juta per bulan pada Oktober tahun lalu yang sudah mengacu pada PP 78.

“PP 78 menghilangkan hak berunding serikat buruh sehingga buruh tidak bisa menyampaikan usulan kenaikan upah melalui dewan pengupahan yang berunsur tripartit karena kenaikan upah minimum sepihak diputuskan pemerintah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Presiden KSPI Said Iqbal kepada tirto.id, Kamis (20/10/2016)

Bulan September-Oktober adalah waktu yang riuh bagi dunia perburuhan karena di masa ini isu kenaikan UMP bergerak liar. Kalangan buruh biasanya melakukan aksi walk out saat rapat dewan pengupahan menemui jalan buntu menjelang batas akhir penetapan UMP.

Keberadaan PP 78 salah satunya bertujuan menekan keriuhan demo kenaikan UMP yang berulang dan menjaga iklim usaha bisa kondusif. Karakter PP 78 yang lahir dari paket kebijakan ekonomi Presiden Jokowi ini adalah kenaikan UMP yang bisa ditebak dan terukur. UMP ditetapkan oleh pemerintah dengan rumusan yang sangat baku, yaitu upah minimum baru = upah minimum saat ini (upah minimum saat ini x (persentase inflasi + persentase pertumbuhan ekonomi)).

Dengan mengabaikan PP 78, para buruh ingin penetapan UMP dengan sistem lama yang mengacu pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang mengatur penetapan UMP oleh gubernur didasari rekomendasi bupati atau walikota dan dewan pengupahan yang sebelumnya melakukan survei nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

KHL ditentukan dengan melihat kenaikan harga barang-barang di pasar, produktivitas buruh dan pertumbuhan ekonomi. Masalahnya dalam perhitungan nilai dan komponen KHL tahun berjalan sering terdapat perbedaan antara buruh dan pengusaha.

Hitungan kenaikan UMP semacam ini memungkinkan buruh memberi tekanan kepada gubernur untuk menaikkan UMP yang mereka dihendaki. Persoalannya, komponen KHL dalam PP 78 baru bisa dievaluasi setiap lima tahun sekali. Sejak PP 78 lahir, pemerintah mendorong agar aturan main terbaru ini dipatuhi oleh seluruh gubernur di seluruh Indonesia dalam menetapkan UMP.

"Pengupahan di seluruh wilayah harus mengikuti dan menegakkan PP 78/2015," kata Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dikutip dari Antara.

Perhitungan pengupahan UMP selalu menyulut perdebatan. Padahal berdasarkan hitungan simulasi, kenaikan UMP dengan hitungan lama maupun baru, hasilnya tak terpaut jauh.

Infografik Perbandingan Upah UMP

Hitungan Lama Versus Baru

Di DKI Jakarta misalnya, dua angka usulan UMP 2017 kini saling beradu, antara angka yang diajukan pengusaha yang mengacu pada PP 78, nilai UMP 2017 diusulkan sebesar Rp3.351.410 (UMP 2016 sebesar Rp 3.100.000 per bulan). Sedangkan kalangan buruh yang mengacu pada perhitungan survei KHL 2016 menghitung UMP 2017 bisa mencapai Rp3.831.690 per bulan.

Dari perbandingan ini memang terlihat hitungan penetapan UMP dengan rumus pada PP 78 dibandingkan dengan cara lama terpaut jauh. Namun, berdasarkan hitungan tim riset tirto.id dari tren UMP yang telah ditetapkan sejak 2011-2015, angka kenaikan UMP perhitungan lama dengan simulasi kenaikan sistem perhitungan UMP terbaru, tak jauh berbeda.

Mari kita lihat kenaikan UMP lima tahun terakhir dengan perhitungan lama di DKI Jakarta. Kenaikan UMP DKI paling rendah ada di angka 10,6 persen yang terjadi pada 2015. Sementara itu, kenaikan UMP DKI tertinggi terjadi pada 2013 yang mencapai 43,9 persen, ditetapkan oleh Jokowi ketika menjabat gubernur. Selama lima tahun, rata-rata kenaikan UMP di DKI Jakarta dengan perhitungan lama mencapai 19,9 persen.

Bandingkan dengan kenaikan UMP yang memakai simulasi perhitungan baru dalam periode 2011-2015 yang menghasilkan angka kenaikan rata-rata 20,8 persen per tahun, dengan kenaikan terendah 1,6 persen di 2015, dan tertinggi 54,6 persen pada 2014.

Perbandingan perbedaan cara hitung kenaikan UMP rata-rata se-Indonesia juga menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Rata-rata kenaikan UMP Indonesia dalam periode yang sama dengan perhitungan UMP lama mengalami kenaikan rata-rata sebesar 14,6 persen. Sementara itu, rata-rata kenaikan UMP dengan perhitungan baru adalah 12,9 persen.

Intinya, apa yang diperdebatkan buruh dan pengusaha dalam menghitung kenaikan UMP 2017 khususnya di DKI Jakarta masih berkutat pada aspek makroekonomi. Padahal, persoalan upah juga tak melulu menyangkut aspek angka-angka makro dan KHL semata.

Ada aspek yang juga menentukan kemampuan sebuah industri atau pengusaha untuk memberikan upah yang layak kepada pekerjanya yaitu persoalan pungutan liar (pungli). Menyandingkan pungli dan kemampuan pengusaha memberi upah pastinya bakal ditolak mentah-mentah oleh buruh. Persoalan pungli dan dampaknya pada upah sudah diakui oleh pemerintahan terdahulu. Pungli menjadi alasan kalangan pengusaha tak bisa memberikan upah yang dikehendaki buruh.

"Saya ingin perusahaan jangan diperas, jangan ada pungli-pungli lagi, kalau keterlaluan, berikan informasinya ke saya, kita tertibkan bersama-sama," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan para pengusaha, 8 April 2013, seperti dikutip Antara.

"Tidak adil jika overhead cost terlalu tinggi sehingga perusahaan tidak mampu membayar upah buruh," tambah SBY.

Saat itu, Presiden Jokowi yang masih menjadi Gubernur DKI Jakarta turut hadir dan mendengar langsung perkataan pendahulunya. Belakangan ini, persoalan pungli menjadi isu panas dikomandangkan Presiden Jokowi. Jokowi sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).

"Pungli sudah bertahun-tahun berlangsung dan dianggap normal-normal saja dan kita permisif. Hari ini saya ajak gubernur melakukan langkah konkret memberantas pungli," seru Presiden Jokowi seperti diwartakan Antara (20/10/2016).

Apakah pemberantasan pungli bisa berimbas pada perbaikan upah buruh nantinya?

Dalam PP 78, di atas kertas ada ruang pengusaha memberikan penghasilan lain bagi pekerja di luar UMP yang memang disiapkan hanya sebagai jaring pengaman bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun. Upah buruh dengan masa kerja satu tahun atau lebih bisa berunding secara bipartit antara buruh dengan pengusaha.

Peraturan ini juga memungkinkan perusahaan memberikan penghasilan non-upah seperti bonus, uang pengganti fasilitas kerja, dan uang servis pada usaha tertentu.

Sekarang ini adalah momen pemerintahan Presiden Jokowi untuk memberantas pungli yang selama ini jadi alasan pengusaha kesulitan menaikkan UMP, supaya ada ruang bagi pengusaha memperbaiki upah buruh. Sehingga ke depannya, penetapan upah tak lagi menjadi polemik tahunan antara buruh, pekerja, dan pemerintah, termasuk ribut-ribut soal hitung-hitungan UMP yang menguras energi.

Baca juga artikel terkait PP PENGUPAHAN atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani