tirto.id - “Baru kali ini saya dengar khotbah sebagus ini.”
Itulah kesan sekaligus kesaksian Ahmad Suroso, warga Desa Kepek, Wonosari, Gunungkidul, tentang khotbah salat Idulfitri di Alun-Alun Wonosari.
“Benar ini. Jangan dipolitisir. Saya tidak bela siapa-siapa,” sambung Suroso, Kamis (29/6).
Tirto menghubungi Suroso dan sejumlah narasumber lain untuk mengonfirmasi kabar tentang sebagian jemaah salat Id di Alun-Alun Wonosari meninggalkan lokasi saat khotbah berlangsung. Dikabarkan oleh sejumlah media, hal itu disebabkan tema khotbah yang bernuansa politis.
Suroso berkata sudah tinggal di Wonosari sejak 1986. Ia berasal dari Kebumen. Setiap kali merayakan lebaran di Wonosari, Suroso selalu melaksanakan salat Idulfitri di Alun-Alun Wonosari.
Ia tidak menyangkal sebagian jemaah meninggalkan lokasi saat khatib sedang berkhotbah. Namun fenomena ini hal biasa dan bukan baru saat itu terjadi. “Kalau pulang duluan itu sudah terjadi sejak 1986. Saya tidak menambahi, memang seperti itu,” katanya.
Sepemahaman Suroso, ada beragam sebab mengapa jemaah pulang lebih dulu sebelum khotbah selesai. Pertama, tidak banyak jemaah memahami bahwa mendengarkan khotbah hingga selesai merupakan rangkaian pelaksanaan ibadah salat Id. Kedua, banyak jemaah yang ingin segera melanjutkan kegiatan, terutama mereka yang membawa anak kecil. Ketiga, durasi ceramah lebih panjang dari biasanya, sedangkan cuaca semakin panas. Keempat, jemaah memiliki pemahaman berbeda terhadap isu politik yang disampaikan khatib di awal khotbah.
“Mungkin ada mereka yang condong ke Ahok, (sehingga) ada yang terusik,” kata Suroso, yang bekerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil.
Kepala Desa Kepek Bambang Setiawan menyayangkan pemberitaan media yang terkesan menyudutkan pelaksanaan salat Idulfitri di Alun-Alun Wonosari. Menurutnya, jika didengar secara utuh hingga selesai, khotbah yang disampaikan khatib mengandung pelajaran penting bagi masyarakat Gunungkidul.
“Mestinya dengar sampai selesai, tidak hanya awalnya (saja),” ujar Bambang kepada Tirto.
Bambang mengakui khatib memang menyinggung sejumlah kasus penistaan agama, salah satunya yang menjerat Ahok, dan perpecahan masyarakat di Pilkada Jakarta. Namun hal itu disampaikan dengan maksud agar para jemaah di Gunungkidul tidak mengulangi hal sama.
“Jangan menanggapi sepotong-sepotong,” ujarnya
Kamijan, seorang jemaah dari Dusun Ledoksari, mengatakan bukan sekali itu saja sang khatib, yaitu Muhammad Ichsan, mengisi khotbah di Wonosari. Sang khatib menurutnya sering menjadi penceramah di Masjid Agung Gunungkidul.
“Untuk saya pribadi, khatib bukan tipe radikal. Saya paham betul karena saya juga pernah mengikuti pengajian beliau di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,” sambung Kamijan.
Berbeda dengan mereka, seorang jemaah bernama Ervan Bambang menilai khotbah yang disampaikan khatib memang tidak relevan. “Isi khotbah yang disampaikan khatib menurut saya kurang etis,” kata Ervan kepada Tirto, Kamis (29/6).
Saat ceramah Idulfitri berlangsung, Ervan duduk di barisan agak depan di sisi selatan. Ia berkata khatib mengarahkan khotbah ke tema politik, seperti: kasus penistaan agama, Ahok, Pilkada, dan pemilu presiden dua tahun mendatang. Tema-tema semacam itu, menurutnya, malah memperkeruh suasana masyarakat Gunungkidul yang adem ayem.
“Saya yang asli Gunungkidul (heran), ini orator politik atau khatib keagamaan?” ujar warga Desa Kepek ini.
Merasa tak nyaman dengan materi khotbah, Ervan bergegas meninggalkan lokasi. Tak lama setelah ia pergi, jemaah-jemaah lain juga melakukan hal serupa. Menurut Ervan, pergi meninggalkan khotbah setelah salat Idulfitri sebenarnya lazim terjadi di Gunungkidul. Namun jumlahnya tidak semasif seperti sekarang.
“Pulang sebelum kelar itu biasa. Tapi dengan jumlah besar, massif, dan terstruktur baru kali ini. Bahkan (jumlahnya) ribuan,” klaim Ervan.
Kecewa dengan isi khotbah, Ervan lantas menulis status di aplikasi Blackberry Messenger-nya (BBM). Ia menulis: “Ini khatib orator politik atau memang khatib?” Sejumlah rekan Ervan yang bekerja sebagai jurnalis menghubunginya untuk meminta konfirmasi. Dari situlah kemudian berita ini menyebar menjadi perbincangan warganet dan sorotan media.
Isu Politik saat Awal Khotbah
Iskanto, Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Kota Wonosari, mengatakan jemaah meninggalkan lokasi salat Id sebelum khatib menuntaskan khotbah merupakan hal biasa.
“Setiap salat Idulfitri, Iduladha, memang ada jemaah yang mendahului keluar bersama anak-anaknya. Tidak ada kaitannya dengan isi khotbah,” kata Iskanto saat dihubungi Tirto.
Iskanto, yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Gunungkidul, berkata bahwa khatib sempat menyinggung isu-isu politik. Namun, menurutnya, hal itu bukanlah persoalan. Hal-hal tersebut hanya disampaikan saat bagian pembukaan khotbah. Sedangkan isi dari khotbah itu menurutnya tetap menyerukan persatuan dan kesatuan NKRI.
“Isi khotbah itu sendiri tidak ada masalah. Memang dalam prolognya disampaikan masalah Pilkada DKI, penistaan agama, penegakan hukum yang tebang pilih. Tapi isinya menyangkut persatuan dan kesatuan NKRI. Diharapkan untuk tidak terjadi lagi penistaan agama, penegakan hukum, kebihinekaan, toleransinya,” kata Iskanto.
Dugaan Iskanto, jemaah yang pergi meninggalkan lokasi tidak mendengarkan isi khotbah secara utuh. “Orang mungkin hanya dengar yang bagian depan,” ujarnya, menambahkan bahwa khatib bukanlah sosok asing bagi warga Gunungkidul.
Muhammad Ichsan Nuriansjah Bajuri, sang khatib, adalah putra kelahiran Gunungkidul. Ia alumni Pondok Pesantren Gontor dan Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia meraih gelar doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Ichsan juga tercatat sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pengurus Muhammadiyah, dan anggota Komisi Fatwa MUI Gunungkidul. (Dalam situs PDM Muhammadiyah Gunungkidul, tidak tercantum nama Ichsan dalam struktur pengurus harian)
“Kami sudah kenal sejak kecil. Bukan sekali itu dia khotbah,” kata Iskanto.
Pengakuan Sang Khatib
Tirto berbicara dengan Muhammad Ichsan. Melalui sambungan telepon, Ichsan menegaskan bahwa pesan utama khotbahnya justru merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Ia tidak membantah jika bagian pembuka khotbahnya menyoal kasus Al-Maidah yang menjerat Ahok, tetapi itu hanya sampiran saja.
"Saya mau berbicara persatuan kesatuan Indonesia. Kemudian, saya berikan prolog bahwa Indonesia diberikan Tuhan bermacam karunia, seperti suku yang banyak, agama yang banyak. Semua rukun baik. Terus pada rezim ini persatuan kita terkoyak dengan adanya kasus penistaan agama. Baru saya katakan: hentikan kegaduhan nasional itu. Setelah itu saya menganjurkan persatuan," kata Ichsan kepada Tirto, Kamis (29/6).
Ia menyesalkan hanya bagian pembukanya saja yang diributkan. "Judul khotbah saya, 'Persatuan dan Kesatuan Indonesia'. Jadi, maksudnya (menyinggung kasus Ahok), saya (hendak melakukan) semacam kilas balik. Tapi justru yang (bagian) awal itu kemudian yang di-blow up," sesal Ichsan.
Tirto mendapatkan salinan teks khotbah. Di sana tertulis: "Khutbah Idul Fitri Disampaikan oleh Ustadz Dr. H. Muhammad Ichsan Lc, MA". Berdasarkan salinan tersebut pula, memang tercantum judul khotbah adalah "Persatuan dan Kesatuan Indonesia". Sebagaimana disampaikan Ichsan, ia memang menyinggung sejumlah isu politik yang cukup panas belakangan. Di bagian awal khotbah, ia mengatakan "kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok mengancam persatuan bangsa."
“Selama ini kita belum pernah cemas terhadap kesatuan negara ini seperti dalam pemerintahan ini. Hal ini karena nikmat persatuan dan kesatuan bangsa ini beberapa waktu yang lalu hampir terkoyak dengan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta waktu itu,” ujar khatib dalam salinan teks khotbah.
Khatib menyampaikan sejumlah keluhan yang dirasakan sebagian umat Islam. Menurutnya, saat ini sedang ada upaya untuk membenturkan Islam dengan Pancasila.
“Umat Islam yang berbeda pendapat dengan pemerintah dan penegak hukum dianggap anti Pancasila, anti Bhineka Tunggal Ika, dan anti NKRI. Masih ada pembunuhan karakter terhadap tokoh-tokoh Islam, meskipun seringkali disangkal. Masih terasa ada kriminalisasi terhadap para ulama, meskipun selalu dinafikan dan dibantah,” katanya dalam teks khotbah yang diterima Tirto.
Ichsan, yang berkata bukan kali ini ini saja berkhotbah di Alun-Alun Wonosari, menegaskan khotbahnya disampaikan dengan membacakan teks yang sudah lebih dulu dituliskan. "Saya, kan, khotbah mengacu pada yang tertulis. Itu bisa dilacak. Tidak mungkin saya menyerukan sesuatu yang tidak baik," ujarnya lagi.
Selengkapnya tentang isi khotbah, baca: Inilah Teks Lengkap Khotbah Idul Fitri di Alun-Alun Wonosari
Ia menolak anggapan bahwa jemaah yang meninggalkan Alun-Alun Wonosari dikarenakan isi khotbah yang disampaikannya.
"Banyak orang mau pergi karena ada keperluan masing-masing. Itu biasa. Bisa dimaklumi. Tapi kemudian diberitakan seakan-akan jemaah itu bubar. Pokoknya orang yang enggak suka (persatuan) yang mlintir, yang membesarkan sesuatu yang normal (jemaah meninggalkan khotbah salat Id)," tambah Ichsan.
Yang Terjadi Setelah Khotbah Berakhir
Iskanto tidak menyangka isi khotbah Ichsan bakal bikin keramaian. Sebab, pada hari pertama Idulfitri itu, Minggu, 25 Juni lalu, tidak ada seorang pun yang mewawancarainya. Ia baru dihubungi wartawan sehari setelahnya.
“Tidak ada wartawan yang wawancara (pada hari kejadian). Mungkin karena baca di medsos lalu baru minta komentar saya,” katanya.
Iskanto mengatakan khotbah yang disampaikan Ichsan berlangsung sekitar 20 menit. Usai khotbah, Iskanto mewakili ulama dan umat Islam Gunungkidul maju ke barisan depan. Melalui pengeras suara, ia menyampaikan seruan halal bi halal (bermaaf-maafan) kepada seluruh pejabat maupun warga Gunungkidul yang hadir. Selain itu ia juga menyampaikan doa agar bupati dan para pejabat Muspida Gunungkidul bisa menyejahterakan masyarakat dan menjadikan Gunungkidul sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dalam momen seperti itu biasanya Bupati Gunungkidul ikut maju untuk menyampaikan sedikit sambutan. Namun, karena bupati Gunungkidul berada di barisan belakang, ia diwakili oleh Kapolres Gunungkidul AKBP Muhammad Arif Sugiyarto.
Saat itulah Arif menyampaikan keberatan mengenai isi khotbah yang disampaikan Ichsan.
“Intinya khotbah kurang pas. Dia kurang sependapat,” ujar Iskanto.
Selesai khotbah, Iskanto didatangi oleh seorang anggota polisi dari Polres Gunungkidul. Petugas itu meminta Iskanto menyerahkan lembaran materi khotbah. Ia berjanji akan mengembalikan materi itu setelah selesai digandakan.
Keesokan paginya, Iskanto datang ke Polres Gunungkidul atas permintaan pihak Polres. Di sana ia ditemui Kasat Intel, Kasat Reskrim, dan Kapolres Gunungkidul. Mereka menanyakan siapa orang yang memberikan khotbah selepas salat Idulfitri kemarin. Iskanto pun menjelaskan sebagaimana yang ia jelaskan kepada Tirto di atas. Dalam kesempatan itu ia juga menyampaikan permintaan maaf kepada jajaran kepolisian apabila isi khotbah Ichsan dianggap tidak pas.
“Selanjutnya saya minta beliau (Kapolres) untuk klarifikasi kepada Kapolda atau Kapolri bahwa tidak ada masalah,” ujarnya.
Sedangkan Ichsan berkata bahwa ia tidak dihubungi unsur pemerintah, termasuk dari pihak kepolisian. Tidak ada respons berlebihan yang diterimanya setelah kabar jemaah yang bubar sebelum khotbah selesai, katanya.
"Enggak ada masalah. Biasa saja. Sebetulnya yang koar-koar di medsos saja," ujar Ichsan.
Iskanto berharap persoalan ini tidak perlu diperpanjang dan dibesar-besarkan "karena sebetulnya tidak ada masalah apa-apa."
“Kemarin kemungkinannya orang dengar sepotong-sepotong, tidak menyeluruh,” katanya.
Kapolres Anggap Khotbah Sarat Tuduhan pada Pemerintah
Kapolres Gunungkidul, AKBP Muhamad Arief Sugiarto, tidak menyangkal bahwa ia kecewa atas isi khotbah. Arief menilai isi khotbah yang disampaikan khatib Ichsan "bermuatan politis dan tidak sesuai" dengan kondisi sosial masyarakat di Gunungkidul.
Ia juga tidak menampik kekecewaan itu disampaikan langsung di hadapan para jemaah usai khotbah. Saat Arief melangkah ke depan mimbar untuk memberi sambutan ikrar halal bi halal mewakili pemerintah, ia lantas merespons isi khotbah.
Pertama, Arief mengatakan tidak usah membawa kasus Ahok ke Gunungkidul. Arief menyimpulkan, khotbah itu intinya ingin menyatakan bahwa Ahok selalu dibela polisi dan polisi selalu berseberangan dengan ulama bahkan mengkriminalisasi ulama. Faktanya, Ahok kini sudah dipenjara.
“Karena bahasannya (dalam khotbah) seolah-olah Ahok dibela penegak hukum,” ujar Arief.
Dalam salinan teks pidato yang diterima Tirto, memang ada pernyataan khatib yang berbunyi: "Masih terasa hukum selalu tajam terhadap para ulama, tokoh dan aktivitas Islam dan terhadap umat Islam pada umumnya, tapi tumpul terhadap Ahok dan para pendukungnya."
Kedua, Arief menyampaikan segala bentuk penegakan hukum sudah sesuai prosedur dan aturan hukum yang berlaku. Siapa pun pihak yang merasa keberatan bisa menempuh langkah hukum berupa praperadilan. “Ini ceramahnya bermain opini,” katanya.
Ketiga, Arief mengatakan bahwa hubungan masyarakat, ulama, dan pemimpin di Gunungkidul baik-baik saja. Hal ini ia sampaikan untuk menetralisir isi khotbah yang seolah-olah terjadi pertentangan antara ketiga pihak tersebut.
“Ceramahnya ini, kan, seolah-olah Indonesia ada dua kubu. Dia ngomong persatuan kesatuan itu di ujungnya doang,” kata Arief, membantah klaim Ichsan dan Iskanto yang mengatakan persoalan politik hanya disinggung dalam bagian awal khotbah.
Menurut Arief, bukan hanya ia yang keberatasn atas isi ceramah. Sebagian besar jemaah juga memilih meninggalkan lokasi sebelum khotbah selesai.
“Pada cabut semua, walk out. Kalau saya ditanya (jumlahnya) lebih dari 50 persen. Ceramahnya tidak menarik,” kata Arief.
Bahkan, kata Arief, Ketua Panitia Hari Besar Islam Iskanto juga sempat menyatakan permohonan maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
“Dia bilang tidak mengira (khatib) akan bicara seperti itu. Dia janji tak akan terulang lagi,” ujar Arief.
Saat dikonfirmasi soal permintaan maaf, Iskanto mengatakan pihaknya memang meminta maaf.
"Selaku PBHI meminta maaf untuk pelaksanaan kegiatannya, bukan materi khotbahnya," ujar Iskanto.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS